Sabtu, 20 April 2013

“Jangan sekutukan aku dengan siapapun”



“Jangan sekutukan aku dengan siapapun”
Menyingkap tabir di balik ma’na
“laa ilaha illallah”


FENOMENA PENYIMPANGAN TERHADAP MA’NA
LAA ILAHA ILLALLAH

Fenomena pelanggaran tauhid yang merusak aqidah islamiyyah  cukup banyak terjadi di masyarakat kita, tentu sebab utamanya adalah karena kejahilan dan kebodohan tentang masalah tauhid dan keimanan, serta hal-hal yang bisa mendangkalkan atau merusak akidah seorang muslim.
Kenyataan ini diisyaratkan dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,
{وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ}
Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS Yusuf:106).
Ibnu Abbas menjelaskan arti ayat ini, “Kalau ditanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit? Siapakah yang menciptakan bumi? Siapakah yang menciptakan gunung? Maka mereka akan menjawab: “Allah (yang menciptakan semua itu)”, (tapi bersamaan dengan itu) mereka mempersekutukan Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada selain-Nya) ( Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/649), lihat juga kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 406).
Dan ayat di atas Semakna dengan firmannya:
{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}
Dan sebagian besar manusia tidak beriman (dengan iman yang benar) walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS Yusuf:103).
Artinya: Mayoritas manusia walaupun kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk (Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang merupakan agama (warisan) nenek moyang mereka (Kitab “Fathul Qadiir” (4/77).
Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini dalam sabda beliau:
«لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ»
Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala)” (HR Abu Dawud (no. 4252), at-Tirmidzi (no. 2219) dan Ibnu Majah (no. 3952), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani).
Ayat-ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat Islam sampai datangnya hari kiamat (Lihat kitab “al-‘Aqiidatul Islaamiyyah” (hal. 33-34) tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
Dan kenyataan kesyirikan ini sudah sangat menyebar di negri kita ini, bahkan menyebar pesat di segala media yang ada, baik media cetak ataupun elektronik, dan ini tentu musibah besar yang menimpa bangsa yang mayoritas penduduknya adalah muslim, bagaimana tidak para pelopor kesyirikan hampir mengena kepada semua lapisan dari orang yang berjubah dan bersorban, sampai kepada yang berdasi dan berbaju keren, dan yang lebih aneh, aneh tapi nyata di negri kita ini anak yang bau kencur sekalipun bisa jadi pelopor kesyirikan sebut saja Ponari, nama yang sederhana, sesederhana orangnya. Tidak ada yang istimewa pada sosok bocah sepuluh tahun ini sampai suatu hari ia menemukan sebuah batu yang dikenal belakangan dengan sebutan “batu petir” dan konon diyakini “sakti”, paling tidak oleh ribuan orang yang telah menjadi pasiennya. Batu yang dengan sekali celup, air celupannya bisa mengobati segala macam penyakit. Batu yang telah menjungkirbalikkan logika ribuan anak bangsa dan menyeret kepada kubangan kesyirikan, karena apapun alasannya orang-orang yang datang kepadanya hampir semuanya terjerumus dalam keyirikan baik  mereka yang meyakini bahwa kesembuhan semata-mata berkat kekuatan batu, tidak ada campur tangan AllahSubhanahu Wa Ta’ala dalam hal ini. Maka mereka telah jatuh kepada kesyirikan yang besar. Karena mereka telah meyakini ada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menyembuhkan, atau  mereka yang meyakini bahwa kesembuhan datangnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata dan batu hanya sebagai sebab. Maka mereka telah terjatuh kepada syirik kecil, karena mereka telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab, ataupun  dengan niatan mengharap barakahnya Maka merekapun telah terjatuh kepada syirik kecil sebagai mana sebuah riwayat:
Al Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsi Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkisah, “Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menuju Hunain dan (waktu itu) kami belum lama masuk Islam. Dan orang-orang musyrikin mempunyai pohon Bidara yang mereka jadikan tempat semedi dan menggantungkan senjata-senjata mereka dibawahnya (mengharapkan barakahnya) yang mereka namakan dengan sebutan Dzatu Anwath. Maka (ketika) kami melewati sebuah pohon Bidara, kami berkata: Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath seperti orang-orang musyrikin punya Dzatu Anwath.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Allahu Akbar! Sesungguhnya ini adalah suatu jalan/ajaran, apa yang kalian ucapkan –demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya- persis seperti yang pernah diucapkan Bani Israil kepada Musa, “Buatkanlah untuk kami sesembahan (selain Allah) sebagaimana mereka punya sesembahan, Musa berkata: kalian adalah kaum yang jahil”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melanjutkan: kalian akan benar-benar mengikuti jalan-jalan ummat sebelum kalian”.

Keutamaan kalimat tauhid laa ilaha illallah
Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan,”Kalimat Tauhid (yaitu Laa Ilaha Illallah, pen) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Yang paling agung adalah karena islam baru bisa akan tegak dengan adanya kalimat tauhid ini, bahkan di utusnya para utusan dari zaman kezaman dan di turunkannya kitab-kitab langit itu semua Karena kalimat tauhd ini, termasuk di wajibkannya jihada demi mempertahankan kalimat ini. Di antara keutamaan yang adalah :

1. Membebaskan dari kobaran api neraka
Suatu saat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar muadzin mengucapkan ’Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi,
« خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ »
”Engkau terbebas dari neraka.” (HR. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
”Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)

2. Mendapatkan kebaikan yang besar
Abu Dzar berkata,
قُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَلِّمْنِي بِعَمَلٍ يُقَرِّبُنِي مِنَ الجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ إِذاَ عَمَلْتَ سَيِّئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً فَإِنَّهَا عَشْرَ أَمْثَالِهَا، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ ، قَالَ هِيَ أَحْسَنُ الحَسَنَاتِ وَهِيَ تَمْحُوْ الذُّنُوْبَ وَالْخَطَايَا
Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi,”Wahai Rasulullah, apakah ’laa ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,”Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)

3. Merupakan dzikir yang paling utama
Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam (hadits marfu’),
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Dzikir yang paling utama adalah bacaan ’laa ilaha illallah’.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadapKalimatul Ikhlas, 62)

4. Mendapat pahala menyamai pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan
Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairoh radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda,
« مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِىَ ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ ، إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ » .
Barangsiapa mengucapkan ’laa il aha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ’ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.” (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)

5. Mendapat Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu mana saja yang dia sukai
Dari ’Ubadah bin Shomit radhiyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ
Barangsiapa mengucapkan ’saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan (bersaksi) bahwa ’Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)

6. Tauhid adalah tingkat keimanan yang tertinggi
Kita ketahui bahwa iman itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan yang tertinggi adalah kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah.

Rasulullah bersabda : “Iman itu ada enam puluh cabang lebih, paling tinggi adalah perkataan / ucapan Laa Ilaaha Illallah dan paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan. (H.R. Muslim).

Perlu diketahui bahwa Laa Ilaaha Illallah tidak cukup hanya diucapkan di lisan saja. Akan tetapi harus bersumber dari hati yang ikhlas dan kemudian dibuktikan dengan pengamalan dari apa yang dikandung oleh Laa Ilaaha Illallah yaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Sebagaimana Rasulullah bersabda: “sesunguhnya Allah mengharamkan bagi neraka orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan mengharap wajah Allah. (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

7. Tauhid sebagai syarat diterimanya suatu ibadah
Allah berfirman :
 
Seandainya mereka menyekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka Amalan yang telah mereka kerjakan.(Q.S. Al Anam : 88)

Amalan-amalan ibadah orang musyrik tidak akan diterima oleh Allah dan sebaliknya orang Muwahhid akan diterima oleh Allah amalan ibadahnya.

