Sabtu, 20 April 2013

ASAL USUL PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAHI WASSALM



ASAL USUL PERINGATAN
MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAHI  WASSALM

Sejarah munculnya peringatan maulid
Disebutkan para ahli sejarah bahwa kelompok yang pertama kali mengadakan maulid adalah kelompok Bathiniyah, yang mereka menamakan dirinya sebagai bani Fatimiyah dan mengaku sebagai keturunan Ahli Bait (keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam). Disebutkan bahwa kelompok batiniyah memiliki 6 peringatan maulid, yaitu maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maulid Ali bin Abi Thalibradhiallahu ‘anhu, maulid Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid penguasa mereka. Daulah Bathiniyah ini baru berkuasa pada awal abad ke-4 H. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam baru muncul di zaman belakangan, setelah berakhirnya massa tiga abad yang paling utama dalam umat ini (al quruun al mufadholah). Artinya peringatan maulid ini belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat, tabi’in dan para Tabi’ tabi’in. Al Hafid As Sakhawi mengatakan: “Peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum pernah dinukil dari seorangpun ulama generasi terdahulu yang termasuk dalam tiga generasi utama dalam islam. Namun peringatan ini terjadi setelah masa itu.”
Pada hakekatnya, tujuan utama daulah ini mengadakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dalam rangka menyebarkan aqidah dan kesesatan mereka. Mereka mengambil simpati kaum muslimin dengan kedok cinta ahli bait Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. (Dhahiratul Ihtifal bil Maulid An Nabawi karya Abdul Karim Al Hamdan)

Siapakah Bani Fatimiyah
Bani Fatimiyah adalah sekelompok orang Syi’ah pengikut Ubaid bin Maimun Al Qoddah. Mereka menyebut dirinya sebagai bani Fatimiyah karena menganggap bahwa pemimpin mereka adalah keturunan Fatimah putri Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Meskipun aslinya ini adalah pengakuan dusta. Oleh karena itu nama yang lebih layak untuk mereka adalah Bani Ubaidiyah bukan Bani Fatimiyah. Kelompok ini memiliki paham syi’ah rafidhah yang menentang ahlu sunnah, dari sejak didirikan sampai masa keruntuhannya. Berkuasa di benua Afrika bagian utara selama kurang lebih dua abad. Dimulai sejak keberhasilan mereka dalam meruntuhkan daulah Bani Rustum tahun 297 H dan diakhiri dengan keruntuhan mereka di tangan daulah Salahudin Al Ayyubi pada tahun 564 H. (Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).
Daulah Fatimiyah ini memiliki hubungan erat dengan kelompok syi’ah Al Qaramithah Bathiniyah. Perlu diketahui bahwa Kelompok Al Qaramithah Bathiniyah ini memiliki keyakinan yang sangat menyimpang dari ajaran islam. Diantaranya mereka hendak menghilangkan syariat haji dalam agama islam. Oleh karena itu, pada musim haji tahun 317 H kelompok ini melakukan kekacauan di tanah haram dengan membantai para jama’ah haji, merobek-robek kain penutup pintu ka’bah, dan merampas hajar aswad serta menyimpannya di daerahnya selama 22 tahun. (Al Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir).

Siapakah Abu Ubaid Al Qoddah
Nama aslinya Ubaidillah bin Maimun, kunyahnya Abu Muhammad. Digelari dengan Al Qoddah yang artinya mencolok, karena orang ini suka memakai celak sehingga matanya kelihatan mencolok. Pada asalnya dia adalah orang yahudi yang membenci islam dan hendak menghancurkan kaum muslimin dari dalam. Dia menanamkan aqidah batiniyah. Dimana setiap ayat Al Qur’an itu memiliki makna batin yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus diantara kelompok mereka. Maka dia merusak ajaran islam dengan alasan adanya wahyu batin yang dia terima dan tidak diketahui oleh orang lain. (Al Ghazwul Fikr & Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).
Dia adalah pendiri dan sekaligus orang yang pertama kali memimpin bani Fatimiyah. Pengikutnya menggelarinya dengan Al Mahdi Al Muntadhor (Al Mahdi yang dinantikan kedatangannya). Berasal dari Iraq dan dilahirkan di daerah Kufah pada tahun 206 H. Dirinya mengaku sebagai keturunan salah satu ahli bait Ismail bin Ja’far As Shadiq melalui pernikahan rohani (nikah non fisik). Namun kaum muslimin di daerah Maghrib mengingkari pengakuan nasabnya. Yang benar dia adalah keturunan Said bin Ahmad Al Qoddah. Dan terkadang orang ini mengaku sebagai pelayan Muhammad bin Ja’far As Shodiq. Semua ini dia lakukan dalam rangka menarik perhatian manusia dan mencari simpati umat. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak diantara orang-orang bodoh daerah afrika yang membenarkan dirinya dan menjadikannya sebagai pemimpin. (Al Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir & Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).

Sikap para ulama terhadap Bani Ubaidiyah (Fatimiyah)
Para ulama ahlus sunnah telah menegaskan status kafirnya bani ini. Karena aqidah mereka yang menyimpang. Para ulama menegaskan tidak boleh bermakmum di belakang mereka, tidak boleh menshalati jenazah mereka, tidak boleh adanya hubungan saling mewarisi di antara mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan sikap-sikap lainnya sebagaimana yang selayaknya diberikan kepada orang kafir. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang sezaman dengan mereka dan secara tegas menyatakan kekafiran mereka adalah As Syaikh Abu Ishaq As Siba’i. Bahkan beliau mengajak untuk memerangi mereka. Syaikh Al Faqih Abu Bakr bin Abdur Rahman Al Khoulani menceritakan:
“Syaikh Abu Ishaq bersama para ulama lainnya pernah ikut memerangi bani Aduwillah (Bani Ubaidiyah) bersama bersama Abu Yazid. Beliau memberikan ceramah di hadapan tentara Abu Yazid: ‘Mereka mengaku ahli kiblat padahal bukan ahli kiblat, maka kita wajib bersama pasukan ini yang merupakan ahli kiblat untuk memerangi orang yang bukan ahli kiblat (yaitu Bani Ubaidiyah)…’”
Diantara ulama yang ikut berperang melawan Bani Ubaidiyah adalah Abul Arab bin Tamim, Abu Abdil Malik Marwan bin Nashruwan, Abu Ishaq As Siba’i, Abul Fadl, dan Abu Sulaiman Rabi’ Al Qotthan. (Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).
Setelah kita memahami hakekat peringatan maulid yang sejatinya digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan aqidah kekafiran bani Ubaidiyah…akankah kita selaku kaum muslimin yang membenci mereka melestarikan syi’ar orang-orang yang memusuhi ajaran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam?? Perlu kita ketahui bahwa merayakan maulid bukanlah wujud cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukankah para sahabat, ulama-ulama Tabi’in, dan Tabi’ Tabi’in adalah orang-orang yang paling mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun tidak tercatat dalam sejarah bahwa mereka merayakan peringatan maulid. Akankah kita katakan mereka tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Seorang penyair mengatakan: “Jika cintamu jujur tentu engkau akan mentaatinya…
karena orang yang mencintai akan taat kepada orang yang dia cintai”…
Cinta yang sejati bukanlah dengan merayakan hari kelahiran seseorang… namun cinta yang sejati adalah dibuktikan dengan ketaatan kepada orang yang dicintai. Dan bagian dari ketaatan kepada Nabishallallahu ‘alahi wa sallam adalah dengan tidak melakukan perbuatan yang tidak beliau ajarkan.
Kisah dusta tentang solahuddin
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. karena para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara yang menganut keyakinan Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.

Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulidhal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalamMuhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfuzh dalam al ‘Ibda’ hal.126.

Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]

Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”

Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah.
Siapakah Sholahuddin al Ayyubi
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.
Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.
Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.  

Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”

Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih. [Siyar A’lamin Nubala’: 15/434 no.5301]


Kemungkaran perayaan Maulid

1. Meyakini disyari’atkannya perayaan maulid.
Padahal amalan ini adalah penentangan yang besar terhadap syari’at karena dia adalah bid’ah yang mungkar. Serta meyakini kesyirikan yang terjadi di dalamnya -berupa penyembahan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka apakah ada keyakinan yang paling rusak dibandingkan meyakini bid’ah sebagai sunnah dan meyakini kesyirikan sebagai ibadah ?!

2. Meyakini bahwa barangsiapa yang mendapati pada hari itu (hari maulid) satu saat ketika keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, lalu dia berdo’a kepada Allah saat itu, maka pasti akan terkabulkan.
Ini mereka kiaskan dengan adanya satu waktu pada hari Jum’at yang padanya dikabulkan do’a, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda tentang hari Jum’at:
 “Di dalamnya terdapat satu waktu, seorang hamba yang muslim tidaklah mendapatinya sedang dia dalam keadaan berdo’a, memohon sesuatu kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali Allah akan kabulkan permintaannya”. (HR. Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 852)
Bantahan:
Orang yang mempunyai ilmu agama yang paling minim pun akan mengetahui rusaknya kias yang seperti ini. Karena terkabulnya do’a pada hari Jum’at diketahui dengan adanya nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun perayaan maulid adalah acara kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya berlepas darinya, sehingga tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a pada waktu itu.
Pernyataan ini telah disanggah oleh Syaikh Az-Zarqany di dalam syarh beliau terhadap kitab Al-Mawahib ini (1/132-133). Beliau berkata, “Kalau yang dia (Al-Qistholany) inginkan (dengan pernyataannya ini) adalah bahwa pada hari itu (kelahirannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) sampai Hari Kiamat, padanya ada satu waktu (yang dikabulkan padanya do’a) sama seperti satu waktu yang ada pada hari Jum’at (yang dikabulkan padanya do’a) atau lebih afdhol dari itu, maka pendalilannya (pengqiasannya/penganalogian) ini adalah pengqiasan yang rusak. Kalau yang dia inginkan adalah waktu itu sendiri (yaitu waktu kelahiran Nabi Shallallahu alaihi wasallam saja, bukan hari maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat), maka ketentuan/ilmu) tentang adanya satu waktu pada hari Jumat (yang dikabulkan padanya do’a) belum ada pada saat itu (yakni pada saat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam lahir). Akan tetapi ketentuannya datang dalam hadits-hadits yang shahih beberapa lama setelah itu (yaitu setelah diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai seorang Rasul). Jadi kalau begitu, tidak mungkin keduanya bisa bertemu sehingga bisa dikatakan yang satunya lebih afdhol dari yang lainnya. Sementara yang satunya (hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah habis (telah berlalu) dan yang lainnya (yaitu hari Jum’at dan satu waktu yang adanya padanya) terus menerus ada sampai saat ini dan syariat telah menegaskan tentang hal tersebut. Sementara dari sisi lain, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hari kelahiran Nabi dan hari-hari yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) di dalamnya terdapat satu waktu dikabulkannya do’a pada saat itu. Oleh karena itu, yang wajb bagi kita hanyalah bersandar penuh dengan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kepada kita (berupa dalil yang shahih) dan tidak boleh bagi kita membuat suatu perkara baru (bid’ah) -dalam agama- dari diri kita yang sangat lemah ini, kecuali dengan mengambil dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam“.

3. Mereka meyakini bahwa malam maulid lebih afdhol daripada Lailatul Qadr.
Hal ini -menurut mereka- bisa ditinjau dari tiga sisi :
a. Bahwa malam maulid adalah malam hadirnya (lahirnya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sedangkan lailatul Qadr merupakan pemberian Allah kepada beliau.
b. Lailatul Qadr dimuliakan dengan turunnya para malaikat, sedangkan malam maulid dimuliakan dengan hadirnya (lahirnya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
c. Lailatul Qadr keutamaannya terkhusus buat ummat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sedangkan malam maulid adalah keutamaannya meliputi seluruh makhluk. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Bantahan:
Ini adalah pendalilan yang tidak menguntungkan orang yang berdalil dengannya. Karena, jika yang diinginkan dengan malam maulid adalah malam lahirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan malam maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat lebih afdhol daripada Lailatul Qadr, maka ini adalah kesalahan yang sangat nyata dan jelas. Dan jika yang diinginkan dengannya, hanya malam yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan saja (bukan malam maulid tiap tahunnya), maka Lailatul Qadr belum ada ketika malam lahirnya beliau sehingga tidak mungkin keduanya bertemu. Karena Lailatul Qadr ada setelah berlalunya puluhan tahun dari malam kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sehingga tidak mungkin bisa diperbandingkan. Ini adalah jawaban dari Asy-Syihab Al-Haitamy Rahimahullahu sebagaimana dalam Syarh Al-Mawahib (1/136).
Kemudian, Lailatul Qadr telah dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur`an sedangkan malam maulid, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan tentang keutamaannya, baik dari Al-Qur`an maupun dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak pula dari perkataan seorangpun dari ulama ummat ini. (Lihat Al-Mauridur Rowy hal. 52 karya ‘Ali Qori`)
Dari sisi yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada siang hari, bukannya malam hari sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Qotadah Radhiallahu‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ditanya tentang hari Senin, maka beliau menjawab,
 “Itu adalah hari yang saya dilahirkan padanya” (Telah berlalu takhrijnya ).
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa beliau dilahirkan di siang hari dan beliau tidak berkata, “Itu adalah malam yang saya dilahirkan padanya”. Ini disebutkan oleh Imam Abu Hafsh Al-Fakihani dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid hal. 74-75.

4. Meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam keluar dari kuburnya bersama jasad atau hanya ruh beliau- dan menghadiri acara maulid.
Syaikh bin Baz Rahimahullahu berkata ketika menjelaskan rusaknya keyakinan ini dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, hal 13-14, “Sebagian mereka (yakni yang merayakan maulid) menyangka (meyakini) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (keluar dari kubur beliau) menghadiri acara maulid. Oleh karena itu, mereka berdiri untuknya sebagai ucapan selamat dan penyambutan. Ini adalah termasuk kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang jelek, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat, tidak pernah berhubungan dengan seorangpun dari manusia dan tidak menghadiri perkumpulan-perkumpulan mereka. Akan tetapi beliau terus-menerus berada di kubur beliau sampai hari kiamat, sedangkan ruh beliau berada di tempat yang paling tinggi di sisi Rabbnya dalam negeri kemuliaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Mu`minun:
 “Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kalian seluruhnya benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kalian seluruhnya akan dibangkitkan (dari kubur) di hari kiamat”. (QS. Al-Mu`minun: 15-16)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
 “Saya adalah pimpinannya anak Adam pada hari kiamat, orang yang paling pertama dibangkitkan dari kuburnya, yang pertama kali memberi syafa’at dan yang pertama kali diizinkan memberi syafa’at”. (HR. Muslim no. 2278 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
Atas beliau sholawat dan salam yang paling mulia dari Rabbnya. Jadi, ayat yang agung ini dan hadits yang mulia ini, serta ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, semuanya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan selain beliau dari kalangan orang-orang yang sudah meninggal, seluruhnya mereka hanya akan keluar dari kuburnya pada hari kiamat….”.

