إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ
يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ
تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا
وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ
كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً
سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ
يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ
هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ
ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Pelajaran besar dari kewafatan
orang orang mulia
Kematian Abu Bakar
Para ulama berbeda pendapat tentang penyebab
kematian Abu Bakar. Ada yang berpendapat bahwa sebab kematian Abu Bakar adalah
sakit yang disebabkan oleh karena beliau mandi pada cuaca yang sangat dingin.
Tetapi ada yang berpendapat bahwa Abu Bakar
meninggal karena diracun oleh Yahudi setahun sebelum wafatnya. Sebagaimana yang
bisa kita baca dalam kitab tarikh al-Khulafa’ (1/74, MS) karangan Imam
as-Suyuthi dan tarikh ath-Thabari.
As-Suyuthi berkata, “Ibnu Sa’ad dan al-Hakim
meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu Syihab bahwa Abu Bakar dan al-Harits
bin Kildah makan makanan yang dihadiahkan kepada Abu Bakar. al-Harits berkata:
Angkat tanganmu wahai khalifah Rasulillah. Demi Allah di makanan ini ada racun
yang membunuh dalam setahun. Saya dan Anda akan mati pada satu hari yang sama.
Abu Bakar berhenti memakannya. Keduanya terus
sakit hingga meninggal pada satu hari yang sama dengan berakhirnya hitungan
satu tahun.”
Untuk menguatkan riwayat ini, as-Suyuthi
menukil pernyataan ulama ternama asy-Sya’bi. As-Suyuthi berkata: Al-Hakim
meriwayatkan dari Sya’bi, dia berkata, “Apa yang kita harapkan dari dunia yang
hina ini. Telah diracun Rasulullah, demikian pula Abu Bakar.”
Setelah itu, as-Suyuthi menyebutkan pendapat
kedua. Di mana al-Waqidi dan al-Hakim meriwayatkan dari Aisyah yang
berkata, “Permulaan sakitnya Abu Bakar yaitu dia mandi pada Hari Senin 7
Jumadil Akhir. Saat itu cuaca sangat dingin. Hal itu menyebabkannya demam
selama 15 hari. Sehingga tidak bisa keluar untuk shalat. Dan wafat pada malam
Selasa 8 malam yang terakhir di Bulan Jumadil Akhir tahun 13 dalam usia 63
tahun.”
Para ulama sejarah memperbincangkan kedua
penyebab ini. Masing-masing mencoba mengambil yang dianggapnya lebih kuat. Atau
seperti as-Suyuthi yang menyebutkan kedua pendapat sekaligus.
Jika kita mengambil pendapat pertama yaitu
sebab diracun, maka ini semakin menambah panjang daftar kematian pemimpin adil
dengan cara mengenaskan. Kalau kita mengambil pendapat yang kedua yaitu sebab
sakit, maka seakan sejarah Abu Bakar ingin mengatakan bahwa hanya dia dari 4
khulafaur rasyidin yang meninggal karena sakit. Tetapi 3 pemimpin adil lainnya
harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis.
Peristiwa Kematian Umar bin Kahttab
Dari ‘Amr bin Maimun: Aku melihat Umar bin
Khattab r.a. beberapa hari sebelum ia ditikam di Madinah. Ia sedang berdiri
bersama Hudzaifah bin Al Yaman dan Utsman bin Hunaif dan ia berkata pada
mereka, “Apa yang telah kau lakukan? Apakah kamu berpikir bahwa kamu bisa
menarik pajak tanah (Irak) lebih besar dari yang seharusnya.” Mereka menjawab,
“Kami menetapkannya lebih besar dari yang seharusnya karena tanah tersebut
bernilai tinggi.” Kemudian Umar kembali berkata, “Sudahkah kamu memeriksa
apakah ada tanah yang telah ditetapkan melebihi kualitasnya.” Mereka berkata,
“Belum.” Umar menambahkan, “Jika Allah membiarkanku hidup, aku akan menjadikan
para janda di Irak tidak membutuhkan laki-laki untuk membantu mereka
sesudahku.” Tetapi hanya empat hari berlalu setelahnya ia (Umar) ditikam
(sampai wafat). Di hari saat ia ditikam, aku sedang berdiri dan tidak ada seorang
pun di antara aku dan ia (Umar) kecuali Abdullah bin Abbas. Sewaktu Umar
berjalan melewati dua barisan, ia berkata, “Luruskan barisan.” Ketika ia
mendapati barisan telah lurus, ia pun maju ke depan dan memulai shalat dengan
takbir. Ia hendak membacakan surat Yusuf atau An-Nahl atau yang ia sukai pada
rakaat pertama sehingga semua orang sempat mengikuti sholat berjamaah.
Sesaat setelah ia mengucapkan takbir, aku
mendengarnya berkata, “Seekor anjing telah membunuh atau menggigitku,” sesaat
setelah ia (si pembunuh) menikamnya yaitu seorang kafir non-Arab muncul, sambil
membawa sebilah pisau dua-mata dan menikam semua orang yang ia lewati di
sebelah kiri dan kanan (sampai) ia menikam tiga belas orang di luar dari tujuh
orang yang meninggal karenanya. Ketika ada salah seorang muslim melihatnya, ia
melemparkan sebuah jubah padanya. Menyadari bahwa ia telah tertangkap basah,
laki-laki kafir itu pun membunuh dirinya sendiri. Umar memegang tangan
Abdurrahman bin Auf dan membiarkannya memimpin Shalat. Mereka yang berdiri di
samping Umar dapat melihat apa yang kulihat, tetapi mereka yang berada di
bagian lain dari masjid tersebut tidak dapat melihat apapun, namun mereka tidak
lagi mendengar suara Umar dan mereka berkata, “Subhanallah! Subhanallah!”
Abdurrahman bin Auf pun memimpin shalat itu dengan singkat. Ketika mereka telah
selesai shalat, Umar berkata, “Ya Ibnu Abbas! Temukan orang yang telah
menyerangku!” Ibnu Abbas terus mencari di sini dan di sana dalam waktu yang
singkat dan kemudian datang dan berkata, “(Ia adalah) Budak Al Mughira.” Untuk
itu Umar berkata, “Si pengrajin.” Ibnu Abbas berkata, “Benar.” Umar berkata,
“Semoga Allah mengutuknya. Aku tidak pernah berbuat tidak adil padanya. Segala
puji dan syukur kepada Allah yang tidak membiarkanku mati ditangan seseorang
yang telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslim. Tidak ada keraguan,
engkau dan ayahmu (Abbas) pernah menyukai untuk memiliki lebih dari orang-orang
kafir non-Arab di Madinah.” Al Abbas memiliki jumlah budak yang paling banyak.
Ibnu Abbas berkata pada Umar, “Jika engkau menginginkan, kami akan
melakukannya.” Maksudnya, “Jika engkau menginginkan, kami akan membunuhnya.”
Umar berkata, “Kamu telah keliru (kamu tidak bisa membunuh mereka) setelah
mereka berbicara dengan bahasamu, melakukan sholat menghadap kiblatmu, dan
melakukan haji sepertimu.”
Kemudian Umar dibawa ke rumahnya, dan kami
pergi bersamanya, dan semua orang seolah tak pernah merasakan malapetaka
seperti hari itu. Beberapa orang mengatakan, “Jangan khawatir (ia akan cepat
pulih).” Beberapa orang berkata, “Kami takut (bahwa ia akan wafat).” Kemudian
diberikan kepadanya minuman air lalu ia meminumnya tetapi kemudian keluar lagi
(dari balutan luka) dari perutnya. Kemudian segelas susu dibawakan padanya dan
ia pun meminumnya, dan susu itu pun keluar dari perutnya. Semua orang menyadari
bahwa ia akan meninggal. Kami mendatanginya, dan orang-orang pun berdatangan,
mendoakannya. Seorang pemuda datang dan berkata, “Ya pemimpin orang-orang
beriman! Terimalah kabar gembira dari Allah untukmu sebab kesetiaanmu menyertai
Rasulullah dan keunggulanmu dalam Islam yang telah kau ketahui. Lalu engkau
menjadi seorang khalifah dan memerintah dengan adil dan akhirnya kau pun
syahid.” Umar berkata, “Semoga semua kehormatan ini menyeimbangkan (semua
kekuranganku) maka aku tidak akan kehilangan atau mendapat keuntungan apapun.”
Ketika pemuda itu berbalik untuk pergi, pakaiannya terlihat menyentuh tanah.
Umar berkata, “Panggil pemuda itu kembali padaku.” (Ketika ia kembali) Umar
berkata, “Wahai anak saudaraku! Angkatlah bajumu, supaya pakaianmu tetap bersih
dan akan menyelamatkanmu dari hukuman Tuhanmu.” Umar lebih lanjut berkata, “Ya
Abdullah bin Umar! Periksalah berapa banyak hutangku pada kalian.” Ketika
hutang itu telah dihitung, jumlahnya mendekati delapan puluh enam ribu (dinar).
Umar berkata, “Bila harta keluarga Umar dapat menutupinya, maka bayarkanlah
hutang-hutang itu; bila tidak maka mintalah pada Bani ‘Adi bin Ka’b, dan bila
tidak mencukupi juga, maka mintalah pada kaum Quraisy, dan jangan memintanya dari
yang lain, dan bayarkanlah hutang ini atas namaku.”
Alasan Abu lukluk membunuh sang kholifah
Pagi itu bukan hanya Umar yang ditusuk oleh Abu
Lu’luah. Tetapi ada 13 orang lainnya. Dari mereka, 7 meninggal. Penusukan yang
telah ditargetkan oleh Abu Lu’luah yang beragama majusi berdasarkan dendam
terhadap Umar dan juga muslimin.
DR. Ali Muhammad ash-Shalabi mengatakan bahwa
bukti kuat kalau Abu Lu’luah bukan hanya memiliki dendam pribadi kepada Umar
tetapi juga kepada muslimin adalah dia menusuk 13 muslimin yang sedang
berjamaah Shalat Shubuh. “Kalaulah benar Umar telah berbuat dzalim kepadanya,
tetapi apa dosa para shahabat yang dia tusuk. Dan aku berlindung kepada Allah
menyebut Umar sebagai orang dzalim,” begitu Ali ash-Shalabi menjelaskan (Umar
bin Khattab h. 644)
Abu Lu’luah adalah budaknya Mughirah bin
Syu’bah. Di mana dia digaji setiap harinya 4 Dirham dengan kemampuannya sebagai
seorang pembuat alat penggiling.
Sejarah menyebutkan bahwa dendam pribadi Abu
Lu’luah ketika dia kecewa dengan keputusan Umar yang dirasa tidak adil saat dia
mengadukan tuannya Mughirah. “Semua merasakan keadilannya (Umar), kecuali
saya,” kata Abu Lu’luah.
Suatu saat Umar berkata, “Saya diancam oleh
seorang budak.” Kalimat diucapkan setelah Abu Lu’luah berbicara kepada Umar, “Saya
akan buatkan ‘alat penggilingan’untukmu yang akan menjadi pembicaraan manusia.”