8. Orang yang benar-benar merealisasikan tauhid akan masuk jannah (surga) tanpa hisab
Ketika para shahabat bertanya-tanya tentang 70.000 orang dari umat Muhammad yang masuk jannah tanpa hisab dan tanpa adzab, maka Rasulullah bersabda :
mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay dan tidak mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya dan mereka bertawakkal hanya kepada Allah. (H.R. At Tirmidzi)

9. Tauhid merupakan sumber keamanan
Sebagaimana firman Allah :
 
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kedhaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al Anam : 82)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : Orang-orang yang mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah saja dan mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, mereka itu akan mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk di dunia dan akhirat. (Fathul Majid hal. 36)
Yang dimaksud dengan kedhaliman pada ayat di atas adalah syirik sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Masud : Tatkala turun ayat ini, para shahabat berkata : Siapa di antara kami yang tidak pernah mendhalimi dirinya ? Kemudian Rasulullah bersabda : Bukan demikian maksudnya, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman: sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedhaliman yang besar. (H.R. Al Bukhari)
Inilah sebagian di antara keutamaan kalimat syahadat laa ilaha illallah dan masih banyak keutamaan yang lain.

Namun kenyataan di masyarakat kaum muslimin di negri kita ini walaupun sudah jelas keutamaan kalimat tauhid banyak di kalangan kaum muslimin yang di lalaikan untuk mengucapkannya padahal kalimat yang sangat ringan ini sangat berat dalam timbangan bisa di baca hadits bitoqoh, namun juga yang di sayangkan ada juga di kalangan kaum muslimin yang mereka rajin mengucapkan kalimat tauhid ini justru terjerumus kepada bid’ah dan syirik.

Penyimpangan ma’na dan tafsir laa ilaha illallah
Ketahuilah bahwa sebagian kelompok yang menyempal dari sunnah atau menyempal dari islam menyerukan kepada tauhid, namun tauhid yang mereka serukan bukan tauhid yang di maksud, atau tauhid yang di bawa para utusan Allah melainkan tauhid kesesatan dan penyimpangan, sebagian mereka menukar nama di mana kesyirikan di nyatakan tauhid, dan tauhid di nyatakan kesyirikan perhatikan ma’na tauhid yang di maksudkan oleh mereka:
1. Orang-orang ahli filsafat menamakan ilmu kalam atau filsafat dan mantiq Yunani yang dipakai untuk mempelajari permasalahan-permasalahan aqidah sebagai tauhid (lihat Al Haqiqatus Syariyyah, oleh Bazmuul hal :73).
2. Orang-orang Mu’tazilah mendefinisikan kata tauhid dengan pembahasan seputar sifat-sifat Allah, apa yang wajib untuk-Nya, dan apa yang tidak. Walaupun pada akhirnya mereka mengingkari semua sifat Allah yang kemudian hal ini menjadi salah satu dari 5 prinsip mereka (lihat Firaq Mu’asirah 2/1032).
3. Orang-orang penganut tarekat Tasawuf khususnya ekstrem mereka, justru meyakini tauhid sebagai “wihdatul wujud “ , yakni bersatunya Allah dengan makhluk Nya. Menurut mereka tauhid ada 3 tingkatan:
a. Tauhid orang awam yaitu hanya beribadah kepada Allah tidak mempersekutukan-Nya.
b. Tauhidnya orang-orang khusus, hakekatnya adalah tenggelam dalam tauhid Rububiyyah yakni meyakini Rububiyah Allah dan meniadakan sebab atau hikmah (penciptaan mahkluk) sebagaimana keyakinan orang-orang Jabriyah. (Minhaju Sunnah Nabawiyah 5/3588 355).
c. Tauhidnya Khashatul Khasshah (orang khususnya orang-orang khusus) yaitu wihdatul wujud. (lihat Madhahil Inhirafat Aqadiyah 1/ 228-230)
4. orang-orang jahmiyyah mendefinisikan kata tauhid dengan istilah “tanzih” membersihkan Allah dari peyerupaan, namun yang di maksud adalah mengingkari nama dan sifat bagi Allah ta’ala secara keseluruhan.
Di antara kesalahan-kesalahan lain tentang ma’na dan tafsir laa ilaha illallah adalah :

La Ilaha illallah di tafsirkan dengan tiada Tuhan Selain Allah

Di antara kesalahan dalam syahadat adalah memaknai La Ilaha Illallah dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Konsekuensi dari pemaknaan ini menyebabkan setiap orang yang mengakui Allah adalah Tuhannya maka ia telah masuk islam. Padahal, kaum musyrik Quraisy pun mengakui bahwa Allah lah Tuhan mereka, Allah lah yang menciptakan langit dan bumi, Allah lah yang menghidupkan dan mematikan mereka, Allah lah yang memberi mereka rizki. Namun pengakuan mereka ini tidaklah menyebabkan mereka masuk islam. Mereka tetap dinyatakan kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah yang artinya,
 

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (Yunus: 31).

La Ilaha Illallah  di tafsirkan dengan tiada Sesembahan Selain Allah

Kesalahan lainnya mengenai syahadat La Ilaha Illallah adalah memaknainya dengan Tiada sesembahan selain Allah. Pemaknaan ini jelas-jelas menyimpang dari yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena, konsekuensi dari makna ini ialah bahwa seluruh sesembahan yang ada di muka bumi ini adalah Allah (sebagaimana pernyataan ‘Tidak ada Nabi kecuali laki-laki’ berarti ‘Semua Nabi adalah laki-laki’). Hal ini jelas-jelas mustahil, karena apakah mungkin Budha, Yesus, Dewa Wisnu, Dewa Krishna, Dewa Brahma, Dewi Sri dan sesembahan-sesembahan lainnya itu adalah Allah? Bahkan konsekuensi pemahaman ini lebih buruk dari pemahaman orang Nasrani yang menjadikan Nabi Isa sebagai Allah itu sendiri. Sebagaimana firman-Nya
artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam”.”(Al Maidah: 72).
Pengertian yang benar dari syahadat La Ilaha Illallah
Lalu, apakah makna yang benar dari syahadat La Ilaha Illallah? Makna syahadatLa Ilaha Illallah adalah Tiada Sesembahan yang berhak untuk disembah/diibadahi selain Allah atau dengan kata lain Tiada sesembahan yang benar kecuali Allah. Pengertian ini sangat sesuai dengan kenyataan yang ada di sekitar kita. Kita lihat bahwa sesungguhnya di dunia ini begitu banyak sesembahan yang disembah/diibadahi selain Allah. Namun semua sesembahan itu adalah batil. Sesembahan-sesembahan itu tidak layak dan tidak pantas untuk disembah/dibadahi. Hanya Allahlah satu-satunya yang berhak dan benar untuk disembah. Hal ini sebagaimana doa yang sering kita ucapkan berulang-ulang kali di dalam salat kita “Hanya kepada-Mulah kami beribadah”.

La Ilaha illallah tidak bisa di batalkan kecuali dengan pindah agama

Di antara kesalahan lainnya adalah pemahaman yang menyatakan bahwa seseorang tidak batal syahadatnya kecuali jika ia pindah agama dari islam ke agama selain islam. Atau dengan kata lain, apabila seseorang telah bersyahadat, maka ia tetap beragama islam kecuali ia pindah agama. Hal ini jelas salah, karena bukan hanya pindah agama saja yang dapat menyebabkan seseorang batal syahadatnya dan keluar dari islam. Banyak hal-hal lain yang dapat membatalkan syahadat seseorang, di antaranya adalah berdoa kepada wali atau orang saleh (serta perbuatan-perbuatan syirik lainnya), melakukan perbuatan sihir, tidak mengkafirkan orang kafir (seperti orang Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu, Konghucu dan lain sebagainya) atau ragu-ragu atas kekafiran mereka, membenci ajaran islam, menghina Allah, menghina Rasulullah, menghina ajaran islam, berpaling dari agama Allah, tidak mempelajari dan mengamalkannya dan lain sebagainya. Orang yang melakukan salah satu dari pembatal syahadat tersebut dan tidak bertaubat, maka ia kafir. Meskipun ia salat, puasa, zakat, pergi haji serta melakukan ibadah-ibadah lainnya.

Bahwa ma’na laa ilaha illallah di artikan dengan ritual Tahlilan atau dzikir berjama’ah

Di antara kesalahan lainnya yang tersebar di masyarakat berkaitan dengan kalimat La Ilaha Illallah adalah ritual tahlilan. Ritual ini merupakan ritual yang sering dilakukan masyarakat Indonesia untuk mengirim pahala bagi anggota keluarganya yang telah meninggal. Pada ritual ini biasanya diadakan jamuan makan yang diikuti dengan pembacaan Al Qur’an dan dzikir kalimat La Ilaha Illallah. Ritual ini merupakan ritual yang tidak ada landasannya dari islam. Ritual tahlilan ini meskipun sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita, namun sama sekali tidak ada petunjuknya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tidak didapatkan satu pun hadits yang shohih yang menyatakan Rasulullah dan para sahabatnya pernah melakukan tahlilan untuk mengirimkan pahala kepada kerabat mereka yang telah meninggal. Padahal, semasa Rasulullah hidup, banyak keluarga beliau yang meninggal, tetapi beliau tidak pernah melakukan tahlilan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim). Bahkan sesungguhnya, ritual tahlilan merupakan modifikasi dari ritual masyarakat animisme dan dinamisme dahulu. Di mana mereka beranggapan bahwa apabila arwah telah keluar dari jasad maka arwah tersebut akan bergentayangan pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus dan keseribu. Maka untuk mengusir arwah gentayangan terebut, mereka pun membaca mantra-mantra sesuai dengan keyakinan mereka. Dan ketika islam datang, maka mantra-mantra tersebut diganti dengan kalimat La Ilaha Illallah, sehingga ritual masyarakat animisme tersebut pun berubah menjadi ritual tahlilan.
Sebagian sufi ada yang membolehkan untuk mengucapkan tauhid dengan cukup Allah Allah
Sebagian orang awwam yang trpengaruh dengan keyakina orang-orang sufi meyakini bolehnya mnyingkat kalimat laa ialaha illallah dengan cukup mengucapkan Allah Allah atau huwa huwa atau yang lebih singkat lagi hu hu…bahkan yang lebih memperparah keyakinan ini adalah orang yang mengucapkan kalimat tauhid yang kalimat yang paling singkat mereka di sebut dengan khowashul khowash (orang-orang khusus yang sudah mencapai derajat tertentu) dan jelas hal ini adalah kebatilan yang nyata kerena kalimat Allah atau huwa, atau hu tidak ada peniadaan terhadap sesembahan yang batil dan tidak ada penetapan akan sesembahan yang hak, maka orang yang mengucapkannya tidak akan membawa manfaat sedikitpun, bahkan ini merupakan permainan syaiton.
Nama nama lain untuk kaliamt “laa ilaha illah”
1. laa ilaha illah di sebut juga dengan nama kalimatul ikhlas karena di dalamnya terkandung pengikhlasan dalam peribadatan kepada Allah ta’ala semata dan menjauhkan dari penyekutuan diri kepada selain Allah.
2. laa ilaha illah juga di sebut dengan nama kalimatu at taqwa karena di dalamnya terkandung di dalamnya penyelamatan dari kobaran api neraka, karena orang yang mengucapkannya di haruskan untuk melakukan kebajikan dan kebaikan dan itu semua mencakup dalam ketaqwaan.
3. laa ilaha illah juga di sebut dengan nama al urwatul wutsqo’ yaitu tali yang kokoh dan kuat yang tidak bisa putus karena di dalmnya terkandung pengkufuran terhadap thogut dan perintah beriman kepada Allah
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
4. laa ilaha illah juga di sebut dengan nama Al faariqoh bainal kufri wal islam karena di dalamnya terkandung makna bahwa orang mengucapkannya dan ia faham dengan ma’nanya serta mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya maka ia di sebut muslim kalau tidak maka tidak di sebut muslim Waupun ia mengucapkannya

Ma’na yang benar bagi “laa ilaha illallah”

Laa ilaha  ini adalah menafikan segala sesuatu yang disembah selain Allah
Illallah adalah Penetapan ibadah hanya untuk Allah saja, tidak ada syarikat bagi-Nya di dalam ibadah kepada-Nya.
Kata ilah berasal dari kata alaha. Dalam kitab Ash Shihah fi Lughah diterangkan bahwa alaha artinya ‘abada (menyembah). Dalam Mukhtar Ash Shihah di terangkan
bahwa alaha-ya’lahu artinya ‘abada (menyembah). Sedangkan kata ilah itu mengikuti pola/rumus fi’al yang bermakna maf’ul (objek). Sehingga ilah bermakna ma’luh/objek yang disembah. (Lihat Mukhtar Ash Shihah, Bab “Hamzah”, )
Di dalam Kamus Al Mu’jam Al Wasith (Jilid 1, hlm. 25) disebutkan bahwa ilah adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai sesembahan. Apabila diungkapkan dalam bentuk jamak/plural maka disebut alihah (sesembahan-sesembahan). Sesembahan di dalam bahasa Arab juga disebut dengan ma’bud. Karena itu, para ulama menafsirkan la ilaha illallah dengan la ma’buda bihaqqin atau la ma’buda haqqun illallah (tidak ada yang di sembah dengan benar kecuali Allah) (Lihat Syarh Tsalatsatu Ushul Ibnu Utsaimin, hlm. 71)

Rukun-rukun “laa ialaha illallah”

Rukun yang pertama adalah nafyi, orang yang mengucapkan kalimat ini harus menafikan  segala sesuatu yang disembah selain Allah bukan sekedar penafian dalam bentuk berlepas diri tapi penafian dengan bentuk kufur kepadanya benci kepadanya, dia harus berlepas diri dari segala sesuatu yang disembah selain Allah, ini rukun yang pertama. Belum dikatakan mengucapkan la ilaha ilallah kalau dia masih datang minta ke kuburan, masih bermunajat ke tempat-tempat yang dikeramatkan, masih berhubungan dengan makhluk-makhluk halus dalam bentuk pengakuan dan penyembahan kepadanya. Rukun yang kedua adalah itsbat, dia harus menetapkan bahwa yang disembah itu hanyalah Allah, di mana segala jenis ibadah itu hanyalah untuk Allah Subhaanahu wa ta'ala  semata sebagaimana Allah berfirman:

"Katakanlah sesungguhnya shalatku dan sembelihanku dan hidupku serta matiku adalah untuk Allah rabb (pencipta ) alam semesta tiada sekutu bagi-Nya".

Syarat-syarat “laa ilaha illallah”
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung dan besar. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikata-kan bahwa kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah “laa ilaha illallah” tidak ada sesembahan yangberhak di sembah kecuali Allah maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh dalam kitab Fathul Majid bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut kecuali memenuhi syarat-syarat “laa ilaha illallah” Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang-sapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
“Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diiba-dahi kecuali Allah…” (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas makna-nya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui? Atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan, ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan, maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52)
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Di antara Syarat-syarat “laa ilaha illallah” tersebut:
Syarat pertama: Mengilmui makna kalimat Laa Ilaha illallah
Maknanya adalah mengilmui dan mewujudkan di dalam amal karena tidak cukup hanya mengilmui maknanya lalu tidak mengamalkannya. Bukankah orang kafir Quraisy di masa silam lebih mengetahui maknanya dibanding kaum muslimin di masa sekarang? Namun pengetahuan mereka tentang kalimat yang agung ini tidak menjadikan mereka beriman disebabkan mereka tidak mau mengamalkan apa yang mereka ketahui. Hal tersebut nampak ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka agar mengucapkan Laa Ilaha illallah sembari mereka menyangkal.

أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia (Rasulullah) akan menjadikan tuhan-tuhan (ini) menjadi satu tuhan? Sesungguhnya ini perkara yang sangat mengherankan.” (Shad: 5)

Tentang syarat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Kecuali bagi orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahuinya.” (Az-Zukhruf: 86)
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Barangsiapa yang meninggal dan dia mengetahui kalimat La ilaha illallah akan masuk ke dalam surga .”



Syarat kedua: Yakin terhadap makna yang dikandungnya.
Keyakinan yang akan menghilangkan keraguan pada diri seorang muslim. Artinya, yang mengucapkannya meyakini kebenaran, kandungan, dan konsekuensi kalimat tersebut, dengan keyakinan yang pasti dan bukan dengan zhan (praduga) belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu padanya dan mereka berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa-jiwa mereka, merekalah orang-orang yang jujur.” (Al-Hujurat: 15)

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan kejujuran iman orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak ada keraguan padanya. Karena ragu dalam keimanan merupakan sifatnya orang-orang munafiq.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang engkau jumpai di belakang tembok ini, yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dengan penuh keyakinan dalam hati maka berikanlah kabar gembira dengan surga .”

Syarat Ketiga: Ikhlas
Keikhlasan yang akan memadamkan segala gejolak kesyirikan, kemunafikan, riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar/populer). Karena ikhlas dalam pandangan agama adalah membersihkan amalan dengan niat yang baik dari segala noda-noda kesyirikan.

فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Az-Zumar: 2)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Lailahaillallah dengan penuh keikhlasan dari hatinya.”

Dari ‘Itban bin Malik ia berkata: Telah bersabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang megucapkan Lailahaillallah semata-mata mencari wajah Allah.”

Syarat Keempat: Jujur
Kejujuran yang akan menghilangkan sifat dusta. Artinya, orang yang mengucapkan kalimat Laa Ilaha illallah harus dibenarkan oleh hatinya, karena jika dia mengucapkannya dengan lisan lalu hatinya tidak membenarkan apa yang diucapkan maka dia adalah orang munafiq dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengucapkan kami beriman lalu tidak diuji. Dan sungguh Kami telah menguji orangorang sebelum mereka, agar Allah benarbenar mengetahui siapa di antara mereka yang jujur dan siapa yang berdusta.” (Al-’Ankabut: 1-2)

Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah dengan penuh kejujuran dalam hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan neraka atasnya.”

Syarat Kelima: Cinta
Artinya cinta terhadap kalimat yang besar ini dengan segala konsekuensinya dan mencintai pula orang yang mengamalkan maknanya beserta syarat-syaratnya, juga membenci para penentangnya.
 “Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (di mana) mereka cinta kepadanya sebagaimana cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Orang yang bertauhid akan mencintai Allah dengan kecintaan yang murni. Sebaliknya, orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala namun bersamaan dengan itu juga mencintai selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentu hal ini akan menafikan ketauhidannya.

Syarat Keenam: Ketundukan
Ketundukan dan pasrah diri dalam melaksanakan segala konsekuensi kalimat tersebut dengan cara menolak semua jenis kesyirikan yang akan membatalkan ketauhidan.

“Dan barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dan dia dalam berbuatbaik, maka sugguh dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (Luqman: 22)

Syarat Ketujuh: Menerima
Artinya menerima kalimat tersebut dan kandungannya, dengan lisan dan hatinya, beserta segala konsekuensinya dengan menghilangkan sikap penolakan apa yang dituntut oleh kalimat tauhid tersebut.
"Sesungguhnya mereka jika diserukan untuk mengucapkan kalimat Laa ilaha illallah mereka menyombongkan diri. Dan mereka seraya berkata: Bagaimana kami akan meninggalkan tuhan-tuhan kami karena (seruan) seorang yang gila.” (Ash-Shaffat: 35-36)
Syarat kedelapan: Mengingkari Thaghut
Yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia atau pun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi kufur dan syirik.
Maka pimpinan thaghut yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha yang mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang-siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(al-Baqarah: 256)
Dan dalam hadits: “Barangsiapa yang berkata laa ialah illallah dan me-ngingkari terhadap apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah.” (HR. Muslim). [lihat ‘Aqidah Tauhid hal. 53-57 karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Al-Qaulul Mufid fi Adillati At-Tauhid hal. 28-33 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Yamani, Laa Ilaha illallah Ma’naha wa Makanaha wa Muqtadhaha hal. 14-15, karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 2, karya Nu’man Al-Watr]
Bahaya Syirik

Adapun diantara bahaya perbuatan syirik adalah sebagai berikut :
Pertama: Syirik adalah dosa dan kezhaliman yang terbesar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata pada anaknya saat ia memberi pelajaran padanya, “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan-Nya adalah kezhaliman yang besar”.” (QS. Luqman:13).
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyalLahu’anhu mengatakan, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dosa apakah yang paling besar? Beliau menjawab: “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, sedangkan Dia yang menciptakanmu…”. (Muttafaqun ‘alaihi).
Rasulullah shallallahhu’alaihi wa sallam juga mengingatkan para Sahabatnya akan bahaya syirik ini dalam sabdanya: “Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa yang paling besar?”, kami (Sahabat) mengatakan: “Tentu wahai Rasulullah”, lalu beliau mengatakan: “(Dosa yang paling besar) adalah menyekutukan Allah dan (selanjutnya) durhaka pada kedua orang tua…”. (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Bakrah radhiyalLahu’anhu).

Kedua: Syirik adalah penghapus amalan seseorang, apakah seorang muslim (awalnya) maupun kafir, jika berbuat syirik maka terhapuslah semua pahala yang pernah ia dapatkan dan kebaikan yang pernah ia kerjakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, “Jika kamu menyekutukan (Allah), niscaya akan terhapus amalmu dan pasti kamu termasuk orang–orang yang merugi”.” (QS. Az-Zumar:65).

Ketiga: Jika seorang mati sebelum ia bertaubat dari dosa syirik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan pernah mengampuni dosanya untuk selama-lamanya, sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa yang lebih ringan dari syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa menyekutukan Allah, sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh.” (QS. An-Nisa’:116).

Keempat: Seorang yang mati dalam keadaan musyrik diharamkan masuk surga, maka tempat kediamannya kelak pasti di neraka jahannam dan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya ia merasakan adzab yang sangat pedih, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah, sungguh Allah haramkan baginya surga dan tempatnya adalah neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah:72).

Kelima: Orang-orang musyrik adalah makhluq yang paling hina yang pernah tercipta di dunia dan akhirat, bahkan mereka lebih hina dari binatang ternak, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” (QS Al-Bayyinah:6)
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqon:44).

Keenam: Syirik adalah sebab kebinasaan dan musibah serta malapetaka yang menimpa manusia, bahkan sebab kehancuran alam semesta ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” Sesungguhnya (dengan perkataan itu) kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, serta gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” (QS. Maryam:88-91)
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, Beliau ditanya, wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu? Beliau menjawab: Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba’, lari dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mu’minah padahal dia tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairoh radhiyalLahu’anhu).

Ketujuh: Diharamkan seorang musyrik untuk menikahi wanita muslimah, demikian pula sebaliknya, seorang muslim diharamkan menikahi wanita musyrikah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqoroh:221).

Kedelapan: Tidak boleh mendoakan orang yang mati dalam keadaan musyrik meskipun keluarga terdekat, bahkan keluarga para Nabi sekalipun, sebagaimana Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendoakan pamannya Abu Thalib meski jasa besarnya dalam membela Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan juga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilarang untuk mendoakan bapaknya yang mati musyrik (lihat QS. At-Taubah:113-114 dan sababun nuzulnya dalam Tafsir Ibnu Katsir juz 2/518).

di susun: ust. Abu Humairoh al batamy



Tidak ada komentar:

Posting Komentar