5. Berdiri ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam hadir -menurut sangkaan mereka- sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada beliau.
Telah dimaklumi bahwa menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam itu hanya dengan cara yang disyariatkan. Adapun cara yang seperti ini adalah perkara yang tidak disyariatkan dalam Islam, bahkan merupakan perkara yang diharamkan.
Syaikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Hajjawy Ats-Tsa’alaby Al-Fasy di dalam kitab beliau Al-Fikru As-Sami Fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islamy (1/93) sebagaimana yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihani di dalam Al Maurid fi Hukmil Maulid, beliau (Syaikh Muhammad bin Hasan) berkata, “Dan di antara al-istihsan (anggapan-anggapan baik) yang diharamkan adalah berdiri ketika hadirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam -menurut sangkaan mereka-, karena telah datang nash-nash yang shorih (jelas/tegas) yang melarang hal tersebut….”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata di dalam Ziyaratul Qubur wal Istinjadu bil Maqbur, hal. 55-57 ketika beliau ditanya, “Apa hukumnya meletakkan kepala (di bawah) dan mencium lantai/tanah untuk menghormati orang-orang besar?”. Maka beliau menjawab, “Adapun meletakkan kepala untuk memuliakan orang-orang besar dari kalangan syaikh-syaikh dan yang selain mereka atau mencium lantai dan yang semisalnya, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan imam-imam/ulama (kaum muslimin) tentang terlarangnya (haramnya) hal tersebut. Bahkan menundukkan punggung sedikit saja untuk selain Allah -’Azza wa Jalla- merupakan perkara yang terlarang”. Lalu beliau menyebutkan dalil tentang hal tersebut seraya berkata, “Telah tsabit dalam hadits yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu‘anhu beliau berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (pernah) shalat mengimami para sahabat dalam keadaan duduk karena sakit yang beliau alami, sedang mereka (para sahabat) shalat dalam keadaan berdiri. Maka beliau perintahkan para sahabat untuk duduk lalu beliau berkata, [“Janganlah kalian mengagungkan saya sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab) sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain”]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain, [“Barang siapa yang senang manusia berdiri untuk (menghormati) nya maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di dalam neraka”]…”. Kemudian beliau (syaikhul Islam) berkata, “Maka sebagai kesimpulan bahwa berdiri (untuk menghormati), duduk, rukuk, dan sujud hanyalah hak Allah -’Azza wa Jalla- satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi. Jadi apa saja yang merupakan hak Allah, maka tidak boleh dipalingkan kepada siapapun juga dari kalangan makhluk-Nya….”.
Anas bin Malik Radhiallahu‘anhu telah berkata mengisahkan keadaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, "Tidak ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai daripada Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam, (Sekalipun demikian) mereka jika melihat beliau (Nabi Shallallahu’alaihi wasallam), maka mereka tidak berdiri karena mereka tahu akan kebencian beliau terhadap hal tersebut”. (HR. At-Tirmidzi no. 2754)

6. Berdo’a, beristianah (meminta pertolongan), beristighotsah (meminta pertolongan pada waktu genting), dan beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, walaupun sekedar menjadikan beliau sebagai wasilah (perantara) antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Padahal do’a adalah sebesar-besar ibadah, yang secara umum kapan suatu ibadah dipalingkan kepada selain Allah -baik itu malaikat yang paling dekat dengan Allah maupun Nabi yang paling mulia-, maka hal itu termasuk syirik akbar yang membuat pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam api neraka, jika tidak bertaubat sebelum meninggalnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memerintahkan berdo’a langsung kepadanya tanpa ada perantara:
 “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS. Ghofir: 60)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan:
 “Do’a adalah ibadah”. (HR. Abu Daud no. 1479, At-Tirmidzy no. 2969, 3247, An-Nasa`iy dalam Al-Kubra no. 11464, dan Ibnu Majah no. 3828 dari Nu’man bin Basyir Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ no. 3407)
Sedangkan isti’anah, istighotsah, dan isti’adzah adalah termasuk bentuk-bentuk doa sehingga harus diserahkan hanya kepada Allah.
Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu berkata di dalam Majmu’ Fatawa (2/388) ketika beliau ditanya, “Apakah termasuk kesyirikan apabila seseorang berkata di sudut bumi manapun, [“Wahai Muhammad…..!, wahai Rasulullah (berdo’a atau minta pertolongan kepadanya)?]”.
Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam kitab-Nya yang sangat mulia dan melalui lisan Rasul-Nya yang terpercaya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwa ibadah seluruhnya hanyalah milik Allah dan tidak ada hak sedikitpun juga (dari ibadah tersebut) bagi selain-Nya dan sesungguhnya do’a termasuk bagian dari ibadah. Jadi, barang siapa yang berkata di sudut bumi manapun juga, [“Wahai Rasulullah….!, wahai Nabi Allah….! atau Nabi Muhammad….!, tolonglah saya, selamatkanlah saya, berikan syafa’at kepada saya, tolonglah umatmu, sembuhkanlah yang sakit dari kaum muslimin, berilah petunjuk kepada mereka”], atau kalimat-kalimat yang semisal itu, maka sungguh dia telah menjadikan tandingan/sekutu bersama Allah di dalam (penyerahan) ibadah. Demikian pula hukumnya orang yang melakukan perbuatan seperti ini kepada selain beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam) dari kalangan para nabi atau para malaikat, wali-wali, berhala-berhala atau yang selainnya dari kalangan makhluk ini. Karena Allah -Azza wa Jalla- berfirman:
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Azzariyat: 56)
Allah berfirman:
 “Wahai sekalian manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 21)”.

7. Menyembelih untuk selain Allah.
Ini juga termasuk pembatal keislaman seseorang, karena menyembelih untuk Allah adalah termasuk ibadah harta (maliyah) terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan. Maka memalingkannya untuk selain Allah adalah termasuk kesyirikan yang paling besar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. (QS. Al-An’am: 162)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengancam orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah dengan laknat dari-Nya, melalui sabda beliau:
 “Allah melaknat orang yang menyembelih kepada selain Allah”. (HR. Muslim no. 1978 dari ‘Ali bin Abi Tholib Radhiallahu‘anhu)[ Hadits itu juga bisa bermakna do’a laknat untuk mereka. Maka hendaknya orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah takut terhadap do’a ini.

8. Pembacaan sajak-sajak atau sholawat-sholawat bid’ah, bahkan ada yang sampai pada tingkat kesyirikan
Seperti sebuah kitab sholawat -menurut mereka- yang berjudul Maulidul Barzanjy karya Ja’far bin Hasan Al-Barzanjy, Qoshidatul Burdah karya Al-Bushiry [Telah berlalu penyebutan beberapa kesalahan yang terdapat dalam kedua kitab ini pada bab keutamaan sholawat], Syaraful Anam, dan selainnya.

9. Menyiapkan berbagai jenis makanan disertai keyakinan bahwa masing-masing makanan memiliki makna dan fungsi tersendiri.
Ini adalah termasuk di antara bentuk-bentuk tathoyyur  yang diharamkan dan merupakan syirik ashgar (kecil) [Tapi bisa menjadi syirik asghar jika dia meyakini bahwa benda-benda atau makanan itulah yang mendatangkan manfaat atau yang menolak mudhorot selain Allah -Ta’ala-]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu:
 “Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”. (HR. Abu Daud no. 3910, At-Tirmidzy no. 1614, dan Ibnu Majah no. 3538 dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 429)
Bahkan thiyaroh ini merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya:
 “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkat, “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan thiyaroh (sebab kesialan itu) kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf: 131)
Dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari golongan 70.000 orang [Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setiap 1000 orang ditambahkan 70.000 orang lagi, sehingga totalnya adalah 4.900.000 orang. Haditsnya dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu dalam syarh beliau terhadap hadits ini dari Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Rahimahullahu] yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma telah mengabarkan tentang sifat mereka:
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay [Yakni pengobatan dengan menggunakan besi yang dipanaskan lalu ditempelkan ke tempat yang terasa sakit], tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal”. (HR. Al-Bukhari no. 5378, 6107 dan Muslim no. 218).

10. Dijadikannya hari maulid sebagai salah satu ‘ied (hari raya) kaum muslimin oleh pemerintah suatu negara.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:
Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Maka ini tegas menunjukkan bahwa selain dari dua ‘ied (hari raya) di atas adalah hari ‘ied jahiliyah (yang tidak ada dasarnya dalam tuntunan Islam).

11. Perayaan ini merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap ahli kitab.
Padahal kita telah dilarang untuk menyerupai orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kalian termasuk orang-orang musyrikin”. (QS. Ar-Rum: 31)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga bersabda:
 “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka” (Telah berlalu takhrijnya).

Telah berlalu pembahasan ini secara lengkap pada bab keenam.

12. Adanya jalan dan kesempatan yang bisa mengantarkan kepada terjadinya bentuk-bentuk perzinahan
Yakni perzinahan dalam artian yang lebih luas sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau:
 “Telah dituliskan atas anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan mendapatinya (melakukannya) tidak mungkin tidak: Maka kedua mata zinanya dengan melihat, kedua telinga zinanya dengan mendengar, lidah zinanya dengan berbicara, tangan zinanya dengan menyentuh, kaki zinanya dengan melangkah, hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal itu akan dibenarkan atau didustakan oleh kemaluan”. (HR. Al-Bukhari no. 5889, 6238 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu dan ini adalah lafadz Muslim)
Di antara bentuknya adalah:
Percampurbauran antara lelaki dan wanita.
Ini bertentangan dengan perintah Allah dalam Al-Qur`an yang mensyari’atkan adanya hijab antara lelaki dan wanita. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
 “Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para wanita), maka mintalah dari belakang tabir, cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (QS. Al-Ahzab: 53)
Rasul-Nya juga telah bersabda:
 “Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita”. Maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?”, beliau menjawab, [”Ipar adalah kematian”]. (HR. Al-Bukhari no. 4934 dan Muslim no. 2172 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu‘anhu)
Kaum pria memandang kepada aurat wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula sebaliknya.
Padahal Allah -‘Azza wa Jalla- telah memerintahkan sebaliknya yaitu menundukkan pandangan dari lawan jenis yang bukan mahram. Perintah ini Allah arahkan kepada lelaki dalam firman-Nya:
 “Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka”. (QS. An-Nur : 30)
Juga kepada wanita:
 “Katakanlah kepada para wanita beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka”. (QS. An-Nur: 31)
Laki-laki menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan sebaliknya.
Telah nyata adanya ancaman bagi lelaki dan wanita yang melanggar hal ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
 “Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no. 1282, Ath-Thobarony (20/no. 486-487), dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 226)
Keluarnya para wanita dari rumah mereka -tanpa ada hajat dan keperluan- dalam keadaan berhias, memakai wewangian, dan menampakkan perhiasannya.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, memerintahkan kepada para wanita:
 “Dan hendaklah kalian (wahai para wanita) tetap (tinggal) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dengan model berhias orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab: 33)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:
“Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka akan dibuat anggun oleh syaithan”. (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 273)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah bersabda:
“Jika seorang wanita memakai wewangian lalu dia melewati suatu kaum agar mereka (kaum tersebut) mencium wangi dirinya maka dia adalah begini dan begitu, -beliau mengucapkan perkataan yang keras-” (HR. Abu Daud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786, dan An-Nasa`i (2/283) dari Abu Musa Al-Asy’ary dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 323).
Dan dalam riwayat At-Tirmidzi: “Yakni dia adalah pezina”.

13. Adanya nyanyian-nyanyian, alat-alat musik, serta tarian-tarian.
Semua hal ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya:
 “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna yang karenanya dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”. (QS. Luqman: 6)
Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu berkata menafsirkan makna [“perkataan yang tidak berguna”], “Dia -demi Allah- adalah nyanyian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21130, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 3542 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubrao (10/223))
Dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21137 dan Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (10/221, 223) meriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata mengomentari ayat di atas, "Ayat (dalam surah Luqman) ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang semisalnya”.
Maka ini adalah penafsiran dari dua pembesar sahabat dalam masalah tafsir Al-Qur`an yang keduanya menyatakan bahwa ayat tersebut turun untuk mengharamkan nyanyian, musik, dan yang semisalnya.
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda Hari kiamat adalah dengan tersebarnya nyanyian dan alat musik. Beliau bersabda:
 “Akan datang dari ummatku sekelompok kaum yang akan menghalalkan perzinahan, kain sutera (bagi lelaki), khamer, dan alat-alat musik”. (HR. Al-Bukhari no. 5268 dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ary Radhiallahu‘anhu) [Sebagian orang ada yang berusaha melemahkan hadits ini dengan beberapa alasan yang sangat lemah. Lihat alasan-alasan tersebut beserta bantahannya dalam Fathul Bari (1/52), Ighotsatul Luhfan (1/290-291), dan Tahrim Alatut Thorb hal. 81-82]
Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh berkata, “Hadits ini jelas menunjukkan keharamannya, karena penghalalan tidak mungkin dilakukan kecuali pada perkara yang diharamkan. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah benar, sungguh sekelompok manusia dari kalangan umat Muhammad sudah ada yang menggunakan alat-alat musik dan lagu-lagu dengan meremehkan dan tidak memperdulikan (larangan syari’at)”. Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho`i Asy-Sya`i’ah hal. 53.

14. Kurangnya penghormatan dan tadabbur kepada Al-Qur`an karena mereka menggabungkan -dalam acara maulid ini- antara Al-Qur`an dan nyanyian-nyanyian.
Ini menunjukkan kurangnya ketaqwaan di dalam hati. Memadukan antara Al-Qur’an dan nyanyian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at dan merupakan perbuatan tidak mengagungkan syi’ar Allah, karena Al-Qur`an adalah syi’ar Allah yang terbesar di muka bumi ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al-Hajj: 32)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
 “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”. (QS. Muhammad: 24)

15. Hadir/berperan serta dan berinfak/mengeluarkan harta dalam perayaan maulid.
Ini adalah bentuk dukungan terhadap kerusakan dan kesesatan sebagaimana yang akan datang berupa fatwa para ulama tentang hal ini.

16. Boros dan mubazzir dalam hal makanan [Bentuk pemborosan ini sangat jelas terjadi ketika hari peringatan maulid.
Orang-orang yang hadir, baik tua maupun muda, semuanya berebutan makanan sehingga terkadang rebutan yang berbentuk “tawuran” tersebut membuat sebagian makanan terhambur dan jatuh di tanah, sedang mereka tidak memungutnya. Di lain tempat, sebagian orang seusai acara inti berupa ceramah, bukannya berebutan makanan, akan tetapi saling melempar makanan antara satu hadirin dengan yang lainnya. Di sudut kota lain, ada yang melemparkan semacam tumpeng atau nasi tujuh warna ke lautan atau ke sungai, ibaratnya seperti orang-orang musyrikin dan penganut animisme.
Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berbuat boros dan memerintahkan kita agar tidak membuang makanan yang jatuh, akan tetapi makanan yang jatuh hendaknya dibersihkan lalu dimakan. Inilah sebagian di antara bentuk pemborosan mereka. [ed]]. Ini menyerupai sifat setan yang memerintahkan mereka untuk melakukan bid’ah maulid ini:
 “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”. (QS. Al-Isra`: 26-27)
Perbuatan ini juga termasuk perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ada pada seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengabarkan:
 “Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian 3 (perkara): Qila wa qol (dikatakan seperti ini dan dia berkata seperti ini) [Ini ungkapan dari perbuatan senang menukil suatu perkataan tanpa memperjelas sebelumnya], membuang-buang harta dan terlalu banyak bertanya [Yakni pada perkara-perkara yang sudah sangat jelas]”. (HR. Al-Bukhari no. 1407, 2277, 5630, 6108, 6862 dan Muslim no. 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu‘anhu)

17. Dzikir berjama’ah.
Telah berlalu -pada bab keempat- kisah Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu yang mengingkari orang-orang yang berdzikir berjama’ah di zaman beliau. Ini menunjukkan bahwa dzikir secara berjama’ah sama sekali tidak pernah mereka lakukan bersama Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. [Untuk lebih puasnya, silakan anda baca kitab Adz-Dzikr Al-Jama’iy karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis Hafizhahullah. Kesimpulannya, dzikir jama’ah adalah bid’ah dholalah (sesat), bagaimanapun mereka berusaha keras untuk ‘mencari-cari’ dalil, sebab pengingkaran sahabat Abdullah bin Mas’ud yang diisyaratkan oleh penulis (Syaikh Muhammad) sudah cukup menjadi “kata pemutus” dalam permasalahan ini. Beliau adalah sahabat yang telah menyaksikan kehidupan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini adalah bid’ah. Maka alangkah mengherankannya jika ada orang yang hidup di zaman belakangan yang menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini ada di zaman kenabian, padahal Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu‘anhu telah mengingkarinya !!?

18. Mengkhususkan adanya taushiah (ceramah agama) dalam setiap perayaan.
Ini juga merupakan suatu bid’ah. Karena taushiah adalah perkara yang dituntut kapan dan dimana saja. Syari’at memerintahkannya dalam bentuk umum tanpa mengikatnya atau membatasinya dengan waktu dan tempat tertentu. Maka mengkhususkan atau mengikat adanya taushiah khusus dalam perayaan maulid, tanpa ada dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bid’ah (Lihat Ahkamul Jana`iz hal. 306 karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu).
{Lihat : Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid bab keenam dan ketujuh, Hukmul Ihtifal bi Dzikrol Maulid An-Nabawy, Hukmul Ihtifal bil Maulid warroddu ‘ala Man Ajazahu dan Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid bab ketiga}

















Fatwa-fatwa para ulama salaf dan kholaf tentang perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul Islam Ahmad bin ‘Abdil Halim Ibnu Taimiyah -rahimahullah- :
Beliau berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/298),
“Adapun menjadikan suatu hari raya, selain dari hari-hari raya yang syar’i, seperti beberapa malam dalam bulan Rabi’ul Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid atau beberapa malam dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah atau Jum’at pertama dari bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang disebut oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul Abro[Di Indonesia lebih dikenal dengan istilah“Lebaran Ketupat”], maka semua ini adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang tidak pernah disunnahkan dan tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, Wallahu -Subhanahu wa Ta’ala- A’lam”.
Beliau juga berkata dalam Al-Iqhtidho(hal. 295),
“… Karena sesungguhnya hal ini (yaitu perayaan maulid) tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, padahal ada faktor-faktor yang mendukung (pelaksanaannya) dan tidak adanya faktor-faktor yang bisa menghalangi pelaksanaannya.
Seandainya amalan ini adalah kebaikan semata-mata atau kebaikannya lebih besar (daripada kejelekannya) maka tentunya para salaf -radhiyallahu ‘anhum- lebih berhak untuk mengerjakannya daripada kita, karena mereka adalah orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dibandingkan kita, dan mereka juga lebih bersemangat dalam masalah kebaikan daripada kita.
Sesungguhnya kesempurnaan mencintai dan mengagungkan beliau hanyalah dengan cara mengikuti dan mentaati beliau, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara batin dan zhohir, dan menyebarkan wahyu yang beliau diutus dengannya, serta berjihad di dalamnya dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan orang-orang yang terdahulu lagi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Syaikh ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil WahhaAlu Asy Syaikh -rahimahullah-.
Beliau berkata ketika menerangkan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab,
“Beliau -yakni Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab- mengingkari apa yang terdapat pada manusia di negeri-negeri itu dan selainnya, berupa membesarkan/mengagungkan maulid-maulid dan hari-hari raya jahiliyah yang tidak pernah diturunkan (oleh Allah) hujjah tentang pengagungan tersebut. Tidak datang tentangnya hujjah syar’iyah dan tidak pula argument sedikitpun, karena di dalamnya ada penyerupaan kepada orang-orang Nashrani yang sesat dalam hal hari-hari raya mereka, baik yang berupa waktu maupun tempat. Dia adalah kebatilan dalam syari’at pimpinannya para Rasul”
[Lihat Majmu’atur Rosa`il An-Najdiyyah -cet. Al- Manar- (4/440) dan Ad-Durar As-Sunniyyah (4/409)]


Al-Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany -rahimahullah-.
Beliau berkata,
“Saya tidak menemukan satupun dalil yang membolehkannya. Orang yang pertama kali mengada-adakannya adalah Raja Al-Muzhoffar Abu Sa’id pada abad ke tujuh [Tentang orang yang pertama kali melaksanakannya telah kami jelaskan di akhir bab Sejarah Munculnya Perayaan Maulid] dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa itu adalah bid’ah”. Lihat kitab Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil Maulidkarya ‘Uqail bin Muhammad bin Zaid Al-Yamany hal. 37.
Syaikh Muhammad bin IbrahiAlu Asy-Syaikh, Mufti Saudi Arabia -rahimahullah-.
 Beliau berkata dalam Al-Fatawa war Rosa`il (3/34) ketika menjawab pertanyaan tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-,
“Segala puji hanya milik Allah, perayaan hari-hari maulid (ulang tahun), peringatan hari-hari [Seperti perayaan tahun baru, hari Ibu dan yang semisalnya], kejadian-kejadian [Seperti Isra` Mi’raj, Nuzulul Qur`an, hari Pahlawan, dan yang semisalnya], dan peristiwa-peristiwa tertentu [Seperti hari AIDS, peringatan Tragedi Tri Sakti, dan yang semisalnya], adalahtermasuk di antara perkara-perkara yang disyari’atkan oleh orang-orang Nashrani dan Yahudi.
Sedangkan kita telah dilarang untuk merayakan hari-hari raya ahlul kitab dan orang-orang asing (non muslim), karena di dalamnya ada bentuk perbuatan bid’ah dalam agama dan penyerupaan terhadap orang-orang kafir.
Semua perkara yang dimunculkan berupa hari-hari raya dan peringatan-peringatan adalah kemungkaran dan perkara yang dibenci, walaupun di dalamnya tidak ada penyerupaan terhadap ahli kitab dan orang-orang asing karena semuanya termasuk dalam kategori bid’ah dan perkara-perkara baru. Bahkan walaupun perayaan itu untuk memperingati maulid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, karena asal (landasan) bagi seluruh ibadah adalah tidak disyari’atkan kecuali yang disyari’atkan oleh Allah -Ta’ala-”.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Mufty Saudi Arabia -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, (hal. 7-8),
“Tidak boleh merayakan maulid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan tidak pula maulid (ulang tahun) selainnya, karena hal itu adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang dimunculkan dalam agama. Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah mengerjakannya, tidak pula para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula selain mereka dari kalangan para sahabat -ridhwanullahi ‘alaihim-, dan tidak pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada zaman-zaman keutamaan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang sunnah, lebih sempurna kecintaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, dan lebih mengikuti syari’at beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka”.
beliau berkata juga:
“Perayaan-perayaan ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Padahal beliau adalah manusia yang paling fasih, paling tahu tentang syari’at Allah, paling bersemangat dalam memberikan hidayah kepada ummat dan memberikan tuntunan kepada mereka menuju perkara yang mendatangkan manfaat bagi mereka dan yang diridhoi oleh Maula (Penolong) mereka (yakni Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Hal ini juga tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat beliau -radhiyallahu ‘anhum-, padahal mereka adalah manusia yang terbaik,.
Bid’ah ini tidaklah diada-adakan kecuali oleh sebagian orang-orang belakangan berlandaskan ijtihad dan sangkaan baik, tanpa dalil. Kebanyakan mereka berlandaskan taqlid kepada orang-orang yang telah mendahului mereka dalam perayaan ini. Yang wajib atas seluruh kaum muslimin adalah hendaknya mereka berjalan di atas jalan yang dipijak oleh Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan para sahabat beliau -radhiyallahu ‘anhum- serta harus waspada terhadap perkara-perkara yang diada-adakan oleh manusia dalam agama Allah sepeninggal mereka, inilah jalan yang lurus dan manhaj yang kokoh”
Lihat juga Fatawa beliau (4/280-282)
Muhadditsul Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullah-.
a. Beliau ditanya tentang hukum perayaan maulid dan Isra` Mi’raj: Apakah dia adalah bid’ah atau sunnah yang baik, maka beliau menjawab,
“(Semuanya adalah) bid’ah, semua ini tidak pernah ada di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- …”.
Lalu beliau membawakan beberapa dalil tentang haramnya berbuat bid’ah. Lihat kitab beliau Ijabatus Sa`il no. pertanyaan 166.
b. Dalam no. 167 ketika beliau ditanya tentang perayaan maulid, Isra` Mi’raj, dan tahun baru, maka beliau menjawab, “(Semuanya adalah) bid’ah sedangkan Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:
 “Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” (Telah berlalu takhrijnya).
Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir bahwa perayaan ini adalah bid’ah, tidak tsabit (shohih) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, tidak pula dari para sahabat dan para tabi’in. Yang pertama kali merayakannya adalah ‘Ubaid bin Maimun Al-Qiddah.
Ada yang berpendapat bahwa (awal) perayaannya pada abad keenam oleh sebagian raja-raja bodoh yang ingin mengadakan perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- lebih megah daripada maulid Nashrani (Kelahiran Nabi ‘Isa -‘alaihis salam-).
Semua ini disebutkan oleh Abu Syamah dan dia mensyukurinya. Akan tetapi, Abu Syamah telah bersalah ketika mensyukuri perkara yang dibuat-buat ini karena ini adalah bid’ah. Demikian pula hari ibu dan hari kemerdekaan, semuanya adalah hari-hari raya jahiliyah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah suatu sulthon (argumen/hujjah) atasnya.
Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (’Idul Adh-ha) dan hari Fithr (’Idul Fithri)”(Telah berlalu takhrijnya).
Hari raya selainnya merupakan hari-hari raya jahiliyah yang kami berlepas diri darinya. Maka kaum muslimin, wajib atas mereka untuk mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Inipun kalau perayaan maulid itu selamat dari ikhtilath (percamburbauran antara lelaki dan wanita), pelaksanaan perbuatan fahisy (keji), dan selamat dari bentuk-bentuk kesyirikan, dan selainnya. Semua ini adalah kebatilan-kebatilan yang tidak akan hilang kecuali dengan menyebarkan sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.
Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin -rahimahullah-.
a. Beliau berkata dalam Al-Fatawa, kumpulan Asyraf ‘Abdul Maqshud (1/126) ketika ditanya tentang hukum syar’i perayaan maulid Nabawy,
“… Seandainya perayaan maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- termasuk perkara-perkara yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pasti akan disyari’atkan.
Seandainya disyari’atkan, maka pasti akan terjaga karena Allah telah menjamin untuk menjaga syari’at-Nya, dan seandainya terjaga maka tidak akan ditinggalkan oleh para khalifah yang mendapatkan petunjuk, demikian pula para sahabat, yang mengikuti mereka dengan baik, dan yang mengikuti mereka setelahnya.
Tatkala mereka semua tidak pernah mengerjakan sesuatu apapun dari hal tersebut, diketahuilah bahwa hal itu bukan termasuk agama Allah”.
Dan dalam Majmu’ Fatawa beliau, kumpulan Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimany (7/364-365), beliau berkata,
“Dari penjelasan yang telah berlalu, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan maulid Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- adalah tidak boleh. Bahkan dia adalah perkara bid’ah dikarenakan 2 hal:
1. Malam kelahiran Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidaklah diketahui secara pasti, bahkan sebagian orang-orang belakangan menguatkan bahwa malam maulid adalah malam ke 9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke 12. Oleh karena itulah, menjadikan perayaan ini pada malam ke 12 adalah tidak memiliki landasan dari sisi sejarah.
2. Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Karena seandainya, jika dia adalah bagian dari syari’at Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- atau beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau mengerjakannya atau menyampaikannya, maka wajib hal itu terpelihara karena Allah -Ta’ala- berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(QS. Al-Hijr : 9)
Maka tatkala tidak ada sedikitpun keterangan tentang hal tersebut, diketahuilah bahwa dia bukan bagian dari agama Allah. Jika dia bukan bagian dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dan bertaqarrub kepada Allah -’Azza wa Jalla- dengannya”.
Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan -hafizhohullahu Ta’ala-.
Beliau berkata dalam risalah beliau yang ringkas berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikral Maulid An-Nabawy setelah beliau menyebutkan beberapa syubhat orang-orang yang membolehkan perayaan maulid dan membantahnya, beliau berkata,
“Kesimpulan permasalahan, perayaan memperingati maulid Nabawy -dengan berbagai macam bentuk dan beraneka ragam cara pelaksanaannya- adalah bid’ah mungkar yang wajib atas kaum muslimin untuk melarang (pelaksanaan)nya dan juga melarang bid’ah-bid’ah lainnya.
Dan wajib atas mereka untuk menyibukkan diri dengan menghidupkan sunnah dan berpegang teguh dengannya, serta jangan tertipu dengan orang-orang yang mencoba melariskan dan membela bid’ah ini.
Karena orang semacam ini perhatiannya untuk menghidupkan bid’ah-bid’ah lebih besar daripada perhatian mereka untuk menghidupkan sunnah-sunah, bahkan kadang mereka sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap sunnah-sunnah.
Orang yang seperti ini tidak boleh untuk diikuti dan dicontoh walaupun kebanyakan manusia adalah dari jenis ini. Akan tetapi yang dicontoh hanyalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj sunnah dari kalangan salafush sholih dan yang mengikuti mereka walaupun mereka sedikit, karena kebenaran itu tidaklah diketahui dengan orang-orang akan tetapi orang-oranglah yang dikenal dengan kebenaran”.
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam sebagian muhadharah (ceramah) beliau yang terekam dengan berjudul Bid’atul Maulid,
“… kami dan mereka -yaitu para pelaku maulid- bersepakat bahwa perayaan ini adalah perkara baru yang tidak pernah ada sama sekali di zaman beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, bahkan tidak pernah ada di tiga zaman keutamaan sebagaimana yang baru kita sebutkan.
Di antara perkara yang sudah dimaklumi bersama bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup beliau tidak pernah merayakan hari kelahiran beliau. Karena perayaan hari kelahiran, siapapun orangnya tidaklah datang kecuali berasal dari jalan orang-orang Nashrani Al-Masihiyah. Perayaan itu tidak dikenal oleh Islam secara mutlak pada zaman yang baru kita sebutkan. Maka tentunya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih pantas untuk tidak mengetahuinya. Lagi pula ‘Isa sendiri tidak pernah merayakan kelahiran beliau …”.
Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr -hafizhohullah-.
Beliau berkata dalam Al-Hatsts ‘alal Ittiba’ wat Tahdzir minal Bida’ wa Bayani Khothoriha, hal. 55-56,
“Termasuk bid’ah-bid’ah zamaniah (yang berkaitan dengan waktu) adalah perayaan maulid-maulid (hari-hari lahir), seperti perayaan maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena ini adalah termasuk bid’ah-bid’ah yang dimunculkan di abad keempat Hijriah. Tidak datang dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, para khalifah dan sahabat beliau sedikitpun tentang hal tersebut. Bahkan tidak datang dari tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka, sedangkan telah berlalu 300 tahun sebelum munculnya bid’ah ini”.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Jibrin -hafizhohullah-.
Beliau ditanya -di sela-sela pelajaran beliau ketika mensyarah(menjelaskan) kitab Al-Ibanah Ash-Shugro- tentang maulid Nabawy dan Isra` Mi’raj, apakah termasuk bid’ah padahal dia adalah amalan kebaikan dan terkadang para pelakunya menangis di dalamnya. Maka beliau menjawab,
“Iya, perayaan maulid adalah bid’ah karena tidak pernah dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup beliau dan tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat yang mereka ini merupakan sebaik-baik manusia (yaitu) para khalifah yang mendapatkan petunjuk. Abu Bakr tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, Umar juga tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula dikerjakan oleh ‘Utsman dan tidak juga oleh ‘Ali -radhiyallahu ‘anhum- .
Perayaan maulid ini tidak ada pada abad pertama, tidak pula pada abad kedua dan tidak pula pada abad ketiga. Akan tetapi tidak muncul, kecuali pada abad keempat Hijriah yang dimunculkan oleh Kekhalifahan Al-Fathimiyyun Asy-Syi’ah dalam rangka mencontoh dan menyerupai orang-orang Nashrani yang mengadakan perayaan maulid bagi Al-Masih ‘Isa bin Maryam -‘alaihish sholatu wassalam-. Hal ini menunjukkan bahwa dia adalah bid’ah.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
“Setiap bid’ah adalah sesat” (Telah berlalu takhrijnya).
Ini adalah termasuk bid’ah, demikian pula halnya dengan perayaan malam Isra` Mi’raj, semuanya adalah termasuk bid’ah-bid’ah.
Seandainyapun seseorang itu menangis, tapi bila tangisannya tersebut di atas selain hidayah, maka tangisannya tidak akan bermanfaat baginya. Terkadang seseorang itu menangis sedangkan dia di atas kekafiran sehingga tangisannya tidak bermanfaat baginya. Tangisannya tidak menambah baginya kecuali semakin jauh (dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Tidakkah engkau membaca firman Allah -Ta’ala-:
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan,memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”. (QS. Al-Ghasyiah : 2-5)
[“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina”], tunduk lagi rendah. [“Bekerja keras”], dia telah beramal, sibuk siang dan malam dengan sholat dan puasa, tetapi tidak di atas ilmu, tidak sesuai dengan syari’at lagi berbuat syirik. [“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan”], lelah dalam beribadah dan beramal, akan tetapi bersamaan dengan itu (mereka) [“memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”] yaitu yang sangat panas, yang kedahsyatan panasnya telah sampai pada puncaknya dan dia diberikan minum darinya. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah.
Jadi, tidak semua yang menangis berarti di atas kebenaran. Seorang kafir bisa menangis, padahal dia di atas kebatilan. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah”.
Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘AziAlu Asy-Syaikh -hafizhohullah-, Menteri Agama Saudi Arabiah.
Beliau berkata ketika beliau menyebutkan beberapa bid’ah dan larangan yang berkenaan dengan tauhid, “Mengadakan perayaan-perayaan yang beraneka ragam dengan maksud taqarrub kepada Allah dengannya.
Seperti perayaan maulid nabawi, perayaan hijrah (Nabi), perayaan tahun baru hijriah, perayaan Isra` dan Mi’raj, dan yang semisalnya.
Perayaan-perayaan ini adalah bid’ah, karena dia adalah ajang berkumpulnya (manusia) pada amalan-amalan yang dimaksudkan sebagai taqarrub kepada Allah. Sedangkan tidak boleh bertaqarrub kepada Allah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, dan Allah tidaklah boleh disembah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan. Maka semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah terlarang untuk mengerjakannya”
Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho` Asy-Sya`i’ah.
Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmy -hafizhohullah-, Mufty Saudi Arabia Bagian Selatan
Dalam kitab beliau yang menjelaskan tentang kesesatan Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh yang berjudul Al-Mawridul ‘Adzbizh Zhallal, beliau berkata,
“Perayaan ini (maulid) adalah bid’ah yang dimunculkan olehAl-‘Ubaidiyyu[Biasa juga dinamai dengan Al-Fathimiyyun, Syi’ahatau Al-Bathiniyyah [ed]] yang menguasai Mahgrib (baca: Maroko) yang kemudian kekuasaannya meluas sampai ke Mesir pada abad ke 5 Hijriah.
Maulid tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari khalifah yang empat, tidak pula oleh seluruh sahabat lainnya dan juga tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari orang yang hidup di zaman-zaman keutamaan. Apakah mereka mengetahui keutamaannya lantas meninggalkannya atau mereka tidak mengetahuinya?!
Kalau kalian mengatakan bahwa mereka mengetahui keutamaannya tapi mereka meninggalkannya, maka kalian telah berdusta atas nama mereka. Kalau kalian mengatakan bahwa mereka tidak mengetahuinya sedangkan kalian yang mengetahuinya, maka kalian lebih berhak untuk tidak tahu daripada mereka”.
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly -hafizhohullah-.
Beliau berkata dalam kumpulan fatwa beliau yang berjudul Al-Ajwibah As-Sadidah (3/564-565),
“Adapun perayaan maulid Rasul yang agung -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka tidak datang pensyari’atannya baik dari Al-Kitab, maupun sunnah qauliyah (berupa ucapan), (sunnah) fi’liyah (berupa perbuatan) dan (sunnah) taqririyah (berupa persetujuan) serta tidak juga dari atsar perbuatan para salaf yang mulia yang merupakan penjaga agama ini dari berbagai bid’ah dan benteng aqidah kaum muslimin dari kerusakan dan kerancuan”.





BAHAYA BID’AH
Amalan-amalannya tidak di terima
terdapat beberapa nash yang menyatakan bahwa ibadah ahli bid’ah tidak di terima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diantarannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orangyang paling merugi perbuatannya. “yaitu orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(Al-kahfi:103-104).
Imam Ibnu Katsir berkata: ” Karena Sesungguhnya ayat ini adalah makiyah (turun sebelum peristiwa hijrah dari makkah ke madinah) , sebelum berbicara terhadap orang-orang yahudi dan nashara, dan sebelum adanya al-hawarij (kaum pertama pembuat bid’ah) sama sekali. Sesungguhnya ayat ini umum meliputi setiap orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jalan yang tidak di ridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala , dia menyangka bahwa dia telah berbuat benar didalam ibadah tersebut padahal dia telah berbuat salah dan amalannya tertolak.” (Tafsir Al-Qur’annil Azhim)
Pelaku bid’ah semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
Diriwayatkan dari Al-hasan bahwa dia berkata : “shahibu (pelaku) bid’ah, tidaklah dia menambah kesungguhan, puasa, dan shalat, kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan dari Ayyub As-Sikhtiyani, dia berkata: “tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguhan kecuali dia semakin jauh dari AllahSubhanahu wa Ta’ala .” Pernyatan tersebut diisyaratkan kebenarannya oleh sabda Rasulullah rtentang khawarij: “satu kaum akan keluar di dalam ummat ini yang kamu meremehkan shalat kamu di bandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana melesatnya anak panah dari sasarannya.”(HR. Bukhari)
Asy-Syatibi berkata: “pertama beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pent.) menjelaskan tentang kesungguhan mereka, kemudian beliau menjelaskan tentang jaunya mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .(Al-I’tisham I/156)
Menangguh dosa bid’ah dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.
Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk , maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”(HR. Muslim)
Sedangkan bid’ah merupakan kesesatan sebagaimana yang telah di katakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Inginkah ahli bid’ah menanggung seluruh dosa orang-orang yang mengiutinya sampai hari kiamat?! Tidakkah hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam ini menghentikan mereka!?.
Pelaku bid’ah memposisikan dirinya pada kedudukan menyerupai pembuat syari’at
Hal ini karena pembuat syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala ) telah membuat peraturan-peraturan kemudian mewajibkan makhluk untuk melaksanakannya, sehingga dia sendirian dalam hal ini. Dialah yang membuat keptutusan tentang apa yang di perselisihkan oleh makhluk. Karena jika pembuatan peraturan-peraturan itu mampu di lakukan oleh Manusia, niscaya agama yang berisi peraturan-peraturan itu tidak di turunkan oleh Allah, para Rasul tidak perlu di utus, dan tidak ada lagi perselisihan di kalangan Manusia. maka orang-orang yang mengadakan perkara-perkara baru di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala itu berarti dia telah menempatkan dirinya sebanding dengan pembuat syari’at. Yaitu dia membuat peraturan bersamaan dengan pembuat syari’at dan telah membuka pintu perselisihan, serta menolak maksud atau tujuan pembuat syari’at di dalam kesendiriannya dalam membuat syari’at (peraturan).(Al-I’tisham I/66)
Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada hari kiamat
Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Sesung-guhnya aku mandahului dan menanti kamu di telaga. Barang siapa yang melewatiku niscaya dia minum, dan barang siapa yang minum niscaya dia tidak akan haus selama-lamanya. Sesungguhnya sekelompok orang akan mendatangiku, aku mengenal mereka, dan mereka mengenalku, kemudian dihalangi antara aku dengan mereka, maka aku berkata: “Sesungguhnya mereka dari pengikutku” tetapi di jawab “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan secara baru setelahmu.” Maka aku (Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam) berkata: “jauh ! jauh!! Bagi orang-orang yang merubah agama setelahku.” (HR. Bukhari -Muslim)
Pelaku bid’ah diancam dengan laknat Allah
Dari Ibrhahim At-taimi dia berkata: “Bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata: Ali Radhiallahu wa Anhu berkhutbah kepada kami di atas mimbar dari batu bata dan beliau membawa sebuah pedang, yang pada pedang tersebut terdapat sebuah lembaran yan tergantung, kemudian Ali berkata: “Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala kami tidak mempunyai kitab yang di baca kecuali kitab Allah Subhanahu wa Ta’aladan apa yang ada di lembaran ini.” Kemudian Ali membukanya, maka didalam lembaran itu tertulis:…maka barang siapa yan membuat perkara-perkara baru (bid’ah) di madinah niscaya dia mendapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-malaikatnya dan seluruh Manusia.”(Bukhari no. 7300 dan Muslim no. 1730).
Pintu taubat hampir-hampir terkunci bagi shahibu (ahli) bid’ah
Hal ini disebutkan dalam beberapa hadist antara lain: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalangi taubat dari setiap shahibu bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya (Shahih At-Tarhib I/97 dan Zhilalul Jannah : 21 oleh Imam Al-Albani). Sesungguhnya ahli bid’ah tidak mendapakan taufik (bimbingan) untuk bertaubat. Sehingga taubat itu sama sekali tidak terjadi pada mereka kecuali jika dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah makna yang benar, dan tidak ada keraguan padanya.Karena telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan perkataan para salaf ini serta kenyataan para Ahli bid’ah itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Basri : “Allah Subhanahu wa Ta’ala enggan mengizinkan taubat bagi Ahli bid’ah” (HR. Al-Lalikai).
di susun: ust. Abu humairoh al batamy

4 komentar:

  1. itulah sejarah asal usulnya Maulid

    BalasHapus
  2. Seperti biasa seperti ulama wahabi lainnya ada tulisan tahrif/gunting potong tentang biografi raja al mudhoffar, dalam tafsir ibnu kasir yang asli, saya membaca raja almudhoffar adalah raja yang tafaqquh dalam agama, adil, bijaksana,dermawan.

    Dari situ saja dulu, bisa kelihatan tahrifnya...

    BalasHapus
  3. Buat tulisan isinya semua pada pendapat2 yg mengingkari maulid,.ya jelas taulah kemana arahnya,. kali-kali coba ikut maulid apa yang sdr2 kita lakukan,.apa da maksiat dsb sprt tulisan artikel yg amat panjang ini.
    tidak semua yg tidak dilakukan Nabi itu bid'ah sesat.,mulai dari masa nabi hidup, masa sahabat dan ulama imam mazhab ad yg beramal tidak pernah dicontohkanoleh Nabi,.

    BalasHapus