Maka, dia membuat senjata khusus untuk membunuh
Umar. Sebuah pisau berkepala dua dengan pegangan di tengahnya yang telah
dibubuhi racun. Umar mendapatkan 6 tusukan, salah satunya di bawah pusarnya.
Menjelang kematiannya, Umar diberitahu bahwa
yang menusuknya adalah seorang majusi yang bernama Abu Lu’luah. Umar pun
berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan
seorang yang mengaku muslim.”
Penunjukkan Khalifah Baru
Maka ketika Umar menghembuskan nafas
terakhirnya, kami membawanya keluar dan bersiap untuk berjalan. Abdullah bin
Umar menyampaikan salam pada Aisyah dan berkata, “Umar bin Khattab meminta
ijin.” Aisyah berkata, “Bawa ia masuk ke dalam.” Ia pun dibawa masuk ke dalam
dan dimakamkan disamping kedua sahabatnya. Ketika ia sedang dimakamkan,
sekelompok orang (yang direkomendasikan oleh Umar) mengadakan pertemuan.
Kemudian Abdurrahman berkata, “Aku memberikan hakku pada Ali.” Talha berkata,
“Aku memberikan hakku pada Utsman.” Sa’d berkata, “Aku memberikan hakku pada
Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman kemudian berkata pada Utsman dan Ali,
“Sekarang siapakah di antara kalian yang bersedia untuk memberikan haknya
sebagai kandidat sehingga ia dapat memilih yang terbaik di antara dua, dan
menjadikan Allah dan Islam sebagai saksinya.” Lalu keduanya (Utsman dan Ali)
terdiam. Abdurrahman berkata, “Maukah kalian menyerahkan urusan ini padaku, dan
aku menjadikan Allah sebagai saksi bahwa aku akan memilih yang terbaik di
antara kalian.” Mereka berkata, “Ya.” Maka Abdurrahman menjabat tangan salah
satu di antara mereka (Ali) dan berkata, “Engkau memiliki hubungan dengan
Rasulullah dan merupakan salah satu pemeluk Islam yang pertama, seperti yang
engkau ketahui. Maka, aku bertanya kepadamu demi Allah untuk berjanji, bahwa
bila aku memilihmu sebagai khalifah maka engkau akan berlaku adil, dan bila aku
memilih Utsman sebagai khalifah, engkau akan mendengarkan dan mentaatinya.”
Kemudian ia menjabat tangan Utsman dan berkata hal yang sama padanya. Ketika
Abdurrahman menjaminkan perjanjian dari keduanya, ia berkata, “Ya Utsman!
Acungkan tanganmu.” Maka ia (Abdurrahman) berbaiat pada Utsman, dan kemudian
Ali pun berbaiat padanya dan kemudian seluruh penduduk Madinah berbaiat
kepadanya.
Semua orang berkata (kepada Umar), “Wahai
pemimpin orang-orang beriman! Tunjukkanlah seseorang yang pantas
menggantikanmu.” Umar berkata, “Aku tidak menemukan seorang pun yang lebih
pantas untuk tugas tersebut melainkan orang-orang yang mengikuti, atau kelompok
yang disukai oleh Rasulullah semasa hidupnya.” Kemudian Umar menyebutkan Ali,
Utsman, Az-Zubair, Talha, Sa’ad, dan Abdurrahman (bin Auf) dan berkata,
“Abdullah bin Umar akan menjadi saksi bagimu, namun ia tidak akan mendapat bagian
kekuasaan. Keberadaannya menjadi saksi akan menjadi pengganti baginya untuk
tidak mengambil bagian dalam kekuasaan. Apabila Sa’ad yang menjadi khalifah,
hal itu baik; apabila tidak, siapapun yang menjadi khalifah harus meminta
bantuan darinya, seperti halnya aku yang tidak pernah mengenalinya dari
ketidakmampuan atau ketidakjujuran.” Umar menambahkan, “Aku menyarankan kepada
penggantiku untuk memperhatikan kaum muhajirin; untuk memahami hak-hak mereka
dan melindungi kehormatan serta hal-hal yang suci bagi mereka. Aku juga
merekomendasikan supaya ia bersikap baik terhadap kaum Anshar yang telah
tinggal di Madinah sebelum kaum Muhajirin dan hidayah telah masuk ke dalam hati
mereka sebelumnya. Aku merekomendasikan supaya khalifah dapat menerima kebaikan
dari Al Haq di antara mereka dan memaklumi kekhilafan mereka, dan aku
merekomendasikan supaya ia dapat berbuat baik kepada semua penduduk (kaum
Anshar), seperti (dan menganggap) mereka adalah para pelindung-pelindung Islam
dan sumber kekayaan dan sumber gangguan bagi para musuh. Aku juga
merekomendasikan bahwa tidak ada suatu pun yang diambil dari mereka kecuali
dari keuntungan yang mereka peroleh seijin mereka. Aku juga merekomendasikan
supaya ia berlaku baik terhadap bangsa Arab (Badui), seperti mereka adalah
penduduk asli tanah Arab dan bagian dari Islam. Dan bila ia hendak mengeluarkan
(zakat) harta mereka kepada orang-orang miskin di antara mereka, maka hendaklah
ia mengeluarkan yang sesuai dengan apa yang mereka pergunakan untuk diri mereka
sendiri. Dan aku juga merekomendasikan supaya ia memperhatikan kaum yang
dilindungi Allah dan Rasul-Nya (kafir Zhimmi) dengan memenuhi perjanjian dengan
mereka dan berperang untuk mereka dan tidak membebani mereka dengan apa yang
tidak mereka sanggupi.”
Umar kemudian berkata (pada Abdullah),
“Pergilah ke Aisyah (Ummul Mukminin) dan katakan: Umar menyampaikan salam
padamu. Namun jangan katakan: pemimpin orang-orang beriman, sebab hari ini aku
bukanlah pemimpin orang-orang beriman. Dan katakan: Umar bin Khattab meminta
ijin untuk dimakamkan bersama dengan dua sahabatnya (Rasulullah dan Abu
Bakar).’” Abdullah pun datang dan memberi salam pada Aisyah dan meminta ijin
untuk masuk, dan kemudian ia pun masuk dan menemukannya sedang duduk dan
menangis. Ia (Abdullah) berkata padanya, “Umar bin Khattab menyampaikan salam
padamu, dan meminta ijin untuk dapat dimakamkan bersama dengan dua sahabatnya.”
Aisyah berkata, “Tadinya aku ingin memilikinya untukku, tetapi hari ini aku
memilih Umar daripada diriku.” Ketika Abdullah kembali, disampaikanlah pada
Umar, “Abdullah bin Umar telah datang.” Umar berkata, “Bantu aku duduk.”
Seseorang membantu mengangkat tubuhnya dan Umar bertanya (pada Abdullah),
“Berita apa yang kau bawa” Ia berkata, “Wahai pemimpin orang-orang beriman! Seperti
yang engkau inginkan. Ia (Aisyah) telah memberikan ijin.” Umar berkata, “Segala
puji bagi Allah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain hal ini. Maka jika
aku mati, bawa aku, dan datanglah pada Aisyah dengan salam dan katakan: “Umar
bin Khattab meminta ijin (untuk dapat dimakamkan bersama dengan Rasulullah),”
dan bila ia memberikan ijin, makamkan aku di sana, dan bila ia menolak, maka
bawalah aku ke pemakaman kaum muslimin.” Kemudian Hafsah (Ummul Mukminin)
datang dengan para wanita lainnya yang berjalan bersamanya. Ketika kami
melihatnya, kami pergi menjauh. Ia (Hafsah) mendatangi Umar dan menangis di
sisinya selama beberapa saat. Ketika para laki-laki meminta ijin untuk masuk,
ia pergi ke suatu tempat, dan kami mendengarnya menangis di sana.
Peristiwa Kematian Utsman
bin Affan
6 tahun pertama pemerintahan Utsman ibn Affan
adalah pemerintahan yang begitu menyenangkan dan menentramkan seluruh manusia.
Utsman ibn Affan yang lembut bertemu dengan kelanjutan kebijakan adil zaman
Umar merupakan penyebab kenyamanan itu.
6 tahun kedua pemerintahannya, adalah merupakan
tahun-tahun sulit penuh fitnah. Bahkan fitnah itu melebar hingga ke zaman kita
dan sungguh tidak mudah diurai oleh masyarakat awam.
DR. Ali Muhammad ash-Shalabi (Utsman ibn Affan
h. 146, MS) menukil dari ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam w al-Muluk dan Ibnu
al-Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh keberadaan penggerak di balik layar fitnah
yang ditujukan kepada Utsman. Orang itu adalah Abdullah bin Saba’, seorang
yahudi dari Yaman yang berkeliling kota-kota Islam dari Hijaz, Bashrah, Kufah
dan Syam untuk menyebarkan fitnah seputar Utsman ibn Affan. Tetapi dia gagal
total. Hingga saat dia pergi ke Mesir, di sanalah fitnah itu mendapatkan
pendukungnya. Dan menyebarlah fitnah itu...
Kelembutan Utsman ibn Affan, membuat fitnah
begitu mudah merajalela tanpa penghalang berarti. Berbagai tuduhan
menggelinding liar di kota-kota utama muslimin saat itu. Hingga para
pemberontak itu pun menuju kota Madinah untuk menurunkan Utsman ibn Affan dari
jabatannya. Ratusan orang berangkat ke Madinah dan mengepung rumah Utsman ibn
Affan. Sekitar 40 hari Utman ibn Affan dikepung, dimulai dari bulan
Syawwal 35 H. Hingga air pun mereka halangi untuk masuk ke rumah Utsman
ibn Affan. Berbagai upaya para shahabat dan anak-anak mereka untuk melindungi
Utsman ibn Affan tidak berdaya di hadapan tidak kurang dari 600 orang itu.
Hingga pada Waktu Ashar di Hari Jum’at 8
Dzulhijjah 35 H, para pemberontak itu berhasi l masuk ke dalam rumah Utsman ibn
Affan melalui pintu lain. Kening Utsman ibn Affan ditusuk, bagian bawah
telinganya ditusuk hingga masuk ke kerongkongan, kemudian pedang diayunkan
untuk menebas utsman, robohlah Utsman ibn Affan dan melompatlah Amr bin Hamaq
menindih dada Utsman ibn Affan dengan menghunjamkan 9 tusukan.
Utsman ibn Affan pun syahid, persis seperti
yang pernah disampaikan oleh Rasul saat beliau masih hidup. Mushaf yang sedang
dibacanya, menjadi saksi bisu akan kebiadaban para pembunuh itu. Darah mengalir
di atas Surat al-Baqarah yang sedang dibukanya.
Tak cukup hanya membunuh Utsman ibn Affan,
mereka pun merampok harta yang ada di rumah Utsman. Perilaku sangat biadab.
Para shahabat terkejut. Ali bin Abi Thalib
marah. Hingga dia mendatangi kedua putranya Hasan dan menamparnya, juga Husain
dan memukul dadanya, “Bagaimana Amirul Mukminin bisa terbunuh, padahal kalian
menjaga pintunya?”
Ali mendatangi rumah Utsman. Para pemberontak
itu ingin membaiat Ali. Tapi Ali dengan marah berkata, “Demi Allah, saya malu
membaiat orang-orang yang telah membunuh Utsman ibn Affan. Dan saya malu kepada
Allah, dibaiat sementara Utsman ibn Affan belum dikubur.”
Mereka yang menghalalkan darah Utsman ibn Affan
dinyatakan oleh para ulama sebagai kafir. Sementara yang tidak menghalalkan
tetapi ikut berperan serta dalam kematian Utsman ibn Affan dinyatakan sebagai
fasik (Utsman
ibn Affan, ash-Shalabi, h. 186). Sumber fitnah adalah Yahudi
yang menyelusup ke dunia Islam untuk mengacaukan ketentraman dan kemakmuran
muslimin serta kemajuan Islam.
Peristiwa Kematian Ali bin Abi Tholib
Dalang
dari balik kematian sahabat Ali bin Abi Tholib
Sejarah sudah mencatat bahwa dalang di balik
kematian Ali bin Abi thalib adalah orang orang khawarij dan khawarij ini adalah
sekte sesat di tubuh muslimin yang merasa benar dan dekat dengan Allah
serta mengkafirkan muslimin lainnya yang tidak sepaham dengan mereka, hingga
para shahabat seperti Ali bin Abi Tholib sekalipun. Kelompok ini telah
diingatkan oleh Nabi saat beliau masih hidup. Pemahaman yang dangkal yang
berbalut semangat adalah penyebabnya. Secara dzahir, mereka sangat meyakinkan
sebagai seorang muslim dengan ibadah-ibadah yang mereka lakukan. Tetapi mereka
adalah kelompok sesat.
Zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, kelompok ini
diperlakukan dengan sangat bijak oleh Ali. Dialog ilmiah dibangun dengan sangat
baik oleh Ali bin Abi Tholib, hingga keputusan yang sangat ilmiah dan tidak
terbawa emosi. Tetapi saat mereka menumpahkan darah, meneror masyarakat muslim
dan merampok, terpaksa Ali sebagai pemimpin negara harus melakukan perlawanan.
Perang Nahrawan pun meletus antara Ali bin Abi Tholib dan kaum khawarij.
Sesungguhnya saat Ali bin Abi Tholib mengetahui
kaum khawarij telah melakukan teror, dia tidak langsung memerangi tetapi
meminta agar mereka menyerahkan para pembunuh untuk dihukum. Tetapi mereka
justru berkata: kami semua pembunuhnya. Maka Ali bin Abi Tholib pun membawa
pasukan yang semula hendak dibawa ke Syam, untuk memerangi kaum Khawarij di
Nahrawan pada Bulan Muharram 38 H.
Perang Nahrawan, benar-benar meninggalkan luka
yang sangat dalam di hati orang-orang khawarij. Dari seribu pasukan yang mereka
miliki, tidak ada yang tersisa kecuali hanya sekitar 10 orang yang lari dari
medan perang. Sementara dari pihak Ali bin Abi Tholib korbannya sekitar 12
orang. (Lihat: Ali ibn Abi Thalib, ash-Shalabi, 2/351-356,)
Dendam kaum khawarij tidak mati. Pertemuan
rahasia antara 3 orang khawarij (Abdurahman bin Muljam, Burak bin Abdillah, Amr
bin Bakr at-Taimi) membicarakan keadaan negara dan balas dendam mereka atas
kematian teman-teman mereka di perang Nahrawan. Mereka sepakat untuk membunuh
orang-orang yang mereka anggap sebagai pemimpin kafir; Abdurahman bin Muljam
akan membunuh Ali bin Abi Thalib, Burak akan membunuh Muawiyah dan Amr bin Bakr
akan membunuh Amr bin Ash.
Pada Hari Jum’at Shubuh di Bulan Ramadhan 40 H,
Abdurahman bin Muljam beserta teman-temannya yang telah bersembunyi semalaman
mencoba membunuh Ali.
Pedang Abdurahman bin Muljam meninggalkan luka
sangat serius di kepala Ali. Kepala kedokteran Atsir bin Amr as-Sukuni
menyatakan bahwa lukanya sudah tidak mungkin diobati dan akan menyebabkan
kematian. Ali hanya bertahan 3 hari setelah terluka itu dan kemudian meninggal
pada tanggal 21 Ramadhan 40 H. (Lihat: Ali ibn Abi Thalib, ash-Shalabi,
3/188-194, )
Peristiwa Kematian Umar bin
Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz yang mengagumkan.
Kepemimpinan dan karya peradabannya belum pernah ada yang bisa menyainginya.
Hanya dalam 29 bulan, negeri menjadi makmur, sejahtera dan keadilan ditegakkan.
Setelah kemiskinan merajalela, pesta pora penguasa dan kedzaliman selalu
menimpa rakyat jelata.
Semua rakyat senang. Negeri muslim yang sangat
besar ketika itu sangat berbahagia di bawah pemimpin adil Umar bin Abdul Aziz.
Tetapi ada yang tidak senang. Ada yang marah.
Mereka adalah para mantan pejabat sebelum Umar bin Abdul Aziz menjabat. Mereka
dulu menikmati dunia dan harta kemewahan dengan luar biasa di atas air mata dan
darah rakyat.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, para pejabat Bani
Umayyah itu benar-benar mati kutu. Tidak bisa berkutik. Mereka harus
mengembalikan semua harta, tanah dan kedzaliman yang selama ini mereka lakukan
terhadap rakyat.
As-Suyuthi (Tarikh khulafa’ 1/215, MS) dan Ali
ash-Shalabi (Umar ibn Abdil Aziz, 4/198, MS) menyebutkan bahwa penyebab kematian
Umar bin Abdul Aziz adalah diracun oleh para mantan pejabat Bani Umayyah.
Imam Mujahid berkata: Umar bin Abdul Aziz
bertanya kepada saya: Apa pendapat masyarakat tentang keadaan saya sekarang?
Mujahid: Mereka berkata bahwa Anda terkena
sihir.
Umar: Saya tidak terkena sihir. Tetapi saya
sungguh tahu kapan saya diracun.
Umar kemudian memanggil seorang pembantunya (seorang budak) dan berkata kepadanya: Celakalah dirimu, mengapa kamu memberiku racun?
Umar kemudian memanggil seorang pembantunya (seorang budak) dan berkata kepadanya: Celakalah dirimu, mengapa kamu memberiku racun?
Pembantu itu berkata: Seribu dinar dan
dibebaskan dari perbudakan.
Umar: Berikan ke saya uangnya.
Pembantu itu memberikan uang dan Umar bin Abdul
Aziz menyerahkannya ke baitul mal. Dan Umar berkata kepada pembantunya:
Pergilah ke tempat yang tidak dilihat seseorang.
Kisah kematian imam Bukhori
Peristiwa besar sebelum wafatnya sang imam
Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke
Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas
mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan
juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah
kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu
darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun
mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu
ketika muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang
semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya
Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak
menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga
Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada
murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai
masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah, pent). Karena
seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut
pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu
akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi,
dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari
guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru
yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau.
Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah
makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai
masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata, “Wahai
Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an; apakah ia makhluk
atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari
berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun
memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk.
Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan
pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber
masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau
begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah
makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan
kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal
itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau
begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian
yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya,
timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke
telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk.
Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk
-padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah
mubtadi’/ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara
dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu
Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya
kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara
adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar meninggalkan
majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin
Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli
menyatakan,“Ketahuilah,
barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent-
maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu,
Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup
kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan
beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam
adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari
Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini.
al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Muslim
telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di
dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu
-adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan
untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari
gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah
Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan
ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri
dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu
saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari-
mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan
bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah
pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri
permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata,“Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang
yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang
aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab,“Wahai
Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri
yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan
adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah
mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba adalah makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu
as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)
Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah
bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata, “Apa
pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan
lafal kita dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an adalah
kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang
seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau
menjawab, “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu
adalah ucapan ahli bid’ah. Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya
Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan, “Aku
mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa
lafalku dengan al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya
Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam
kitabnya Jarh wa Ta’dilAbdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, “Ayahku
-Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua
meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi
mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah
mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an
adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah
membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’. Beliau
berkata, “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya,
ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang
tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru
dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh
adz-Dzahabi II/633 risalah magister karya Abu Abdirrahman
Muhammad ats-Tsani)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jarh/celaan
dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari tidak bisa diterima.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Setiap
orang yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh
diterima tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu
diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan
yang lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.” (lihatDhawabith
al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)
Pelajaran Yang Bisa Dipetik
-
kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada
kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan
Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin
mendapatkan pujian dan sanjungan manusia.
-
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita
untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita.
-
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita
-terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam
berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena
penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa
menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang
tidak pada tempatnya.
-
Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat
berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang
timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah
akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Kisah ini
juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh
wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok)
bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti
kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa saja tidak boleh
secara serampangan.
-
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para
penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau
dengki.
-
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita
untuk bersikap husnuzhan/ berprasangka baik
kepada saudara kita.
-
Kisah ini juga menunjukkan kepada kita,
bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di
tengah-tengah perjalanan dakwahnya.
-
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita
mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi
fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga
keutuhan umat. Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya
bahaya kebid’ahan
-
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita
untuk bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun
harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang
yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita.
-
kisah ini memberikan pelajaran kepada kita
bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian
permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita
dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama
adalah pewaris para nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan
tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa
ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita
tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka.
Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah-
maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti
dengan bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka
Wafatnya Imam
Bukhari
Ketika imam bukhori keluar dan menjauh dari
fitnah apalagi mendapat pengusiran dari gurunya sendiri Ad dhuli maka suatu
ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta
dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi
permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil
terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih
dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit
selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256
H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan
selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia
berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain,
tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik
oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
Wafatnya imam ahmad ibnu hanbal
Ujuan
berat yang di rasakan sang imam.
Imam
Ahmad telah menghadapi fitnah dari empat khalifahan, yaitu: Al-Makmun,
Al-Mu’tashim, Al-Watsiq dan Al-Mutawakkil. Sebelum bmereka berkuasa, kehidupan
ummat Islam masih dibawah panji-panji Ahlus Sunnah. Hal itu sampai pada masa
kekhalifahan Harun Ar-Rasyid dimana para ahi bid’ah masih enggan menampkan
kebathilan mereka.
Ketika
al-Makmun bin Harun Ar-rasyid condong pada pendapat Mu’tazilah, maka dia
memaksa para ulama dan para hakim untuk menyuarakan madzhabnya yangb sesat.
Kebanyakan ulama yang menerima seruannya itu tidak berdaya, dan yang bertahan
dengan keyakinannya banyak yang meninggal dunia.
Dalam
fitnah ini, Ahmad bin Hambal mengambil langkah yang tidak akan mampu
melakukannya kecualil ia adalah seorang Nabi. Imam Ahmad bersikap seolah-oah
gunung yang kokoh bertahan biarpun diterpa ganasnya deru angin fitnah dan
riuhnya badai siksaan.
Ketika
Khalifah Al-Makmun meninggal dan digantikan oleh Al-Mu’tashim, maka ia berupaya
untuk menjinakan Ahmad bin Hambal dengan deraan cambukan disamping terali besi
yang lamanya hampir 28 bulan. Ketabahan Imam Ahmad dalam mempertahankan sesuatu
yang haq ini semakin menambah simpati ulama dan masyarakat luas yang sebelumnya
sudah bersimpati kepadanya. Kalau waktu itu Imam Ahmad berpaling dari
mempertahankan yang haq, maka tidak akan terhitung lagi betapa banyak ulama
yang akan tergelincir karena mengikutinya.
Sebab-sebab
pendirian Imam Ahmad yang kokoh tersebut sudah dipersiapkan oleh Allah Swt.
Sehingga sebagian orang berkata kepada Ahmad bin Hambal, “Apabila kamu
meninggal ditempat ini, maka kamu pasti akan masuk syurga.” Sedang yang lain
berkata, “Kalau kamu meninggal, meninggalah sebagai (seorang yang mati) syahid,
dan apabila kamu hidup, maka hiduplah sebagai orang yang mulia.”
Imam
Ahmad bin Hambal tetap dalam mempertahankan kebenaran sampai Al-Mu’tashim
meninggal yang digantikan oleh Al-Watsiq dan kemudian kemudian Al-Mutawakkil
sebagai pembawa udara kebebasan bagi Ahmad bin Hambal, karena Al-Mutawakkil
mengikuti ajaran Ahlu Sunnah.
Pada
masa Al-Mutawakkil ini, berkibarlan tokoh-tokoh ulama sunnah, disis lain
bermuram durjalah tokoh-tokoh penyeru bid’ah.
Allah
Swt. Menghancurkan orang-orang yang tergabung menyulut api fitnah terhadap
dunia Islam. Walau demikian, bagi Ahmad bin Hambal ujian dan fitnah belumlah
usai menerpanya.
Pada
masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah jenis baru menerpa Imam Ahmad bin
Hambal, yaitu fitnah keduniawian berupa harta, jabatan dan kemewahan lingkaran
penguasa. Yang demikian itu karena Al-Mutawakkil berusaha mengaliri harta
kekayaan kepada Ahmad bin Hambal, akan tetapi Imam dan guru iniadalah orang yang
tidak gentar terhadap cambukan dan siksaan, sehingga diapun tidak tergoda oleh
harta dan kedudukan. Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Aku selamat dari ujian
mereka sampai usiaku mencapai 60 tahun. Dan sekarang aku diuji dengan ini semua
!” akhirnya, Ahmad menjalani hidupnya dengan bersikap zuhud terhadap urusan
duniawi dan cinta akhirat.
Akibat
sikap dan ketabahannya tersebut, maka ketabahannya semakin agung dihati
masyarakat dan berdampak besar terhadap para ulama dieranya dan era setelahnya.
Kemudian munculah Madrasah yang diberi nama Madrasah Al-Hanabilah yang
pemimpinnya adalah Imam Ahmad bin Hambal.
Wafat
nya sang imam pembela sunnah
Abdullah
bin Ahmad bin Hambal berkata, “Aku pernah mendengar ayahku berkata,” Aku sudah
menyempurnakan umurku 77 (tujuh puluh tujuh) tahun.”
Malam
itu mulut ayahku sudah kelu dan akhirnya meninggal pada hari kesepuluhnya.”
Shaleh
berkata, “Ketika hari pertama bulan Rabiul Awal tahun 241 H, hari Sabtu ayahku
merasakan demam yan gtinggi ketika sedang tidur dia susah sekali bernafas. Aku
sudah mengetahui penyakit yang dikeluhkannya karena selalu merawatnya ketika
kambuh.
Aku
bertanya kepadanya, ”Ayah kemarin buka puasa dengan apa?” Dia menjawab, ”Aku
berbuka dengan air Baqila (sejenis kacang). ”Setelah berkata seperti itu, dia
ingin bangun dan berkata, ”Bantulah aku dengan memegang tanganku.”
Lalu,
aku pun memegang tangannya dan membimbingnya masuk ke kamar kecil. Belum jauh
berjalan, tiba-tiba dia merasakan bahwa kakinya terasa lemas sehingga dia
berpegangan dan bersandar ke badanku. Para dokter mengatakan bahwa penyakit
yang diderita ayahku adalah penyakit infeksi kulit kepala (favus-ked)
Hati
ini adalah hari selasa, sementara dia meninggalnya adalah hari jumat. Ayah
berkata kepadaku,”Wahai Shaleh,” lalu aku menjawabnya,”Iya, ada apa ayah!” Dia
berkata lagi,”Janganlah kamu berubah menjadi sedih baik di rumahmu maupun di
rumah saudaramu.” Kemudian Al-Fath bin Sahl yang ada di depan pintu untuk untuk
menjenguknya merahasiakan kedatangannya, lalu juga Ali bin A-Ja’d datang yan
gjuga merahasiakan kedatangannya dan akhirnya banyak orang yang datang.
Kemudian,
ayahku berkata padaku,”Hai Shaleh, apakah yang kamu inginkan!?” Aku berkata
”Apakah ayah mengizinkan mereka masuk untuk mendoakan ayah?” Dia berkata “Aku
mohon petunjuk dari Allah yang terbaik untukku.”
Setelah
mendengar hal itu, orang-orang mulai masuk secara bergelombang sehingga
memenuhi rumah. Mereka bertanya kabar kesehatannya lalu mendoakan dan keluar,
lalu diganti dengan gelombang berikutnya hingga akhirnya jalan menjadi padat.
Waktu
itu ada seorang tetangga kami datang membesuk, lalu ayahku
berkata,”Sesungguhnya aku melihatnya menghidup-hidupkan sunnah.” Ayahku gembira
dengan kedatangannya sehingga di menggerak-gerakan bibirnya. Sampai waktu itu,
ayahku masih melakukan shalat dengan berdiridan aku membantunya. Dia laksanakan
ruku’, sujud dan juga kembali dari ruku’ dengan sadar betul, karena akalnya
masih normal.
Namun
pada malam Jum’at, tanggal 12 bulan Rabiul Awal, tepatnya dua jam setelah siang
hari tampak, ayahku menghembuskan nafas terakhirnya.”
Al-marwaji
berkata, ”Ahmad bin hambal mulai sakit pada hari Rabu bulan Rabiul Awal. Dia
sakit selama sembilan hari. Pada saat membolehkan orang-orang membesuknya,
orang-orang pun berdatangan secara bergelombang. Mereka mengucapkan salam dan
menyentuh tangan lalu mereka ke luar. Sakitnya semakin parah pada hari kamis ,
sehingga aku memberinya air wudhu dan dia berkata “bersihkan sela-sela jari.”
Pada malam jum’at, sakitnya semakin berat dan akhirnya dia di panggil menghadap
penciptanya.
Mendengar
berita kematian tersebut, manusia pada menjerit histeris. Suara yang terdengar
hanya isak tangis seolah-olah bumi ini turut bergoncang dan jalan-jalan pun
menjadi ramai di padati manusia.”
Hambal
berkata, ”Ahmad bin Hambal meninggal pada hari jum’at bulan Rabiul Awal.”
Mathin menceritakan bahwa dia meninggal adalah pada 12 Rabiul Awal. Keterangan
yang demukian ini pulalah yang di katakan Abdulah bin Ahmad dan Abbas Ad-Duri.
Imam
Al-Bukhari berkata, ”Abu Abdillah mulai sakit dua malam memasuki bulan Rabiul
Awal dan meninggal pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal.” Al-Khallal berkata,
”Al-Mawarzi berkata, Jenazahnya dikeluarkan dari rumah duka setelah orang-orang
selesai menunaikan shalat Jum’at.”
Adz-Dzahabi
berkata,”Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam kitab karyanya Al-Musnad dari Abu
Amir dari Hisyam bin Sa’ad dari Said bin Ibnu Hilal dari Rabi’ah bin Saif dari
Abdullah bin Amr dari Rasulullah SAW, Beliu bersabda, “Tidak meninggal seorang
yang berislam pada hari Jum’at kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah
kubur.” (HR. Ahmad, 2/169, At-Tirmidzi,9/195)
Imam
At-Tirmidzi berkata.“ Hadits ini adalah hadits gharib. Sanad hadits tidak
muttashil, karena Rabi’ah bin Saif tidak dikenal meriwayatkan hadits dari
Abdullah bin Amr kecuali melalui Abu Abdirrahman Al-Habli dari Abdullah bin
Amr. Hadits ini mempunyai sanad lain sebagaimana disebutkan As-Sakhawi dalam
Al-Maqashid Al-Hasanah yang jalur periwayatan haditsnya dianggap hasan.”
Shaleh
berkata, ”Ibnu Thahir selaku perwakilan dari Baghdad menghadap dengan assisten
Mudzhafar yang ditemani dua orang yang masing-masing membawa tentengan yang
berisi kain kafan dan wangi-wangian. Mereka berkata, ”Amirul Mukminin mengirim
salam untuk kamu. ”Shaleh menjawab, “Paduka telah melakukan sesuatu yang apabila
Amirul Mukminin datang, dia juga akan melakukannya.” Muhammad bin Abdillah bin
Thahir turut menyalati jenazah Imam Ahmad dan hadirpula sekitar seratus orang
dair Bani Hasyim.”
Ubaidillah
bin Yahya bin Khaqan mengisahkan bahwa ia mendengar Al-Mutawakkil berkata
kepada Muhammad bin Abdilah, “Wahai Muhammad sungguh kamu telah beruntung telah
bisa menyalati jenazah Ahmad bin Hambal.”
Abu
Bakar Al-Khalal berkata, “Aku telah mendengar Abdu Wahab Al-Warraq berkata,
“Kami belum pernah tahu ada kumpulan manusia sebanyak ini, baik di masa
Jahiliyah maupun setelah masa Islam. Semua tempat penuh dengan manusia. Jumlah
mereka yang turut mengiring jenazahnya mencapai sekitar 1.000.000 (satu juta
orang). Turut hadir dipekuburannya perempuan sekitar 60.000 (enam puluh ribu
orang). Begitu banyaknya manusia, sehingga para penduduk setempat membuka pintu
rumah mereka untuk tempat wudhu.”
Oleh : Ust. Abu Humairoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar