Rabu, 10 April 2013

Pelajaran besar dari kewafatan orang orang mulia



إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Pelajaran besar dari kewafatan orang orang mulia

Kematian Abu Bakar
Para ulama berbeda pendapat tentang penyebab kematian Abu Bakar. Ada yang berpendapat bahwa sebab kematian Abu Bakar adalah sakit yang disebabkan oleh karena beliau mandi pada cuaca yang sangat dingin.
Tetapi ada yang berpendapat bahwa Abu Bakar meninggal karena diracun oleh Yahudi setahun sebelum wafatnya. Sebagaimana yang bisa kita baca dalam kitab tarikh al-Khulafa’ (1/74, MS) karangan Imam as-Suyuthi dan tarikh ath-Thabari.
As-Suyuthi berkata, “Ibnu Sa’ad dan al-Hakim meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu Syihab bahwa Abu Bakar dan al-Harits bin Kildah makan makanan yang dihadiahkan kepada Abu Bakar. al-Harits berkata: Angkat tanganmu wahai khalifah Rasulillah. Demi Allah di makanan ini ada racun yang membunuh dalam setahun. Saya dan Anda akan mati pada satu hari yang sama.
Abu Bakar berhenti memakannya. Keduanya terus sakit hingga meninggal pada satu hari yang sama dengan berakhirnya hitungan satu tahun.”
Untuk menguatkan riwayat ini, as-Suyuthi menukil pernyataan ulama ternama asy-Sya’bi. As-Suyuthi berkata: Al-Hakim meriwayatkan dari Sya’bi, dia berkata, “Apa yang kita harapkan dari dunia yang hina ini. Telah diracun Rasulullah, demikian pula Abu Bakar.”
Setelah itu, as-Suyuthi menyebutkan pendapat kedua. Di mana al-Waqidi dan al-Hakim meriwayatkan  dari Aisyah yang berkata, “Permulaan sakitnya Abu Bakar yaitu dia mandi pada Hari Senin 7 Jumadil Akhir. Saat itu cuaca sangat dingin. Hal itu menyebabkannya demam selama 15 hari. Sehingga tidak bisa keluar untuk shalat. Dan wafat pada malam Selasa 8 malam yang terakhir di Bulan Jumadil Akhir tahun 13 dalam usia 63 tahun.”
Para ulama sejarah memperbincangkan kedua penyebab ini. Masing-masing mencoba mengambil yang dianggapnya lebih kuat. Atau seperti as-Suyuthi yang menyebutkan kedua pendapat sekaligus.
Jika kita mengambil pendapat pertama yaitu sebab diracun, maka ini semakin menambah panjang daftar kematian pemimpin adil dengan cara mengenaskan. Kalau kita mengambil pendapat yang kedua yaitu sebab sakit, maka seakan sejarah Abu Bakar ingin mengatakan bahwa hanya dia dari 4 khulafaur rasyidin yang meninggal karena sakit. Tetapi 3 pemimpin adil lainnya harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis.
Peristiwa Kematian Umar bin Kahttab
Dari ‘Amr bin Maimun: Aku melihat Umar bin Khattab r.a. beberapa hari sebelum ia ditikam di Madinah. Ia sedang berdiri bersama Hudzaifah bin Al Yaman dan Utsman bin Hunaif dan ia berkata pada mereka, “Apa yang telah kau lakukan? Apakah kamu berpikir bahwa kamu bisa menarik pajak tanah (Irak) lebih besar dari yang seharusnya.” Mereka menjawab, “Kami menetapkannya lebih besar dari yang seharusnya karena tanah tersebut bernilai tinggi.” Kemudian Umar kembali berkata, “Sudahkah kamu memeriksa apakah ada tanah yang telah ditetapkan melebihi kualitasnya.” Mereka berkata, “Belum.” Umar menambahkan, “Jika Allah membiarkanku hidup, aku akan menjadikan para janda di Irak tidak membutuhkan laki-laki untuk membantu mereka sesudahku.” Tetapi hanya empat hari berlalu setelahnya ia (Umar) ditikam (sampai wafat). Di hari saat ia ditikam, aku sedang berdiri dan tidak ada seorang pun di antara aku dan ia (Umar) kecuali Abdullah bin Abbas. Sewaktu Umar berjalan melewati dua barisan, ia berkata, “Luruskan barisan.” Ketika ia mendapati barisan telah lurus, ia pun maju ke depan dan memulai shalat dengan takbir. Ia hendak membacakan surat Yusuf atau An-Nahl atau yang ia sukai pada rakaat pertama sehingga semua orang sempat mengikuti sholat berjamaah.
Sesaat setelah ia mengucapkan takbir, aku mendengarnya berkata, “Seekor anjing telah membunuh atau menggigitku,” sesaat setelah ia (si pembunuh) menikamnya yaitu seorang kafir non-Arab muncul, sambil membawa sebilah pisau dua-mata dan menikam semua orang yang ia lewati di sebelah kiri dan kanan (sampai) ia menikam tiga belas orang di luar dari tujuh orang yang meninggal karenanya. Ketika ada salah seorang muslim melihatnya, ia melemparkan sebuah jubah padanya. Menyadari bahwa ia telah tertangkap basah, laki-laki kafir itu pun membunuh dirinya sendiri. Umar memegang tangan Abdurrahman bin Auf dan membiarkannya memimpin Shalat. Mereka yang berdiri di samping Umar dapat melihat apa yang kulihat, tetapi mereka yang berada di bagian lain dari masjid tersebut tidak dapat melihat apapun, namun mereka tidak lagi mendengar suara Umar dan mereka berkata, “Subhanallah! Subhanallah!” Abdurrahman bin Auf pun memimpin shalat itu dengan singkat. Ketika mereka telah selesai shalat, Umar berkata, “Ya Ibnu Abbas! Temukan orang yang telah menyerangku!” Ibnu Abbas terus mencari di sini dan di sana dalam waktu yang singkat dan kemudian datang dan berkata, “(Ia adalah) Budak Al Mughira.” Untuk itu Umar berkata, “Si pengrajin.” Ibnu Abbas berkata, “Benar.” Umar berkata, “Semoga Allah mengutuknya. Aku tidak pernah berbuat tidak adil padanya. Segala puji dan syukur kepada Allah yang tidak membiarkanku mati ditangan seseorang yang telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslim. Tidak ada keraguan, engkau dan ayahmu (Abbas) pernah menyukai untuk memiliki lebih dari orang-orang kafir non-Arab di Madinah.” Al Abbas memiliki jumlah budak yang paling banyak. Ibnu Abbas berkata pada Umar, “Jika engkau menginginkan, kami akan melakukannya.” Maksudnya, “Jika engkau menginginkan, kami akan membunuhnya.” Umar berkata, “Kamu telah keliru (kamu tidak bisa membunuh mereka) setelah mereka berbicara dengan bahasamu, melakukan sholat menghadap kiblatmu, dan melakukan haji sepertimu.”
Kemudian Umar dibawa ke rumahnya, dan kami pergi bersamanya, dan semua orang seolah tak pernah merasakan malapetaka seperti hari itu. Beberapa orang mengatakan, “Jangan khawatir (ia akan cepat pulih).” Beberapa orang berkata, “Kami takut (bahwa ia akan wafat).” Kemudian diberikan kepadanya minuman air lalu ia meminumnya tetapi kemudian keluar lagi (dari balutan luka) dari perutnya. Kemudian segelas susu dibawakan padanya dan ia pun meminumnya, dan susu itu pun keluar dari perutnya. Semua orang menyadari bahwa ia akan meninggal. Kami mendatanginya, dan orang-orang pun berdatangan, mendoakannya. Seorang pemuda datang dan berkata, “Ya pemimpin orang-orang beriman! Terimalah kabar gembira dari Allah untukmu sebab kesetiaanmu menyertai Rasulullah dan keunggulanmu dalam Islam yang telah kau ketahui. Lalu engkau menjadi seorang khalifah dan memerintah dengan adil dan akhirnya kau pun syahid.” Umar berkata, “Semoga semua kehormatan ini menyeimbangkan (semua kekuranganku) maka aku tidak akan kehilangan atau mendapat keuntungan apapun.” Ketika pemuda itu berbalik untuk pergi, pakaiannya terlihat menyentuh tanah. Umar berkata, “Panggil pemuda itu kembali padaku.” (Ketika ia kembali) Umar berkata, “Wahai anak saudaraku! Angkatlah bajumu, supaya pakaianmu tetap bersih dan akan menyelamatkanmu dari hukuman Tuhanmu.” Umar lebih lanjut berkata, “Ya Abdullah bin Umar! Periksalah berapa banyak hutangku pada kalian.” Ketika hutang itu telah dihitung, jumlahnya mendekati delapan puluh enam ribu (dinar). Umar berkata, “Bila harta keluarga Umar dapat menutupinya, maka bayarkanlah hutang-hutang itu; bila tidak maka mintalah pada Bani ‘Adi bin Ka’b, dan bila tidak mencukupi juga, maka mintalah pada kaum Quraisy, dan jangan memintanya dari yang lain, dan bayarkanlah hutang ini atas namaku.”
Alasan Abu lukluk membunuh sang kholifah
Pagi itu bukan hanya Umar yang ditusuk oleh Abu Lu’luah. Tetapi ada 13 orang lainnya. Dari mereka, 7 meninggal. Penusukan yang telah ditargetkan oleh Abu Lu’luah yang beragama majusi berdasarkan dendam terhadap Umar dan juga muslimin.
DR. Ali Muhammad ash-Shalabi mengatakan bahwa bukti kuat kalau Abu Lu’luah bukan hanya memiliki dendam pribadi kepada Umar tetapi juga kepada muslimin adalah dia menusuk 13 muslimin yang sedang berjamaah Shalat Shubuh. “Kalaulah benar Umar telah berbuat dzalim kepadanya, tetapi apa dosa para shahabat yang dia tusuk. Dan aku berlindung kepada Allah menyebut Umar sebagai orang dzalim,” begitu Ali ash-Shalabi menjelaskan (Umar bin Khattab h. 644)
Abu Lu’luah adalah budaknya Mughirah bin Syu’bah. Di mana dia digaji setiap harinya 4 Dirham dengan kemampuannya sebagai seorang pembuat alat penggiling.
Sejarah menyebutkan bahwa dendam pribadi Abu Lu’luah ketika dia kecewa dengan keputusan Umar yang dirasa tidak adil saat dia mengadukan tuannya Mughirah. “Semua merasakan keadilannya (Umar), kecuali saya,” kata Abu Lu’luah.
Suatu saat Umar berkata, “Saya diancam oleh seorang budak.” Kalimat diucapkan setelah Abu Lu’luah berbicara kepada Umar, “Saya akan buatkan ‘alat penggilingan’untukmu yang akan menjadi pembicaraan manusia.”
Maka, dia membuat senjata khusus untuk membunuh Umar. Sebuah pisau berkepala dua dengan pegangan di tengahnya yang telah dibubuhi racun. Umar mendapatkan 6 tusukan, salah satunya di bawah pusarnya.
Menjelang kematiannya, Umar diberitahu bahwa yang menusuknya adalah seorang majusi yang bernama Abu Lu’luah. Umar pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan seorang yang mengaku muslim.”
 Penunjukkan Khalifah Baru
Maka ketika Umar menghembuskan nafas terakhirnya, kami membawanya keluar dan bersiap untuk berjalan. Abdullah bin Umar menyampaikan salam pada Aisyah dan berkata, “Umar bin Khattab meminta ijin.” Aisyah berkata, “Bawa ia masuk ke dalam.” Ia pun dibawa masuk ke dalam dan dimakamkan disamping kedua sahabatnya. Ketika ia sedang dimakamkan, sekelompok orang (yang direkomendasikan oleh Umar) mengadakan pertemuan. Kemudian Abdurrahman berkata, “Aku memberikan hakku pada Ali.” Talha berkata, “Aku memberikan hakku pada Utsman.” Sa’d berkata, “Aku memberikan hakku pada Abdurrahman bin Auf.” Abdurrahman kemudian berkata pada Utsman dan Ali, “Sekarang siapakah di antara kalian yang bersedia untuk memberikan haknya sebagai kandidat sehingga ia dapat memilih yang terbaik di antara dua, dan menjadikan Allah dan Islam sebagai saksinya.” Lalu keduanya (Utsman dan Ali) terdiam. Abdurrahman berkata, “Maukah kalian menyerahkan urusan ini padaku, dan aku menjadikan Allah sebagai saksi bahwa aku akan memilih yang terbaik di antara kalian.” Mereka berkata, “Ya.” Maka Abdurrahman menjabat tangan salah satu di antara mereka (Ali) dan berkata, “Engkau memiliki hubungan dengan Rasulullah dan merupakan salah satu pemeluk Islam yang pertama, seperti yang engkau ketahui. Maka, aku bertanya kepadamu demi Allah untuk berjanji, bahwa bila aku memilihmu sebagai khalifah maka engkau akan berlaku adil, dan bila aku memilih Utsman sebagai khalifah, engkau akan mendengarkan dan mentaatinya.” Kemudian ia menjabat tangan Utsman dan berkata hal yang sama padanya. Ketika Abdurrahman menjaminkan perjanjian dari keduanya, ia berkata, “Ya Utsman! Acungkan tanganmu.” Maka ia (Abdurrahman) berbaiat pada Utsman, dan kemudian Ali pun berbaiat padanya dan kemudian seluruh penduduk Madinah berbaiat kepadanya.
Semua orang berkata (kepada Umar), “Wahai pemimpin orang-orang beriman! Tunjukkanlah seseorang yang pantas menggantikanmu.” Umar berkata, “Aku tidak menemukan seorang pun yang lebih pantas untuk tugas tersebut melainkan orang-orang yang mengikuti, atau kelompok yang disukai oleh Rasulullah semasa hidupnya.” Kemudian Umar menyebutkan Ali, Utsman, Az-Zubair, Talha, Sa’ad, dan Abdurrahman (bin Auf) dan berkata, “Abdullah bin Umar akan menjadi saksi bagimu, namun ia tidak akan mendapat bagian kekuasaan. Keberadaannya menjadi saksi akan menjadi pengganti baginya untuk tidak mengambil bagian dalam kekuasaan. Apabila Sa’ad yang menjadi khalifah, hal itu baik; apabila tidak, siapapun yang menjadi khalifah harus meminta bantuan darinya, seperti halnya aku yang tidak pernah mengenalinya dari ketidakmampuan atau ketidakjujuran.” Umar menambahkan, “Aku menyarankan kepada penggantiku untuk memperhatikan kaum muhajirin; untuk memahami hak-hak mereka dan melindungi kehormatan serta hal-hal yang suci bagi mereka. Aku juga merekomendasikan supaya ia bersikap baik terhadap kaum Anshar yang telah tinggal di Madinah sebelum kaum Muhajirin dan hidayah telah masuk ke dalam hati mereka sebelumnya. Aku merekomendasikan supaya khalifah dapat menerima kebaikan dari Al Haq di antara mereka dan memaklumi kekhilafan mereka, dan aku merekomendasikan supaya ia dapat berbuat baik kepada semua penduduk (kaum Anshar), seperti (dan menganggap) mereka adalah para pelindung-pelindung Islam dan sumber kekayaan dan sumber gangguan bagi para musuh. Aku juga merekomendasikan bahwa tidak ada suatu pun yang diambil dari mereka kecuali dari keuntungan yang mereka peroleh seijin mereka. Aku juga merekomendasikan supaya ia berlaku baik terhadap bangsa Arab (Badui), seperti mereka adalah penduduk asli tanah Arab dan bagian dari Islam. Dan bila ia hendak mengeluarkan (zakat) harta mereka kepada orang-orang miskin di antara mereka, maka hendaklah ia mengeluarkan yang sesuai dengan apa yang mereka pergunakan untuk diri mereka sendiri. Dan aku juga merekomendasikan supaya ia memperhatikan kaum yang dilindungi Allah dan Rasul-Nya (kafir Zhimmi) dengan memenuhi perjanjian dengan mereka dan berperang untuk mereka dan tidak membebani mereka dengan apa yang tidak mereka sanggupi.”
Umar kemudian berkata (pada Abdullah), “Pergilah ke Aisyah (Ummul Mukminin) dan katakan: Umar menyampaikan salam padamu. Namun jangan katakan: pemimpin orang-orang beriman, sebab hari ini aku bukanlah pemimpin orang-orang beriman. Dan katakan: Umar bin Khattab meminta ijin untuk dimakamkan bersama dengan dua sahabatnya (Rasulullah dan Abu Bakar).’” Abdullah pun datang dan memberi salam pada Aisyah dan meminta ijin untuk masuk, dan kemudian ia pun masuk dan menemukannya sedang duduk dan menangis. Ia (Abdullah) berkata padanya, “Umar bin Khattab menyampaikan salam padamu, dan meminta ijin untuk dapat dimakamkan bersama dengan dua sahabatnya.” Aisyah berkata, “Tadinya aku ingin memilikinya untukku, tetapi hari ini aku memilih Umar daripada diriku.” Ketika Abdullah kembali, disampaikanlah pada Umar, “Abdullah bin Umar telah datang.” Umar berkata, “Bantu aku duduk.” Seseorang membantu mengangkat tubuhnya dan Umar bertanya (pada Abdullah), “Berita apa yang kau bawa” Ia berkata, “Wahai pemimpin orang-orang beriman! Seperti yang engkau inginkan. Ia (Aisyah) telah memberikan ijin.” Umar berkata, “Segala puji bagi Allah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain hal ini. Maka jika aku mati, bawa aku, dan datanglah pada Aisyah dengan salam dan katakan: “Umar bin Khattab meminta ijin (untuk dapat dimakamkan bersama dengan Rasulullah),” dan bila ia memberikan ijin, makamkan aku di sana, dan bila ia menolak, maka bawalah aku ke pemakaman kaum muslimin.” Kemudian Hafsah (Ummul Mukminin) datang dengan para wanita lainnya yang berjalan bersamanya. Ketika kami melihatnya, kami pergi menjauh. Ia (Hafsah) mendatangi Umar dan menangis di sisinya selama beberapa saat. Ketika para laki-laki meminta ijin untuk masuk, ia pergi ke suatu tempat, dan kami mendengarnya menangis di sana.
Peristiwa Kematian Utsman bin Affan
6 tahun pertama pemerintahan Utsman ibn Affan adalah pemerintahan yang begitu menyenangkan dan menentramkan seluruh manusia. Utsman ibn Affan yang lembut bertemu dengan kelanjutan kebijakan adil zaman Umar merupakan penyebab kenyamanan itu.
6 tahun kedua pemerintahannya, adalah merupakan tahun-tahun sulit penuh fitnah. Bahkan fitnah itu melebar hingga ke zaman kita dan sungguh tidak mudah diurai oleh masyarakat awam.
DR. Ali Muhammad ash-Shalabi (Utsman ibn Affan h. 146, MS) menukil dari ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam w al-Muluk dan Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh keberadaan penggerak di balik layar fitnah yang ditujukan kepada Utsman. Orang itu adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi dari Yaman yang berkeliling kota-kota Islam dari Hijaz, Bashrah, Kufah dan Syam untuk menyebarkan fitnah seputar Utsman ibn Affan. Tetapi dia gagal total. Hingga saat dia pergi ke Mesir, di sanalah fitnah itu mendapatkan pendukungnya. Dan menyebarlah fitnah itu...
Kelembutan Utsman ibn Affan, membuat fitnah begitu mudah merajalela tanpa penghalang berarti. Berbagai tuduhan menggelinding liar di kota-kota utama muslimin saat itu. Hingga para pemberontak itu pun menuju kota Madinah untuk menurunkan Utsman ibn Affan dari jabatannya. Ratusan orang berangkat ke Madinah dan mengepung rumah Utsman ibn Affan. Sekitar 40 hari Utman ibn Affan dikepung, dimulai dari bulan Syawwal  35 H. Hingga air pun mereka halangi untuk masuk ke rumah Utsman ibn Affan. Berbagai upaya para shahabat dan anak-anak mereka untuk melindungi Utsman ibn Affan tidak berdaya di hadapan tidak kurang dari 600 orang itu.
Hingga pada Waktu Ashar di Hari Jum’at 8 Dzulhijjah 35 H, para pemberontak itu berhasi l masuk ke dalam rumah Utsman ibn Affan melalui pintu lain. Kening Utsman ibn Affan ditusuk, bagian bawah telinganya ditusuk hingga masuk ke kerongkongan, kemudian pedang diayunkan untuk menebas utsman, robohlah Utsman ibn Affan dan melompatlah Amr bin Hamaq menindih dada Utsman ibn Affan dengan menghunjamkan 9 tusukan.
Utsman ibn Affan pun syahid, persis seperti yang pernah disampaikan oleh Rasul saat beliau masih hidup. Mushaf yang sedang dibacanya, menjadi saksi bisu akan kebiadaban para pembunuh itu. Darah mengalir di atas Surat al-Baqarah yang sedang dibukanya.
Tak cukup hanya membunuh Utsman ibn Affan, mereka pun merampok harta yang ada di rumah Utsman. Perilaku sangat biadab.
Para shahabat terkejut. Ali bin Abi Thalib marah. Hingga dia mendatangi kedua putranya Hasan dan menamparnya, juga Husain dan memukul dadanya, “Bagaimana Amirul Mukminin bisa terbunuh, padahal kalian menjaga pintunya?”
Ali mendatangi rumah Utsman. Para pemberontak itu ingin membaiat Ali. Tapi Ali dengan marah berkata, “Demi Allah, saya malu membaiat orang-orang yang telah membunuh Utsman ibn Affan. Dan saya malu kepada Allah, dibaiat sementara Utsman ibn Affan belum dikubur.”
Mereka yang menghalalkan darah Utsman ibn Affan dinyatakan oleh para ulama sebagai kafir. Sementara yang tidak menghalalkan tetapi ikut berperan serta dalam kematian Utsman ibn Affan dinyatakan sebagai fasik (Utsman ibn Affan, ash-Shalabi, h. 186). Sumber fitnah adalah Yahudi yang menyelusup ke dunia Islam untuk mengacaukan ketentraman dan kemakmuran muslimin serta kemajuan Islam.

Peristiwa Kematian Ali bin Abi Tholib
Dalang dari balik kematian sahabat Ali bin Abi Tholib 
Sejarah sudah mencatat bahwa dalang di balik kematian Ali bin Abi thalib adalah orang orang khawarij dan khawarij ini adalah sekte sesat di tubuh  muslimin yang merasa benar dan dekat dengan Allah serta mengkafirkan muslimin lainnya yang tidak sepaham dengan mereka, hingga para shahabat seperti Ali bin Abi Tholib sekalipun. Kelompok ini telah diingatkan oleh Nabi saat beliau masih hidup. Pemahaman yang dangkal yang berbalut semangat adalah penyebabnya. Secara dzahir, mereka sangat meyakinkan sebagai seorang muslim dengan ibadah-ibadah yang mereka lakukan. Tetapi mereka adalah kelompok sesat.
Zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, kelompok ini diperlakukan dengan sangat bijak oleh Ali. Dialog ilmiah dibangun dengan sangat baik oleh Ali bin Abi Tholib, hingga keputusan yang sangat ilmiah dan tidak terbawa emosi. Tetapi saat mereka menumpahkan darah, meneror masyarakat muslim dan merampok, terpaksa Ali sebagai pemimpin negara harus melakukan perlawanan. Perang Nahrawan pun meletus antara Ali bin Abi Tholib dan kaum khawarij.
Sesungguhnya saat Ali bin Abi Tholib mengetahui kaum khawarij telah melakukan teror, dia tidak langsung memerangi tetapi meminta agar mereka menyerahkan para pembunuh untuk dihukum. Tetapi mereka justru berkata: kami semua pembunuhnya. Maka Ali bin Abi Tholib pun membawa pasukan yang semula hendak dibawa ke Syam, untuk memerangi kaum Khawarij di Nahrawan pada Bulan Muharram 38 H.
Perang Nahrawan, benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam di hati orang-orang khawarij. Dari seribu pasukan yang mereka miliki, tidak ada yang tersisa kecuali hanya sekitar 10 orang yang lari dari medan perang. Sementara dari pihak Ali bin Abi Tholib korbannya sekitar 12 orang. (Lihat: Ali ibn Abi Thalib, ash-Shalabi,  2/351-356,)
Dendam kaum khawarij tidak mati. Pertemuan rahasia antara 3 orang khawarij (Abdurahman bin Muljam, Burak bin Abdillah, Amr bin Bakr at-Taimi) membicarakan keadaan negara dan balas dendam mereka atas kematian teman-teman mereka di perang Nahrawan. Mereka sepakat untuk membunuh orang-orang yang mereka anggap sebagai pemimpin kafir; Abdurahman bin Muljam akan membunuh Ali bin Abi Thalib, Burak akan membunuh Muawiyah dan Amr bin Bakr akan membunuh Amr bin Ash.
Pada Hari Jum’at Shubuh di Bulan Ramadhan 40 H, Abdurahman bin Muljam beserta teman-temannya yang telah bersembunyi semalaman mencoba membunuh Ali.
Pedang Abdurahman bin Muljam meninggalkan luka sangat serius di kepala Ali. Kepala kedokteran Atsir bin Amr as-Sukuni menyatakan bahwa lukanya sudah tidak mungkin diobati dan akan menyebabkan kematian. Ali hanya bertahan 3 hari setelah terluka itu dan kemudian meninggal pada tanggal 21 Ramadhan 40 H. (Lihat: Ali ibn Abi Thalib, ash-Shalabi,  3/188-194, )

Peristiwa Kematian Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz yang mengagumkan. Kepemimpinan dan karya peradabannya belum pernah ada yang bisa menyainginya. Hanya dalam 29 bulan, negeri menjadi makmur, sejahtera dan keadilan ditegakkan. Setelah kemiskinan merajalela, pesta pora penguasa dan kedzaliman selalu menimpa rakyat jelata.
Semua rakyat senang. Negeri muslim yang sangat besar ketika itu sangat berbahagia di bawah pemimpin adil Umar bin Abdul Aziz.
Tetapi ada yang tidak senang. Ada yang marah. Mereka adalah para mantan pejabat sebelum Umar bin Abdul Aziz menjabat. Mereka dulu menikmati dunia dan harta kemewahan dengan luar biasa di atas air mata dan darah rakyat.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, para pejabat Bani Umayyah itu benar-benar mati kutu. Tidak bisa berkutik. Mereka harus mengembalikan semua harta, tanah dan kedzaliman yang selama ini mereka lakukan terhadap rakyat.
As-Suyuthi (Tarikh khulafa’ 1/215, MS) dan Ali ash-Shalabi (Umar ibn Abdil Aziz, 4/198, MS) menyebutkan bahwa penyebab kematian Umar bin Abdul Aziz adalah diracun oleh para mantan pejabat Bani Umayyah.
Imam Mujahid berkata: Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada saya: Apa pendapat masyarakat tentang keadaan saya sekarang?
Mujahid: Mereka berkata bahwa Anda terkena sihir.
Umar: Saya tidak terkena sihir. Tetapi saya sungguh tahu kapan saya diracun.
Umar kemudian memanggil seorang pembantunya (seorang budak) dan berkata kepadanya: Celakalah dirimu, mengapa kamu memberiku racun?
Pembantu itu berkata: Seribu dinar dan dibebaskan dari perbudakan.
Umar: Berikan ke saya uangnya.
Pembantu itu memberikan uang dan Umar bin Abdul Aziz menyerahkannya ke baitul mal. Dan Umar berkata kepada pembantunya: Pergilah ke tempat yang tidak dilihat seseorang.
Kisah kematian imam Bukhori
Peristiwa besar sebelum wafatnya sang imam

Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”

Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh  Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi’/ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar  meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan,“Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”

Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata,“Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab,“Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba adalah makhluk.”
(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)

Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata, “Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau menjawab, “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid’ah. Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan, “Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)
Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dilAbdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, “Ayahku -Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191).
Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’. Beliau berkata, “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 risalah magister karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jarh/celaan dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari tidak bisa diterima. Imam Ahmad  rahimahullah berkata, “Setiap orang yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.” (lihatDhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)

Pelajaran Yang Bisa Dipetik

-       kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan manusia.
-       Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita.
-       Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.
-       Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa saja tidak boleh secara serampangan.
-       Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. 
-       Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnuzhan/ berprasangka baik kepada saudara kita.
-       Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya.
-       Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid’ahan
-       Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita.
-       kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama adalah pewaris para nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan  bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka
Wafatnya Imam Bukhari
Ketika imam bukhori keluar dan menjauh dari fitnah apalagi mendapat pengusiran dari gurunya sendiri Ad dhuli maka suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

Wafatnya imam ahmad ibnu hanbal

Ujuan berat yang di rasakan sang imam.

Imam Ahmad telah menghadapi fitnah dari empat khalifahan, yaitu: Al-Makmun, Al-Mu’tashim, Al-Watsiq dan Al-Mutawakkil. Sebelum bmereka berkuasa, kehidupan ummat Islam masih dibawah panji-panji Ahlus Sunnah. Hal itu sampai pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid dimana para ahi bid’ah masih enggan menampkan kebathilan mereka.
Ketika al-Makmun bin Harun Ar-rasyid condong pada pendapat Mu’tazilah, maka dia memaksa para ulama dan para hakim untuk menyuarakan madzhabnya yangb sesat. Kebanyakan ulama yang menerima seruannya itu tidak berdaya, dan yang bertahan dengan keyakinannya banyak yang meninggal dunia.
Dalam fitnah ini, Ahmad bin Hambal mengambil langkah yang tidak akan mampu melakukannya kecualil ia adalah seorang Nabi. Imam Ahmad bersikap seolah-oah gunung yang kokoh bertahan biarpun diterpa ganasnya deru angin fitnah dan riuhnya badai siksaan.
Ketika Khalifah Al-Makmun meninggal dan digantikan oleh Al-Mu’tashim, maka ia berupaya untuk menjinakan Ahmad bin Hambal dengan deraan cambukan disamping terali besi yang lamanya hampir 28 bulan. Ketabahan Imam Ahmad dalam mempertahankan sesuatu yang haq ini semakin menambah simpati ulama dan masyarakat luas yang sebelumnya sudah bersimpati kepadanya. Kalau waktu itu Imam Ahmad berpaling dari mempertahankan yang haq, maka tidak akan terhitung lagi betapa banyak ulama yang akan tergelincir karena mengikutinya.
Sebab-sebab pendirian Imam Ahmad yang kokoh tersebut sudah dipersiapkan oleh Allah Swt. Sehingga sebagian orang berkata kepada Ahmad bin Hambal, “Apabila kamu meninggal ditempat ini, maka kamu pasti akan masuk syurga.” Sedang yang lain berkata, “Kalau kamu meninggal, meninggalah sebagai (seorang yang mati) syahid, dan apabila kamu hidup, maka hiduplah sebagai orang yang mulia.”
Imam Ahmad bin Hambal tetap dalam mempertahankan kebenaran sampai Al-Mu’tashim meninggal yang digantikan oleh Al-Watsiq dan kemudian kemudian Al-Mutawakkil sebagai pembawa udara kebebasan bagi Ahmad bin Hambal, karena Al-Mutawakkil mengikuti ajaran Ahlu Sunnah.
Pada masa Al-Mutawakkil ini, berkibarlan tokoh-tokoh ulama sunnah, disis lain bermuram durjalah tokoh-tokoh penyeru bid’ah.
Allah Swt. Menghancurkan orang-orang yang tergabung menyulut api fitnah terhadap dunia Islam. Walau demikian, bagi Ahmad bin Hambal ujian dan fitnah belumlah usai menerpanya.
Pada masa kekhalifahan Al-Mutawakkil, fitnah jenis baru menerpa Imam Ahmad bin Hambal, yaitu fitnah keduniawian berupa harta, jabatan dan kemewahan lingkaran penguasa. Yang demikian itu karena Al-Mutawakkil berusaha mengaliri harta kekayaan kepada Ahmad bin Hambal, akan tetapi Imam dan guru iniadalah orang yang tidak gentar terhadap cambukan dan siksaan, sehingga diapun tidak tergoda oleh harta dan kedudukan. Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Aku selamat dari ujian mereka sampai usiaku mencapai 60 tahun. Dan sekarang aku diuji dengan ini semua !” akhirnya, Ahmad menjalani hidupnya dengan bersikap zuhud terhadap urusan duniawi dan cinta akhirat.
Akibat sikap dan ketabahannya tersebut, maka ketabahannya semakin agung dihati masyarakat dan berdampak besar terhadap para ulama dieranya dan era setelahnya. Kemudian munculah Madrasah yang diberi nama Madrasah Al-Hanabilah yang pemimpinnya adalah Imam Ahmad bin Hambal.

Wafat nya sang imam pembela sunnah

Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata, “Aku pernah mendengar ayahku berkata,” Aku sudah menyempurnakan umurku 77 (tujuh puluh tujuh) tahun.”
Malam itu mulut ayahku sudah kelu dan akhirnya meninggal pada hari kesepuluhnya.”
Shaleh berkata, “Ketika hari pertama bulan Rabiul Awal tahun 241 H, hari Sabtu ayahku merasakan demam yan gtinggi ketika sedang tidur dia susah sekali bernafas. Aku sudah mengetahui penyakit yang dikeluhkannya karena selalu merawatnya ketika kambuh.
Aku bertanya kepadanya, ”Ayah kemarin buka puasa dengan apa?” Dia menjawab, ”Aku berbuka dengan air Baqila (sejenis kacang). ”Setelah berkata seperti itu, dia ingin bangun dan berkata, ”Bantulah aku dengan memegang tanganku.”
Lalu, aku pun memegang tangannya dan membimbingnya masuk ke kamar kecil. Belum jauh berjalan, tiba-tiba dia merasakan bahwa kakinya terasa lemas sehingga dia berpegangan dan bersandar ke badanku. Para dokter mengatakan bahwa penyakit yang diderita ayahku adalah penyakit infeksi kulit kepala (favus-ked)
Hati ini adalah hari selasa, sementara dia meninggalnya adalah hari jumat. Ayah berkata kepadaku,”Wahai Shaleh,” lalu aku menjawabnya,”Iya, ada apa ayah!” Dia berkata lagi,”Janganlah kamu berubah menjadi sedih baik di rumahmu maupun di rumah saudaramu.” Kemudian Al-Fath bin Sahl yang ada di depan pintu untuk untuk menjenguknya merahasiakan kedatangannya, lalu juga Ali bin A-Ja’d datang yan gjuga merahasiakan kedatangannya dan akhirnya banyak orang yang datang.
Kemudian, ayahku berkata padaku,”Hai Shaleh, apakah yang kamu inginkan!?” Aku berkata ”Apakah ayah mengizinkan mereka masuk untuk mendoakan ayah?” Dia berkata “Aku mohon petunjuk dari Allah yang terbaik untukku.”
Setelah mendengar hal itu, orang-orang mulai masuk secara bergelombang sehingga memenuhi rumah. Mereka bertanya kabar kesehatannya lalu mendoakan dan keluar, lalu diganti dengan gelombang berikutnya hingga akhirnya jalan menjadi padat.
Waktu itu ada seorang tetangga kami datang membesuk, lalu ayahku berkata,”Sesungguhnya aku melihatnya menghidup-hidupkan sunnah.” Ayahku gembira dengan kedatangannya sehingga di menggerak-gerakan bibirnya. Sampai waktu itu, ayahku masih melakukan shalat dengan berdiridan aku membantunya. Dia laksanakan ruku’, sujud dan juga kembali dari ruku’ dengan sadar betul, karena akalnya masih normal.
Namun pada malam Jum’at, tanggal 12 bulan Rabiul Awal, tepatnya dua jam setelah siang hari tampak, ayahku menghembuskan nafas terakhirnya.”
Al-marwaji berkata, ”Ahmad bin hambal mulai sakit pada hari Rabu bulan Rabiul Awal. Dia sakit selama sembilan hari. Pada saat membolehkan orang-orang membesuknya, orang-orang pun berdatangan secara bergelombang. Mereka mengucapkan salam dan menyentuh tangan lalu mereka ke luar. Sakitnya semakin parah pada hari kamis , sehingga aku memberinya air wudhu dan dia berkata “bersihkan sela-sela jari.” Pada malam jum’at, sakitnya semakin berat dan akhirnya dia di panggil menghadap penciptanya.
Mendengar berita kematian tersebut, manusia pada menjerit histeris. Suara yang terdengar hanya isak tangis seolah-olah bumi ini turut bergoncang dan jalan-jalan pun menjadi ramai di padati manusia.”
Hambal berkata, ”Ahmad bin Hambal meninggal pada hari jum’at bulan Rabiul Awal.” Mathin menceritakan bahwa dia meninggal adalah pada 12 Rabiul Awal. Keterangan yang demukian ini pulalah yang di katakan Abdulah bin Ahmad dan Abbas Ad-Duri.
Imam Al-Bukhari berkata, ”Abu Abdillah mulai sakit dua malam memasuki bulan Rabiul Awal dan meninggal pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal.” Al-Khallal berkata, ”Al-Mawarzi berkata, Jenazahnya dikeluarkan dari rumah duka setelah orang-orang selesai menunaikan shalat Jum’at.”
Adz-Dzahabi berkata,”Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam kitab karyanya Al-Musnad dari Abu Amir dari Hisyam bin Sa’ad dari Said bin Ibnu Hilal dari Rabi’ah bin Saif dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah SAW, Beliu bersabda, “Tidak meninggal seorang yang berislam pada hari Jum’at kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, 2/169, At-Tirmidzi,9/195)
Imam At-Tirmidzi berkata.“ Hadits ini adalah hadits gharib. Sanad hadits tidak muttashil, karena Rabi’ah bin Saif tidak dikenal meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amr kecuali melalui Abu Abdirrahman Al-Habli dari Abdullah bin Amr. Hadits ini mempunyai sanad lain sebagaimana disebutkan As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah yang jalur periwayatan haditsnya dianggap hasan.”
Shaleh berkata, ”Ibnu Thahir selaku perwakilan dari Baghdad menghadap dengan assisten Mudzhafar yang ditemani dua orang yang masing-masing membawa tentengan yang berisi kain kafan dan wangi-wangian. Mereka berkata, ”Amirul Mukminin mengirim salam untuk kamu. ”Shaleh menjawab, “Paduka telah melakukan sesuatu yang apabila Amirul Mukminin datang, dia juga akan melakukannya.” Muhammad bin Abdillah bin Thahir turut menyalati jenazah Imam Ahmad dan hadirpula sekitar seratus orang dair Bani Hasyim.”
Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan mengisahkan bahwa ia mendengar Al-Mutawakkil berkata kepada Muhammad bin Abdilah, “Wahai Muhammad sungguh kamu telah beruntung telah bisa menyalati jenazah Ahmad bin Hambal.”
Abu Bakar Al-Khalal berkata, “Aku telah mendengar Abdu Wahab Al-Warraq berkata, “Kami belum pernah tahu ada kumpulan manusia sebanyak ini, baik di masa Jahiliyah maupun setelah masa Islam. Semua tempat penuh dengan manusia. Jumlah mereka yang turut mengiring jenazahnya mencapai sekitar 1.000.000 (satu juta orang). Turut hadir dipekuburannya perempuan sekitar 60.000 (enam puluh ribu orang). Begitu banyaknya manusia, sehingga para penduduk setempat membuka pintu rumah mereka untuk tempat wudhu.”

Oleh : Ust. Abu Humairoh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar