ASAL USUL PERINGATAN
MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAHI WASSALM
Sejarah munculnya peringatan maulid
Disebutkan para ahli sejarah bahwa kelompok yang pertama kali
mengadakan maulid adalah kelompok Bathiniyah, yang mereka menamakan dirinya
sebagai bani Fatimiyah dan mengaku sebagai keturunan Ahli Bait (keturunan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam). Disebutkan bahwa kelompok batiniyah memiliki 6
peringatan maulid, yaitu maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
maulid Ali bin Abi Thalibradhiallahu
‘anhu, maulid Fatimah, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid
penguasa mereka. Daulah Bathiniyah ini baru berkuasa pada awal abad ke-4 H.
Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa maulid Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam baru
muncul di zaman belakangan, setelah berakhirnya massa tiga abad yang paling
utama dalam umat ini (al
quruun al mufadholah). Artinya peringatan maulid ini belum pernah
ada di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabat, tabi’in dan para
Tabi’ tabi’in. Al Hafid As Sakhawi mengatakan: “Peringatan
maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum pernah dinukil dari seorangpun
ulama generasi terdahulu yang termasuk dalam tiga generasi utama dalam islam.
Namun peringatan ini terjadi setelah masa itu.”
Pada hakekatnya, tujuan utama daulah ini mengadakan peringatan
maulid Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah dalam rangka menyebarkan aqidah
dan kesesatan mereka. Mereka mengambil simpati kaum muslimin dengan kedok cinta ahli bait Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. (Dhahiratul
Ihtifal bil Maulid An Nabawi karya
Abdul Karim Al Hamdan)
Siapakah Bani Fatimiyah
Bani Fatimiyah adalah sekelompok orang Syi’ah pengikut Ubaid bin
Maimun Al Qoddah. Mereka menyebut dirinya sebagai bani Fatimiyah karena
menganggap bahwa pemimpin mereka adalah keturunan Fatimah putri Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Meskipun aslinya ini adalah pengakuan dusta. Oleh
karena itu nama yang lebih layak untuk mereka adalah Bani Ubaidiyah bukan Bani
Fatimiyah. Kelompok ini memiliki paham syi’ah rafidhah yang menentang ahlu sunnah, dari sejak
didirikan sampai masa keruntuhannya. Berkuasa di benua Afrika bagian utara
selama kurang lebih dua abad. Dimulai sejak keberhasilan mereka dalam
meruntuhkan daulah Bani Rustum tahun 297 H dan diakhiri dengan keruntuhan
mereka di tangan daulah Salahudin Al Ayyubi pada tahun 564 H. (Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).
Daulah Fatimiyah ini memiliki hubungan erat dengan kelompok
syi’ah Al Qaramithah Bathiniyah. Perlu diketahui bahwa Kelompok Al Qaramithah
Bathiniyah ini memiliki keyakinan yang sangat menyimpang dari ajaran islam.
Diantaranya mereka hendak menghilangkan syariat haji dalam agama islam. Oleh
karena itu, pada musim haji tahun 317 H kelompok ini melakukan kekacauan di
tanah haram dengan membantai para jama’ah haji, merobek-robek kain penutup
pintu ka’bah, dan merampas hajar aswad serta menyimpannya di daerahnya selama
22 tahun. (Al Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir).
Siapakah Abu Ubaid Al Qoddah
Nama aslinya Ubaidillah bin Maimun, kunyahnya Abu Muhammad.
Digelari dengan Al Qoddah yang artinya mencolok, karena orang ini suka memakai
celak sehingga matanya kelihatan mencolok. Pada asalnya dia adalah orang yahudi
yang membenci islam dan hendak menghancurkan kaum muslimin dari dalam. Dia
menanamkan aqidah batiniyah. Dimana setiap ayat Al Qur’an itu memiliki makna
batin yang hanya diketahui oleh orang-orang khusus diantara kelompok mereka.
Maka dia merusak ajaran islam dengan alasan adanya wahyu batin yang dia terima
dan tidak diketahui oleh orang lain. (Al
Ghazwul Fikr & Ad
Daulah Al Fathimiyah karya
Ali Muhammad As Shalabi).
Dia adalah pendiri dan sekaligus orang yang pertama kali
memimpin bani Fatimiyah. Pengikutnya menggelarinya dengan Al
Mahdi Al Muntadhor (Al
Mahdi yang dinantikan kedatangannya). Berasal dari Iraq dan dilahirkan di
daerah Kufah pada tahun 206 H. Dirinya mengaku sebagai keturunan salah satu
ahli bait Ismail bin Ja’far As Shadiq melalui pernikahan rohani (nikah non
fisik). Namun kaum muslimin di daerah Maghrib mengingkari pengakuan nasabnya.
Yang benar dia adalah keturunan Said bin Ahmad Al Qoddah. Dan terkadang orang
ini mengaku sebagai pelayan Muhammad bin Ja’far As Shodiq. Semua ini dia
lakukan dalam rangka menarik perhatian manusia dan mencari simpati umat. Oleh
karena itu, tidak heran jika banyak diantara orang-orang bodoh daerah afrika
yang membenarkan dirinya dan menjadikannya sebagai pemimpin. (Al Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir & Ad
Daulah Al Fathimiyah karya
Ali Muhammad As Shalabi).
Sikap para ulama terhadap Bani Ubaidiyah
(Fatimiyah)
Para
ulama ahlus sunnah telah menegaskan status kafirnya bani ini. Karena aqidah
mereka yang menyimpang. Para ulama menegaskan tidak boleh bermakmum di belakang
mereka, tidak boleh menshalati jenazah mereka, tidak boleh adanya hubungan
saling mewarisi di antara mereka, tidak boleh menikah dengan mereka, dan
sikap-sikap lainnya sebagaimana yang selayaknya diberikan kepada orang kafir.
Diantara ulama Ahlus Sunnah yang sezaman dengan mereka dan secara tegas
menyatakan kekafiran mereka adalah As Syaikh Abu Ishaq As Siba’i. Bahkan beliau
mengajak untuk memerangi mereka. Syaikh Al Faqih Abu Bakr bin Abdur Rahman Al
Khoulani menceritakan:
“Syaikh
Abu Ishaq bersama para ulama lainnya pernah ikut memerangi bani Aduwillah (Bani
Ubaidiyah) bersama bersama Abu Yazid. Beliau memberikan ceramah di hadapan
tentara Abu Yazid: ‘Mereka mengaku ahli kiblat padahal bukan ahli kiblat, maka
kita wajib bersama pasukan ini yang merupakan ahli kiblat untuk memerangi orang
yang bukan ahli kiblat (yaitu Bani Ubaidiyah)…’”
Diantara ulama yang ikut berperang melawan Bani Ubaidiyah adalah
Abul Arab bin Tamim, Abu Abdil Malik Marwan bin Nashruwan, Abu Ishaq As Siba’i,
Abul Fadl, dan Abu Sulaiman Rabi’ Al Qotthan. (Ad Daulah Al Fathimiyah karya Ali Muhammad As Shalabi).
Setelah kita memahami hakekat peringatan maulid yang sejatinya
digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan aqidah kekafiran bani
Ubaidiyah…akankah kita selaku kaum muslimin yang membenci mereka melestarikan
syi’ar orang-orang yang memusuhi ajaran Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam??
Perlu kita ketahui bahwa merayakan maulid bukanlah wujud cinta kita kepada Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Bukankah para sahabat, ulama-ulama Tabi’in, dan
Tabi’ Tabi’in adalah orang-orang yang paling mencintai Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam. Namun tidak tercatat dalam sejarah bahwa mereka
merayakan peringatan maulid. Akankah kita katakan mereka tidak mencintai Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam.
Seorang
penyair mengatakan: “Jika
cintamu jujur tentu engkau akan mentaatinya…
karena orang yang mencintai akan taat kepada orang yang dia cintai”…
karena orang yang mencintai akan taat kepada orang yang dia cintai”…
Cinta
yang sejati bukanlah dengan merayakan hari kelahiran seseorang… namun cinta
yang sejati adalah dibuktikan dengan ketaatan kepada orang yang dicintai. Dan
bagian dari ketaatan kepada Nabishallallahu
‘alahi wa sallam adalah
dengan tidak melakukan perbuatan yang tidak beliau ajarkan.
Kisah dusta tentang solahuddin
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi
adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang
sangat nyata. karena para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya,
bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah
Ubaidiyyah, sebuah Negara yang menganut keyakinan Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya
sebagai Daulah Fathimiyyah.
Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali:
“Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal
sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al
Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398,
as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulidhal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I
dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalamMuhadhorot beliau
hal.84, Ali Mahfuzh dalam al ‘Ibda’ hal.126.
Imam
Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para
kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan
tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi
Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan
maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban,
awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]
Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu,
diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan
Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar
berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah.
As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam
hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu
daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan
ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh
tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan
bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga
fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”
Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118
menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan
aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi,
ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja
karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila
maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak
terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba
dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat
magrib di benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam
Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah
menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara
Ubaidiyyah.
Siapakah Sholahuddin al Ayyubi
Beliau
adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub
bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tkrit pada 532 H
karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau
belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali
bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.
Nuruddin
Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang
untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga
beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.
Setelah
Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi
raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang
punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada
orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam
kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir
salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika
perang di daerah Hithin.
Muwaffaq
Abdul Lathif berkata: “Saya pernah
datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red),
ternyata beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang
memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para
panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat
pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para
ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”
Adz
Dzahabi berkata: “Keutamaan
Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang
yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan
perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta
tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus
setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah
20 tahun lebih. [Siyar A’lamin Nubala’: 15/434 no.5301]
Kemungkaran perayaan Maulid
1.
Meyakini disyari’atkannya perayaan maulid.
Padahal
amalan ini adalah penentangan yang besar terhadap syari’at karena dia adalah
bid’ah yang mungkar. Serta meyakini kesyirikan yang terjadi di dalamnya -berupa
penyembahan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam. Maka apakah ada keyakinan yang paling rusak dibandingkan meyakini
bid’ah sebagai sunnah dan meyakini kesyirikan sebagai ibadah ?!
2.
Meyakini bahwa barangsiapa yang mendapati pada hari itu (hari maulid) satu saat
ketika keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, lalu dia
berdo’a kepada Allah saat itu, maka pasti akan terkabulkan.
Ini
mereka kiaskan dengan adanya satu waktu pada hari Jum’at yang padanya
dikabulkan do’a, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda tentang hari Jum’at:
“Di dalamnya terdapat satu waktu, seorang
hamba yang muslim tidaklah mendapatinya sedang dia dalam keadaan berdo’a,
memohon sesuatu kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali Allah akan kabulkan
permintaannya”. (HR. Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 852)
Bantahan:
Orang
yang mempunyai ilmu agama yang paling minim pun akan mengetahui rusaknya kias
yang seperti ini. Karena terkabulnya do’a pada hari Jum’at diketahui dengan
adanya nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun perayaan
maulid adalah acara kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
berlepas darinya, sehingga tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a pada waktu
itu.
Pernyataan
ini telah disanggah oleh Syaikh Az-Zarqany di dalam syarh beliau terhadap kitab
Al-Mawahib ini (1/132-133). Beliau berkata, “Kalau yang dia (Al-Qistholany) inginkan
(dengan pernyataannya ini) adalah bahwa pada hari itu (kelahirannya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan yang semisal dengannya (yaitu hari maulid
tiap tahunnya) sampai Hari Kiamat, padanya ada satu waktu (yang dikabulkan
padanya do’a) sama seperti satu waktu yang ada pada hari Jum’at (yang
dikabulkan padanya do’a) atau lebih afdhol dari itu, maka pendalilannya
(pengqiasannya/penganalogian) ini adalah pengqiasan yang rusak. Kalau yang dia
inginkan adalah waktu itu sendiri (yaitu waktu kelahiran Nabi Shallallahu
alaihi wasallam saja, bukan hari maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat), maka
ketentuan/ilmu) tentang adanya satu waktu pada hari Jumat (yang dikabulkan
padanya do’a) belum ada pada saat itu (yakni pada saat Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam lahir). Akan tetapi ketentuannya datang dalam hadits-hadits yang
shahih beberapa lama setelah itu (yaitu setelah diutusnya beliau Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai seorang Rasul). Jadi kalau begitu, tidak
mungkin keduanya bisa bertemu sehingga bisa dikatakan yang satunya lebih afdhol
dari yang lainnya. Sementara yang satunya (hari kelahiran Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam) telah habis (telah berlalu) dan yang lainnya (yaitu hari
Jum’at dan satu waktu yang adanya padanya) terus menerus ada sampai saat ini
dan syariat telah menegaskan tentang hal tersebut. Sementara dari sisi lain,
tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hari kelahiran Nabi dan hari-hari yang
semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) di dalamnya terdapat satu
waktu dikabulkannya do’a pada saat itu. Oleh karena itu, yang wajb bagi kita
hanyalah bersandar penuh dengan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kepada kita (berupa dalil yang shahih) dan tidak
boleh bagi kita membuat suatu perkara baru (bid’ah) -dalam agama- dari diri
kita yang sangat lemah ini, kecuali dengan mengambil dari beliau Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam“.
3.
Mereka meyakini bahwa malam maulid lebih afdhol daripada Lailatul Qadr.
Hal
ini -menurut mereka- bisa ditinjau dari tiga sisi :
a.
Bahwa malam maulid adalah malam hadirnya (lahirnya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam, sedangkan lailatul Qadr merupakan pemberian Allah kepada
beliau.
b.
Lailatul Qadr dimuliakan dengan turunnya para malaikat, sedangkan malam maulid
dimuliakan dengan hadirnya (lahirnya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam.
c.
Lailatul Qadr keutamaannya terkhusus buat ummat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam, sedangkan malam maulid adalah keutamaannya meliputi
seluruh makhluk. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Bantahan:
Ini
adalah pendalilan yang tidak menguntungkan orang yang berdalil dengannya.
Karena, jika yang diinginkan dengan malam maulid adalah malam lahirnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan malam maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat
lebih afdhol daripada Lailatul Qadr, maka ini adalah kesalahan yang sangat
nyata dan jelas. Dan jika yang diinginkan dengannya, hanya malam yang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan saja (bukan malam maulid tiap
tahunnya), maka Lailatul Qadr belum ada ketika malam lahirnya beliau sehingga
tidak mungkin keduanya bertemu. Karena Lailatul Qadr ada setelah berlalunya
puluhan tahun dari malam kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, sehingga tidak mungkin bisa diperbandingkan. Ini adalah jawaban dari
Asy-Syihab Al-Haitamy Rahimahullahu sebagaimana dalam Syarh Al-Mawahib (1/136).
Kemudian,
Lailatul Qadr telah dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur`an sedangkan malam
maulid, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan tentang keutamaannya, baik
dari Al-Qur`an maupun dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, dan tidak pula dari perkataan seorangpun dari ulama ummat ini. (Lihat
Al-Mauridur Rowy hal. 52 karya ‘Ali Qori`)
Dari
sisi yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan
pada siang hari, bukannya malam hari sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits
Abu Qotadah Radhiallahu‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam ditanya tentang hari Senin, maka beliau menjawab,
“Itu adalah hari yang saya dilahirkan padanya”
(Telah berlalu takhrijnya ).
Hadits
ini sangat jelas menunjukkan bahwa beliau dilahirkan di siang hari dan beliau
tidak berkata, “Itu adalah malam yang saya dilahirkan padanya”. Ini disebutkan
oleh Imam Abu Hafsh Al-Fakihani dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid hal. 74-75.
4.
Meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam keluar dari
kuburnya bersama jasad atau hanya ruh beliau- dan menghadiri acara maulid.
Syaikh
bin Baz Rahimahullahu berkata ketika menjelaskan rusaknya keyakinan ini dalam
risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, hal 13-14, “Sebagian
mereka (yakni yang merayakan maulid) menyangka (meyakini) bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (keluar dari kubur beliau)
menghadiri acara maulid. Oleh karena itu, mereka berdiri untuknya sebagai
ucapan selamat dan penyambutan. Ini adalah termasuk kebatilan yang paling besar
dan kebodohan yang jelek, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat,
tidak pernah berhubungan dengan seorangpun dari manusia dan tidak menghadiri
perkumpulan-perkumpulan mereka. Akan tetapi beliau terus-menerus berada di
kubur beliau sampai hari kiamat, sedangkan ruh beliau berada di tempat yang
paling tinggi di sisi Rabbnya dalam negeri kemuliaan, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Mu`minun:
“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kalian
seluruhnya benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kalian seluruhnya akan
dibangkitkan (dari kubur) di hari kiamat”. (QS. Al-Mu`minun: 15-16)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
“Saya adalah pimpinannya anak Adam pada hari
kiamat, orang yang paling pertama dibangkitkan dari kuburnya, yang pertama kali
memberi syafa’at dan yang pertama kali diizinkan memberi syafa’at”. (HR. Muslim
no. 2278 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
Atas
beliau sholawat dan salam yang paling mulia dari Rabbnya. Jadi, ayat yang agung
ini dan hadits yang mulia ini, serta ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang
semakna dengannya, semuanya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam dan selain beliau dari kalangan orang-orang yang sudah
meninggal, seluruhnya mereka hanya akan keluar dari kuburnya pada hari
kiamat….”.
5.
Berdiri ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam hadir -menurut
sangkaan mereka- sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada beliau.
Telah
dimaklumi bahwa menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam itu
hanya dengan cara yang disyariatkan. Adapun cara yang seperti ini adalah
perkara yang tidak disyariatkan dalam Islam, bahkan merupakan perkara yang
diharamkan.
Syaikh
Muhammad bin Al-Hasan Al-Hajjawy Ats-Tsa’alaby Al-Fasy di dalam kitab beliau
Al-Fikru As-Sami Fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islamy (1/93) sebagaimana yang dinukil
oleh Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihani di dalam Al Maurid fi
Hukmil Maulid, beliau (Syaikh Muhammad bin Hasan) berkata, “Dan di antara
al-istihsan (anggapan-anggapan baik) yang diharamkan adalah berdiri ketika
hadirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam -menurut sangkaan
mereka-, karena telah datang nash-nash yang shorih (jelas/tegas) yang melarang
hal tersebut….”.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata di dalam Ziyaratul Qubur wal
Istinjadu bil Maqbur, hal. 55-57 ketika beliau ditanya, “Apa hukumnya
meletakkan kepala (di bawah) dan mencium lantai/tanah untuk menghormati
orang-orang besar?”. Maka beliau menjawab, “Adapun meletakkan kepala untuk memuliakan orang-orang besar dari
kalangan syaikh-syaikh dan yang selain mereka atau mencium lantai dan yang
semisalnya, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan
imam-imam/ulama (kaum muslimin) tentang terlarangnya (haramnya) hal tersebut.
Bahkan menundukkan punggung sedikit saja untuk selain Allah -’Azza wa Jalla-
merupakan perkara yang terlarang”. Lalu beliau menyebutkan dalil tentang
hal tersebut seraya berkata, “Telah tsabit dalam hadits yang shahih dari Jabir
bin ‘Abdillah Radhiallahu‘anhu beliau berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (pernah) shalat mengimami para sahabat dalam
keadaan duduk karena sakit yang beliau alami, sedang mereka (para sahabat)
shalat dalam keadaan berdiri. Maka beliau perintahkan para sahabat untuk duduk
lalu beliau berkata, [“Janganlah kalian mengagungkan saya sebagaimana
orang-orang ‘Ajam (non Arab) sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain”].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits yang
lain, [“Barang siapa yang senang manusia berdiri untuk (menghormati) nya maka
hendaknya ia mengambil tempat duduknya di dalam neraka”]…”. Kemudian beliau
(syaikhul Islam) berkata, “Maka sebagai
kesimpulan bahwa berdiri (untuk menghormati), duduk, rukuk, dan sujud hanyalah
hak Allah -’Azza wa Jalla- satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi.
Jadi apa saja yang merupakan hak Allah, maka tidak boleh dipalingkan kepada
siapapun juga dari kalangan makhluk-Nya….”.
Anas
bin Malik Radhiallahu‘anhu telah berkata mengisahkan keadaan para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, "Tidak ada seorangpun yang
lebih mereka (para sahabat) cintai daripada Rasulullah Shallallahu‘alaihi
wasallam, (Sekalipun demikian) mereka jika melihat beliau (Nabi
Shallallahu’alaihi wasallam), maka mereka tidak berdiri karena mereka tahu akan
kebencian beliau terhadap hal tersebut”. (HR. At-Tirmidzi no. 2754)
6.
Berdo’a, beristianah (meminta pertolongan), beristighotsah (meminta pertolongan
pada waktu genting), dan beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, walaupun sekedar menjadikan beliau
sebagai wasilah (perantara) antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Padahal
do’a adalah sebesar-besar ibadah, yang secara umum kapan suatu ibadah
dipalingkan kepada selain Allah -baik itu malaikat yang paling dekat dengan
Allah maupun Nabi yang paling mulia-, maka hal itu termasuk syirik akbar yang
membuat pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam api neraka, jika tidak
bertaubat sebelum meninggalnya.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman memerintahkan berdo’a langsung kepadanya tanpa
ada perantara:
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS. Ghofir: 60)
Bahkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan:
“Do’a adalah ibadah”. (HR. Abu Daud no. 1479,
At-Tirmidzy no. 2969, 3247, An-Nasa`iy dalam Al-Kubra no. 11464, dan Ibnu Majah
no. 3828 dari Nu’man bin Basyir Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Al-Albany
dalam Shahihul Jami’ no. 3407)
Sedangkan
isti’anah, istighotsah, dan isti’adzah adalah termasuk bentuk-bentuk doa
sehingga harus diserahkan hanya kepada Allah.
Syaikh
Ibnu Baz Rahimahullahu berkata di dalam Majmu’ Fatawa (2/388) ketika beliau
ditanya, “Apakah termasuk kesyirikan apabila seseorang berkata di sudut bumi
manapun, [“Wahai Muhammad…..!, wahai Rasulullah (berdo’a atau minta pertolongan
kepadanya)?]”.
Beliau
menjawab, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam
kitab-Nya yang sangat mulia dan melalui lisan Rasul-Nya yang terpercaya, Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwa ibadah seluruhnya
hanyalah milik Allah dan tidak ada hak sedikitpun juga (dari ibadah tersebut)
bagi selain-Nya dan sesungguhnya do’a termasuk bagian dari ibadah. Jadi, barang
siapa yang berkata di sudut bumi manapun juga, [“Wahai Rasulullah….!, wahai
Nabi Allah….! atau Nabi Muhammad….!, tolonglah saya, selamatkanlah saya,
berikan syafa’at kepada saya, tolonglah umatmu, sembuhkanlah yang sakit dari
kaum muslimin, berilah petunjuk kepada mereka”], atau kalimat-kalimat yang
semisal itu, maka sungguh dia telah menjadikan tandingan/sekutu bersama Allah
di dalam (penyerahan) ibadah. Demikian pula hukumnya orang yang melakukan
perbuatan seperti ini kepada selain beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam) dari kalangan para nabi atau para malaikat, wali-wali,
berhala-berhala atau yang selainnya dari kalangan makhluk ini. Karena Allah
-Azza wa Jalla- berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Azzariyat: 56)
Allah
berfirman:
“Wahai sekalian manusia, sembahlah Tuhan
kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar
kalian bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 21)”.
7.
Menyembelih untuk selain Allah.
Ini
juga termasuk pembatal keislaman seseorang, karena menyembelih untuk Allah
adalah termasuk ibadah harta (maliyah) terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
perintahkan. Maka memalingkannya untuk selain Allah adalah termasuk kesyirikan
yang paling besar.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. (QS.
Al-An’am: 162)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengancam orang-orang yang
menyembelih untuk selain Allah dengan laknat dari-Nya, melalui sabda beliau:
“Allah melaknat orang yang menyembelih kepada
selain Allah”. (HR. Muslim no. 1978 dari ‘Ali bin Abi Tholib Radhiallahu‘anhu)[
Hadits itu juga bisa bermakna do’a laknat untuk mereka. Maka hendaknya
orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah takut terhadap do’a ini.
8.
Pembacaan sajak-sajak atau sholawat-sholawat bid’ah, bahkan ada yang sampai
pada tingkat kesyirikan
Seperti
sebuah kitab sholawat -menurut mereka- yang berjudul Maulidul Barzanjy karya
Ja’far bin Hasan Al-Barzanjy, Qoshidatul Burdah karya Al-Bushiry [Telah berlalu
penyebutan beberapa kesalahan yang terdapat dalam kedua kitab ini pada bab
keutamaan sholawat], Syaraful Anam, dan selainnya.
9.
Menyiapkan berbagai jenis makanan disertai keyakinan bahwa masing-masing
makanan memiliki makna dan fungsi tersendiri.
Ini
adalah termasuk di antara bentuk-bentuk tathoyyur yang diharamkan dan merupakan syirik ashgar
(kecil) [Tapi bisa menjadi syirik asghar jika dia meyakini bahwa benda-benda
atau makanan itulah yang mendatangkan manfaat atau yang menolak mudhorot selain
Allah -Ta’ala-]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda
dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu:
“Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah
kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”. (HR. Abu Daud no. 3910, At-Tirmidzy
no. 1614, dan Ibnu Majah no. 3538 dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam
Ash-Shahihah no. 429)
Bahkan
thiyaroh ini merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik terdahulu,
sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang Fir’aun dan para
pengikutnya:
“Kemudian apabila datang kepada mereka
kemakmuran, mereka berkat, “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka
ditimpa kesusahan, mereka lemparkan thiyaroh (sebab kesialan itu) kepada Musa
dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu
adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
(QS. Al-A’raf: 131)
Dengan
bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari golongan
70.000 orang [Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setiap 1000 orang ditambahkan
70.000 orang lagi, sehingga totalnya adalah 4.900.000 orang. Haditsnya
dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu dalam syarh beliau terhadap
hadits ini dari Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab
Rahimahullahu] yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu
‘anhuma telah mengabarkan tentang sifat mereka:
“Mereka
adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay [Yakni
pengobatan dengan menggunakan besi yang dipanaskan lalu ditempelkan ke tempat
yang terasa sakit], tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabbnya mereka
bertawakkal”. (HR. Al-Bukhari no. 5378, 6107 dan Muslim no. 218).
10.
Dijadikannya hari maulid sebagai salah satu ‘ied (hari raya) kaum muslimin oleh
pemerintah suatu negara.
Padahal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:
Dari
Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan
orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan)
dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami
masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik
dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no.
1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Maka
ini tegas menunjukkan bahwa selain dari dua ‘ied (hari raya) di atas adalah
hari ‘ied jahiliyah (yang tidak ada dasarnya dalam tuntunan Islam).
11.
Perayaan ini merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap ahli kitab.
Padahal
kita telah dilarang untuk menyerupai orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan
bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kalian termasuk
orang-orang musyrikin”. (QS. Ar-Rum: 31)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka
dia termasuk dari golongan mereka” (Telah berlalu takhrijnya).
Telah
berlalu pembahasan ini secara lengkap pada bab keenam.
12.
Adanya jalan dan kesempatan yang bisa mengantarkan kepada terjadinya
bentuk-bentuk perzinahan
Yakni
perzinahan dalam artian yang lebih luas sebagaimana yang disebutkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau:
“Telah dituliskan atas anak Adam bagiannya
dari zina, dia pasti akan mendapatinya (melakukannya) tidak mungkin tidak: Maka
kedua mata zinanya dengan melihat, kedua telinga zinanya dengan mendengar,
lidah zinanya dengan berbicara, tangan zinanya dengan menyentuh, kaki zinanya
dengan melangkah, hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal itu akan
dibenarkan atau didustakan oleh kemaluan”. (HR. Al-Bukhari no. 5889, 6238 dan
Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu dan ini adalah lafadz
Muslim)
Di
antara bentuknya adalah:
Percampurbauran
antara lelaki dan wanita.
Ini
bertentangan dengan perintah Allah dalam Al-Qur`an yang mensyari’atkan adanya
hijab antara lelaki dan wanita. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (para wanita), maka mintalah dari belakang tabir, cara yang
demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (QS. Al-Ahzab: 53)
Rasul-Nya
juga telah bersabda:
“Hati-hati kalian dari masuk kepada para
wanita”. Maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapatmu tentang ipar?”, beliau menjawab, [”Ipar adalah kematian”].
(HR. Al-Bukhari no. 4934 dan Muslim no. 2172 dari ‘Uqbah bin ‘Amir
Radhiallahu‘anhu)
Kaum
pria memandang kepada aurat wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula
sebaliknya.
Padahal
Allah -‘Azza wa Jalla- telah memerintahkan sebaliknya yaitu menundukkan
pandangan dari lawan jenis yang bukan mahram. Perintah ini Allah arahkan kepada
lelaki dalam firman-Nya:
“Katakanlah kepada para lelaki yang beriman,
hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan
memelihara kemaluan-kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka”. (QS. An-Nur : 30)
Juga
kepada wanita:
“Katakanlah kepada para wanita beriman,
hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan
memelihara kemaluan-kemaluan mereka”. (QS. An-Nur: 31)
Laki-laki
menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan sebaliknya.
Telah
nyata adanya ancaman bagi lelaki dan wanita yang melanggar hal ini. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian
ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita
yang tidak halal baginya”. (HR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no. 1282,
Ath-Thobarony (20/no. 486-487), dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544
dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Ash-Shahihah no. 226)
Keluarnya
para wanita dari rumah mereka -tanpa ada hajat dan keperluan- dalam keadaan
berhias, memakai wewangian, dan menampakkan perhiasannya.
Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, memerintahkan kepada para wanita:
“Dan hendaklah kalian (wahai para wanita)
tetap (tinggal) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dengan model
berhias orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab: 33)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:
“Wanita
itu adalah aurat. Jika dia keluar maka akan dibuat anggun oleh syaithan”. (HR.
At-Tirmidzi no. 1173 dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 273)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah bersabda:
“Jika seorang wanita memakai wewangian lalu dia melewati suatu kaum agar mereka (kaum tersebut) mencium wangi dirinya maka dia adalah begini dan begitu, -beliau mengucapkan perkataan yang keras-” (HR. Abu Daud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786, dan An-Nasa`i (2/283) dari Abu Musa Al-Asy’ary dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 323).
“Jika seorang wanita memakai wewangian lalu dia melewati suatu kaum agar mereka (kaum tersebut) mencium wangi dirinya maka dia adalah begini dan begitu, -beliau mengucapkan perkataan yang keras-” (HR. Abu Daud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786, dan An-Nasa`i (2/283) dari Abu Musa Al-Asy’ary dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 323).
Dan
dalam riwayat At-Tirmidzi: “Yakni dia adalah pezina”.
13.
Adanya nyanyian-nyanyian, alat-alat musik, serta tarian-tarian.
Semua
hal ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
firman-Nya:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna yang karenanya dia menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”. (QS. Luqman:
6)
Ibnu
Mas’ud Radhiallahu‘anhu berkata menafsirkan makna [“perkataan yang tidak
berguna”], “Dia -demi Allah- adalah nyanyian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam
Al-Mushonnaf no. 21130, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 3542 dan Al-Baihaqi
dalam Al-Kubrao (10/223))
Dan
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21137 dan Al-Baihaqy dalam As-Sunan
Al-Kubro (10/221, 223) meriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu
‘anhuma bahwa beliau berkata mengomentari ayat di atas, "Ayat (dalam surah
Luqman) ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang semisalnya”.
Maka
ini adalah penafsiran dari dua pembesar sahabat dalam masalah tafsir Al-Qur`an
yang keduanya menyatakan bahwa ayat tersebut turun untuk mengharamkan nyanyian,
musik, dan yang semisalnya.
Dan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah mengabarkan bahwa di
antara tanda-tanda Hari kiamat adalah dengan tersebarnya nyanyian dan alat
musik. Beliau bersabda:
“Akan datang dari ummatku sekelompok kaum yang
akan menghalalkan perzinahan, kain sutera (bagi lelaki), khamer, dan alat-alat
musik”. (HR. Al-Bukhari no. 5268 dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ary
Radhiallahu‘anhu) [Sebagian orang ada yang berusaha melemahkan hadits ini
dengan beberapa alasan yang sangat lemah. Lihat alasan-alasan tersebut beserta
bantahannya dalam Fathul Bari (1/52), Ighotsatul Luhfan (1/290-291), dan Tahrim
Alatut Thorb hal. 81-82]
Syaikh
Shalih Alu Asy-Syaikh berkata, “Hadits ini jelas menunjukkan keharamannya,
karena penghalalan tidak mungkin dilakukan kecuali pada perkara yang
diharamkan. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah benar, sungguh
sekelompok manusia dari kalangan umat Muhammad sudah ada yang menggunakan
alat-alat musik dan lagu-lagu dengan meremehkan dan tidak memperdulikan
(larangan syari’at)”. Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho`i
Asy-Sya`i’ah hal. 53.
14.
Kurangnya penghormatan dan tadabbur kepada Al-Qur`an karena mereka
menggabungkan -dalam acara maulid ini- antara Al-Qur`an dan nyanyian-nyanyian.
Ini
menunjukkan kurangnya ketaqwaan di dalam hati. Memadukan antara Al-Qur’an dan
nyanyian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at dan merupakan
perbuatan tidak mengagungkan syi’ar Allah, karena Al-Qur`an adalah syi’ar Allah
yang terbesar di muka bumi ini.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa
mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan
hati”. (QS. Al-Hajj: 32)
Bahkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al
Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”. (QS. Muhammad: 24)
15.
Hadir/berperan serta dan berinfak/mengeluarkan harta dalam perayaan maulid.
Ini
adalah bentuk dukungan terhadap kerusakan dan kesesatan sebagaimana yang akan
datang berupa fatwa para ulama tentang hal ini.
16.
Boros dan mubazzir dalam hal makanan [Bentuk pemborosan ini sangat jelas
terjadi ketika hari peringatan maulid.
Orang-orang
yang hadir, baik tua maupun muda, semuanya berebutan makanan sehingga terkadang
rebutan yang berbentuk “tawuran” tersebut membuat sebagian makanan terhambur
dan jatuh di tanah, sedang mereka tidak memungutnya. Di lain tempat, sebagian
orang seusai acara inti berupa ceramah, bukannya berebutan makanan, akan tetapi
saling melempar makanan antara satu hadirin dengan yang lainnya. Di sudut kota
lain, ada yang melemparkan semacam tumpeng atau nasi tujuh warna ke lautan atau
ke sungai, ibaratnya seperti orang-orang musyrikin dan penganut animisme.
Padahal
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berbuat boros dan memerintahkan kita
agar tidak membuang makanan yang jatuh, akan tetapi makanan yang jatuh
hendaknya dibersihkan lalu dimakan. Inilah sebagian di antara bentuk pemborosan
mereka. [ed]]. Ini menyerupai sifat setan yang memerintahkan mereka untuk
melakukan bid’ah maulid ini:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”.
(QS. Al-Isra`: 26-27)
Perbuatan
ini juga termasuk perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ada
pada seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
mengabarkan:
“Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian 3
(perkara): Qila wa qol (dikatakan seperti ini dan dia berkata seperti ini) [Ini
ungkapan dari perbuatan senang menukil suatu perkataan tanpa memperjelas
sebelumnya], membuang-buang harta dan terlalu banyak bertanya [Yakni pada
perkara-perkara yang sudah sangat jelas]”. (HR. Al-Bukhari no. 1407, 2277,
5630, 6108, 6862 dan Muslim no. 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah
Radhiallahu‘anhu)
17.
Dzikir berjama’ah.
Telah
berlalu -pada bab keempat- kisah Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu yang mengingkari
orang-orang yang berdzikir berjama’ah di zaman beliau. Ini menunjukkan bahwa
dzikir secara berjama’ah sama sekali tidak pernah mereka lakukan bersama Nabi
mereka Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. [Untuk lebih puasnya,
silakan anda baca kitab Adz-Dzikr Al-Jama’iy karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman
Al-Khumayyis Hafizhahullah. Kesimpulannya, dzikir jama’ah adalah bid’ah
dholalah (sesat), bagaimanapun mereka berusaha keras untuk ‘mencari-cari’
dalil, sebab pengingkaran sahabat Abdullah bin Mas’ud yang diisyaratkan oleh
penulis (Syaikh Muhammad) sudah cukup menjadi “kata pemutus” dalam permasalahan
ini. Beliau adalah sahabat yang telah menyaksikan kehidupan di zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini
adalah bid’ah. Maka alangkah mengherankannya jika ada orang yang hidup di zaman
belakangan yang menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini ada di zaman kenabian,
padahal Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu‘anhu telah mengingkarinya !!?
18.
Mengkhususkan adanya taushiah (ceramah agama) dalam setiap perayaan.
Ini
juga merupakan suatu bid’ah. Karena taushiah adalah perkara yang dituntut kapan
dan dimana saja. Syari’at memerintahkannya dalam bentuk umum tanpa mengikatnya
atau membatasinya dengan waktu dan tempat tertentu. Maka mengkhususkan atau
mengikat adanya taushiah khusus dalam perayaan maulid, tanpa ada dalil yang
menunjukkan hal tersebut adalah bid’ah (Lihat Ahkamul Jana`iz hal. 306 karya
Syaikh Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu).
{Lihat
: Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid bab keenam dan ketujuh,
Hukmul Ihtifal bi Dzikrol Maulid An-Nabawy, Hukmul Ihtifal bil Maulid warroddu
‘ala Man Ajazahu dan Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid bab ketiga}
Fatwa-fatwa para ulama salaf dan kholaf tentang perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul
Islam Ahmad bin ‘Abdil Halim Ibnu Taimiyah -rahimahullah- :
Beliau
berkata dalam Majmu’
Al-Fatawa (25/298),
“Adapun menjadikan suatu hari raya, selain dari
hari-hari raya yang syar’i, seperti beberapa malam dalam bulan Rabi’ul
Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid atau beberapa malam
dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah atau Jum’at pertama dari
bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang disebut oleh orang-orang bodoh dengan
‘Iedul Abror [Di Indonesia lebih dikenal dengan
istilah“Lebaran Ketupat”], maka semua
ini adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang tidak pernah disunnahkan dan
tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, Wallahu -Subhanahu wa Ta’ala-
A’lam”.
Beliau
juga berkata dalam Al-Iqhtidho` (hal.
295),
“… Karena sesungguhnya hal ini (yaitu perayaan
maulid) tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, padahal ada
faktor-faktor yang mendukung (pelaksanaannya) dan tidak adanya faktor-faktor
yang bisa menghalangi pelaksanaannya.
Seandainya amalan ini adalah kebaikan semata-mata
atau kebaikannya lebih besar (daripada kejelekannya) maka tentunya para salaf
-radhiyallahu ‘anhum- lebih berhak untuk mengerjakannya daripada kita, karena
mereka adalah orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dibandingkan kita, dan mereka juga lebih
bersemangat dalam masalah kebaikan daripada kita.
Sesungguhnya kesempurnaan mencintai dan
mengagungkan beliau hanyalah dengan cara mengikuti dan mentaati beliau,
mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara batin dan zhohir, dan
menyebarkan wahyu yang beliau diutus dengannya, serta berjihad di dalamnya
dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan orang-orang yang terdahulu
lagi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik”.
Syaikh
‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Alu
Asy Syaikh -rahimahullah-.
Beliau
berkata ketika menerangkan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab,
“Beliau -yakni Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab-
mengingkari apa yang terdapat pada manusia di negeri-negeri itu dan selainnya,
berupa membesarkan/mengagungkan maulid-maulid dan hari-hari raya jahiliyah yang
tidak pernah diturunkan (oleh Allah) hujjah tentang pengagungan tersebut. Tidak
datang tentangnya hujjah syar’iyah dan tidak pula argument sedikitpun, karena
di dalamnya ada penyerupaan kepada orang-orang Nashrani yang sesat dalam hal
hari-hari raya mereka, baik yang berupa waktu maupun tempat. Dia adalah kebatilan
dalam syari’at pimpinannya para Rasul”
[Lihat Majmu’atur Rosa`il
An-Najdiyyah -cet. Al- Manar- (4/440) dan Ad-Durar As-Sunniyyah (4/409)]
Al-Imam
Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany -rahimahullah-.
Beliau
berkata,
“Saya tidak menemukan satupun dalil yang
membolehkannya. Orang yang pertama kali mengada-adakannya adalah Raja
Al-Muzhoffar Abu Sa’id pada abad ke tujuh [Tentang
orang yang pertama kali melaksanakannya telah kami jelaskan di akhir
bab Sejarah Munculnya
Perayaan Maulid] dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa itu adalah bid’ah”.
Lihat kitab Al-Mawrid fii
Hukmil Ihtifal bil Maulidkarya ‘Uqail bin Muhammad bin Zaid
Al-Yamany hal. 37.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Asy-Syaikh, Mufti Saudi Arabia -rahimahullah-.
Beliau
berkata dalam Al-Fatawa war
Rosa`il (3/34) ketika menjawab pertanyaan tentang hukum perayaan maulid Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-,
“Segala puji hanya milik Allah, perayaan hari-hari
maulid (ulang tahun), peringatan hari-hari [Seperti
perayaan tahun baru, hari Ibu dan yang semisalnya], kejadian-kejadian [Seperti Isra` Mi’raj, Nuzulul Qur`an,
hari Pahlawan, dan yang semisalnya],
dan peristiwa-peristiwa tertentu [Seperti hari AIDS, peringatan
Tragedi Tri Sakti, dan yang semisalnya],
adalahtermasuk di antara perkara-perkara yang disyari’atkan oleh orang-orang
Nashrani dan Yahudi.
Sedangkan kita telah dilarang untuk
merayakan hari-hari raya ahlul kitab dan orang-orang asing (non muslim),
karena di dalamnya ada bentuk perbuatan bid’ah dalam agama dan penyerupaan
terhadap orang-orang kafir.
Semua perkara yang dimunculkan berupa hari-hari
raya dan peringatan-peringatan adalah kemungkaran dan perkara yang dibenci,
walaupun di dalamnya tidak ada penyerupaan terhadap ahli kitab dan
orang-orang asing karena semuanya termasuk dalam kategori bid’ah dan
perkara-perkara baru. Bahkan walaupun perayaan itu untuk memperingati
maulid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, karena asal
(landasan) bagi seluruh ibadah adalah tidak disyari’atkan kecuali yang
disyari’atkan oleh Allah -Ta’ala-”.
Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Mufty Saudi Arabia -rahimahullah-.
Beliau
berkata dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, (hal. 7-8),
“Tidak boleh merayakan maulid Rasul -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan tidak pula maulid (ulang tahun) selainnya,
karena hal itu adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang dimunculkan dalam
agama. Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah mengerjakannya,
tidak pula para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula selain
mereka dari kalangan para sahabat -ridhwanullahi ‘alaihim-, dan tidak
pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada zaman-zaman keutamaan.
Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang sunnah, lebih
sempurna kecintaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam-, dan lebih mengikuti syari’at beliau dibandingkan orang-orang setelah
mereka”.
beliau
berkata juga:
“Perayaan-perayaan ini tidak pernah dikerjakan oleh
Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Padahal beliau adalah
manusia yang paling fasih, paling tahu tentang syari’at Allah, paling
bersemangat dalam memberikan hidayah kepada ummat dan memberikan tuntunan
kepada mereka menuju perkara yang mendatangkan manfaat bagi mereka dan yang
diridhoi oleh Maula (Penolong) mereka (yakni Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Hal ini juga tidak pernah dikerjakan oleh para
sahabat beliau -radhiyallahu ‘anhum-, padahal mereka adalah manusia yang
terbaik,.
Bid’ah ini tidaklah diada-adakan kecuali oleh
sebagian orang-orang belakangan berlandaskan ijtihad dan sangkaan baik, tanpa
dalil. Kebanyakan mereka berlandaskan taqlid kepada orang-orang yang telah
mendahului mereka dalam perayaan ini. Yang wajib atas seluruh kaum muslimin
adalah hendaknya mereka berjalan di atas jalan yang dipijak oleh Rasul
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan para sahabat beliau
-radhiyallahu ‘anhum- serta harus waspada terhadap perkara-perkara yang
diada-adakan oleh manusia dalam agama Allah sepeninggal mereka, inilah jalan
yang lurus dan manhaj yang kokoh”
Lihat
juga Fatawa beliau
(4/280-282)
Muhadditsul
Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullah-.
a. Beliau
ditanya tentang hukum perayaan maulid dan Isra` Mi’raj: Apakah dia
adalah bid’ah atau sunnah yang baik, maka beliau menjawab,
“(Semuanya adalah) bid’ah, semua ini tidak pernah
ada di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- …”.
Lalu
beliau membawakan beberapa dalil tentang haramnya berbuat bid’ah. Lihat kitab
beliau Ijabatus Sa`il no.
pertanyaan 166.
b. Dalam
no. 167 ketika beliau ditanya tentang perayaan maulid, Isra` Mi’raj, dan
tahun baru, maka beliau menjawab, “(Semuanya
adalah) bid’ah sedangkan Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
telah bersabda:
“Siapa saja
yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di
dalamnya, maka itu tertolak” (Telah berlalu takhrijnya).
Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada
orang yang tidak hadir bahwa perayaan ini adalah bid’ah, tidak tsabit
(shohih) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, tidak pula
dari para sahabat dan para tabi’in. Yang pertama kali
merayakannya adalah ‘Ubaid bin Maimun Al-Qiddah.
Ada yang berpendapat bahwa (awal) perayaannya pada
abad keenam oleh sebagian raja-raja bodoh yang ingin mengadakan perayaan maulid
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- lebih megah daripada maulid
Nashrani (Kelahiran Nabi ‘Isa -‘alaihis salam-).
Semua ini disebutkan oleh Abu Syamah dan dia
mensyukurinya. Akan tetapi, Abu Syamah telah bersalah ketika mensyukuri
perkara yang dibuat-buat ini karena ini adalah bid’ah. Demikian pula hari ibu
dan hari kemerdekaan, semuanya adalah hari-hari raya jahiliyah yang tidak
pernah diturunkan oleh Allah suatu sulthon (argumen/hujjah) atasnya.
Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
telah bersabda:
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya)
mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah,
dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik
dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (’Idul Adh-ha) dan hari Fithr (’Idul Fithri)”(Telah
berlalu takhrijnya).
Hari raya selainnya merupakan hari-hari raya
jahiliyah yang kami berlepas diri darinya. Maka kaum muslimin, wajib atas
mereka untuk mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam-. Inipun kalau perayaan maulid itu selamat dari ikhtilath
(percamburbauran antara lelaki dan wanita), pelaksanaan perbuatan fahisy
(keji), dan selamat dari bentuk-bentuk kesyirikan, dan selainnya. Semua ini
adalah kebatilan-kebatilan yang tidak akan hilang kecuali dengan menyebarkan
sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-“.
Faqihuz
Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin -rahimahullah-.
a. Beliau
berkata dalam Al-Fatawa, kumpulan Asyraf ‘Abdul
Maqshud (1/126) ketika ditanya tentang hukum syar’i perayaan maulid
Nabawy,
“… Seandainya perayaan maulid beliau -Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- termasuk perkara-perkara yang dicintai oleh
Allah dan Rasul-Nya, maka pasti akan disyari’atkan.
Seandainya disyari’atkan, maka pasti akan terjaga
karena Allah telah menjamin untuk menjaga syari’at-Nya, dan seandainya terjaga
maka tidak akan ditinggalkan oleh para khalifah yang mendapatkan petunjuk,
demikian pula para sahabat, yang mengikuti mereka dengan baik, dan yang
mengikuti mereka setelahnya.
Tatkala mereka semua tidak pernah mengerjakan
sesuatu apapun dari hal tersebut, diketahuilah bahwa hal itu bukan
termasuk agama Allah”.
Dan
dalam Majmu’ Fatawa beliau,
kumpulan Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimany
(7/364-365), beliau berkata,
“Dari penjelasan yang telah berlalu, nampak jelas
bagi kita bahwa perayaan maulid Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- adalah
tidak boleh. Bahkan dia adalah perkara bid’ah dikarenakan 2 hal:
1. Malam kelahiran Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-
tidaklah diketahui secara pasti, bahkan sebagian orang-orang belakangan
menguatkan bahwa malam maulid adalah malam ke 9 Rabi’ul Awwal, bukan
malam ke 12. Oleh karena itulah, menjadikan perayaan ini pada malam ke 12
adalah tidak memiliki landasan dari sisi sejarah.
2. Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Karena
seandainya, jika dia adalah bagian dari syari’at Allah, maka pasti akan
dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- atau beliau
sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau mengerjakannya atau
menyampaikannya, maka wajib hal itu terpelihara karena Allah -Ta’ala-
berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(QS.
Al-Hijr : 9)
Maka tatkala tidak ada sedikitpun keterangan
tentang hal tersebut, diketahuilah bahwa dia bukan bagian dari agama
Allah. Jika dia bukan bagian dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah
dan bertaqarrub kepada Allah -’Azza wa Jalla- dengannya”.
Syaikh
Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan -hafizhohullahu Ta’ala-.
Beliau
berkata dalam risalah beliau yang ringkas berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikral Maulid
An-Nabawy setelah beliau menyebutkan beberapa syubhat
orang-orang yang membolehkan perayaan maulid dan membantahnya, beliau berkata,
“Kesimpulan permasalahan, perayaan memperingati
maulid Nabawy -dengan berbagai macam bentuk dan beraneka ragam cara
pelaksanaannya- adalah bid’ah mungkar yang wajib atas kaum muslimin untuk melarang
(pelaksanaan)nya dan juga melarang bid’ah-bid’ah lainnya.
Dan wajib atas mereka untuk menyibukkan diri dengan
menghidupkan sunnah dan berpegang teguh dengannya, serta jangan tertipu dengan
orang-orang yang mencoba melariskan dan membela bid’ah ini.
Karena orang semacam ini perhatiannya untuk
menghidupkan bid’ah-bid’ah lebih besar daripada perhatian mereka untuk
menghidupkan sunnah-sunah, bahkan kadang mereka sama sekali tidak memiliki
perhatian terhadap sunnah-sunnah.
Orang yang seperti ini tidak boleh untuk diikuti
dan dicontoh walaupun kebanyakan manusia adalah dari jenis ini. Akan tetapi
yang dicontoh hanyalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj sunnah dari
kalangan salafush sholih dan yang mengikuti mereka walaupun mereka
sedikit, karena kebenaran itu tidaklah diketahui dengan orang-orang akan tetapi
orang-oranglah yang dikenal dengan kebenaran”.
Asy-Syaikh
Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah-.
Beliau
berkata dalam sebagian muhadharah (ceramah)
beliau yang terekam dengan berjudul Bid’atul Maulid,
“… kami dan mereka -yaitu para pelaku maulid-
bersepakat bahwa perayaan ini adalah perkara baru yang tidak pernah ada sama
sekali di zaman beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, bahkan tidak pernah ada
di tiga zaman keutamaan sebagaimana yang baru kita sebutkan.
Di antara perkara yang sudah dimaklumi bersama
bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup beliau tidak pernah
merayakan hari kelahiran beliau. Karena perayaan hari kelahiran, siapapun
orangnya tidaklah datang kecuali berasal dari jalan orang-orang Nashrani Al-Masihiyah.
Perayaan itu tidak dikenal oleh Islam secara mutlak pada zaman yang baru kita
sebutkan. Maka tentunya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih pantas
untuk tidak mengetahuinya. Lagi pula ‘Isa sendiri tidak pernah merayakan
kelahiran beliau …”.
Syaikh
‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr -hafizhohullah-.
Beliau
berkata dalam Al-Hatsts ‘alal
Ittiba’ wat Tahdzir minal Bida’ wa Bayani Khothoriha, hal. 55-56,
“Termasuk bid’ah-bid’ah zamaniah (yang berkaitan
dengan waktu) adalah perayaan maulid-maulid (hari-hari lahir), seperti perayaan
maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena ini adalah termasuk
bid’ah-bid’ah yang dimunculkan di abad keempat Hijriah. Tidak datang dari Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-, para khalifah dan sahabat beliau sedikitpun
tentang hal tersebut. Bahkan tidak datang dari tabi’in dan
orang-orang yang mengikuti mereka, sedangkan telah berlalu 300 tahun sebelum
munculnya bid’ah ini”.
Syaikh
‘Abdurrahman bin Jibrin -hafizhohullah-.
Beliau
ditanya -di sela-sela pelajaran beliau ketika mensyarah(menjelaskan) kitab Al-Ibanah Ash-Shugro- tentang maulid Nabawy
dan Isra` Mi’raj, apakah termasuk bid’ah padahal dia adalah amalan
kebaikan dan terkadang para pelakunya menangis di dalamnya. Maka beliau
menjawab,
“Iya, perayaan maulid adalah bid’ah karena tidak
pernah dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup
beliau dan tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat yang mereka ini merupakan
sebaik-baik manusia (yaitu) para khalifah yang mendapatkan petunjuk. Abu Bakr
tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, Umar juga
tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula
dikerjakan oleh ‘Utsman dan tidak juga oleh ‘Ali -radhiyallahu ‘anhum- .
Perayaan maulid ini tidak ada pada abad pertama,
tidak pula pada abad kedua dan tidak pula pada abad ketiga. Akan tetapi tidak
muncul, kecuali pada abad keempat Hijriah yang dimunculkan oleh
Kekhalifahan Al-Fathimiyyun Asy-Syi’ah dalam
rangka mencontoh dan menyerupai orang-orang Nashrani yang mengadakan perayaan
maulid bagi Al-Masih ‘Isa bin Maryam -‘alaihish sholatu
wassalam-. Hal ini menunjukkan bahwa dia adalah bid’ah.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
“Setiap bid’ah adalah sesat” (Telah
berlalu takhrijnya).
Ini adalah termasuk bid’ah, demikian pula halnya
dengan perayaan malam Isra` Mi’raj, semuanya adalah termasuk
bid’ah-bid’ah.
Seandainyapun seseorang itu menangis, tapi bila
tangisannya tersebut di atas selain hidayah, maka tangisannya tidak akan
bermanfaat baginya. Terkadang seseorang itu menangis sedangkan dia di atas
kekafiran sehingga tangisannya tidak bermanfaat baginya. Tangisannya tidak
menambah baginya kecuali semakin jauh (dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Tidakkah engkau membaca firman Allah -Ta’ala-:
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan,memasuki api
yang sangat panas (neraka), diberi
minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”. (QS. Al-Ghasyiah
: 2-5)
[“Banyak muka pada hari itu tunduk
terhina”], tunduk lagi rendah. [“Bekerja keras”], dia telah beramal, sibuk
siang dan malam dengan sholat dan puasa, tetapi tidak di atas ilmu, tidak
sesuai dengan syari’at lagi berbuat syirik. [“Banyak muka pada hari itu tunduk
terhina, bekerja keras lagi kepayahan”], lelah dalam beribadah dan beramal,
akan tetapi bersamaan dengan itu (mereka) [“memasuki api yang sangat panas
(neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”] yaitu yang
sangat panas, yang kedahsyatan panasnya telah sampai pada puncaknya dan dia
diberikan minum darinya. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah.
Jadi, tidak semua yang menangis berarti di atas
kebenaran. Seorang kafir bisa menangis, padahal dia di atas kebatilan. Kita
memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah”.
Syaikh
Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh -hafizhohullah-, Menteri Agama Saudi
Arabiah.
Beliau
berkata ketika beliau menyebutkan beberapa bid’ah dan larangan yang berkenaan
dengan tauhid, “Mengadakan
perayaan-perayaan yang beraneka ragam dengan maksud taqarrub kepada Allah
dengannya.
Seperti perayaan maulid nabawi,
perayaan hijrah (Nabi), perayaan tahun baru hijriah, perayaan Isra` dan
Mi’raj, dan yang semisalnya.
Perayaan-perayaan ini adalah bid’ah, karena dia
adalah ajang berkumpulnya (manusia) pada amalan-amalan yang dimaksudkan sebagai
taqarrub kepada Allah. Sedangkan tidak boleh bertaqarrub kepada Allah kecuali
dengan apa yang Dia syari’atkan, dan Allah tidaklah boleh disembah kecuali dengan
apa yang Dia syari’atkan. Maka semua perkara yang baru dalam agama adalah
bid’ah dan semua bid’ah terlarang untuk mengerjakannya”
Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin
minal Akhtho` Asy-Sya`i’ah.
Syaikh
Ahmad bin Yahya An-Najmy -hafizhohullah-,
Mufty Saudi Arabia Bagian Selatan
Dalam
kitab beliau yang menjelaskan tentang kesesatan Ikhwanul Muslimin dan
Jama’ah Tabligh yang berjudul Al-Mawridul ‘Adzbizh Zhallal, beliau berkata,
“Perayaan ini (maulid) adalah bid’ah yang
dimunculkan olehAl-‘Ubaidiyyun [Biasa
juga dinamai dengan Al-Fathimiyyun, Syi’ahatau Al-Bathiniyyah [ed]] yang menguasai Mahgrib (baca: Maroko)
yang kemudian kekuasaannya meluas sampai ke Mesir pada abad ke 5 Hijriah.
Maulid tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari
khalifah yang empat, tidak pula oleh seluruh sahabat lainnya dan juga tidak
pernah dikerjakan oleh seorangpun dari orang yang hidup di zaman-zaman
keutamaan. Apakah mereka mengetahui keutamaannya lantas meninggalkannya atau
mereka tidak mengetahuinya?!
Kalau kalian mengatakan bahwa mereka mengetahui
keutamaannya tapi mereka meninggalkannya, maka kalian telah berdusta atas nama
mereka. Kalau kalian mengatakan bahwa mereka tidak mengetahuinya sedangkan
kalian yang mengetahuinya, maka kalian lebih berhak untuk tidak tahu daripada mereka”.
Syaikh
Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly -hafizhohullah-.
Beliau
berkata dalam kumpulan fatwa beliau yang berjudul Al-Ajwibah As-Sadidah (3/564-565),
“Adapun perayaan maulid Rasul yang agung
-Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka tidak datang
pensyari’atannya baik dari Al-Kitab, maupun sunnah qauliyah (berupa ucapan),
(sunnah) fi’liyah (berupa perbuatan) dan (sunnah) taqririyah (berupa
persetujuan) serta tidak juga dari atsar perbuatan para salaf yang mulia yang
merupakan penjaga agama ini dari berbagai bid’ah dan benteng aqidah kaum
muslimin dari kerusakan dan kerancuan”.
BAHAYA BID’AH
Amalan-amalannya tidak di terima
terdapat beberapa nash yang menyatakan bahwa ibadah ahli bid’ah
tidak di terima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diantarannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : katakanlah: “Apakah akan kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orangyang paling merugi perbuatannya. “yaitu
orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(Al-kahfi:103-104).
Imam Ibnu Katsir berkata: ” Karena Sesungguhnya ayat ini adalah
makiyah (turun sebelum peristiwa hijrah dari makkah ke madinah) , sebelum
berbicara terhadap orang-orang yahudi dan nashara, dan sebelum adanya
al-hawarij (kaum pertama pembuat bid’ah) sama sekali. Sesungguhnya
ayat ini umum meliputi setiap orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jalan yang tidak di ridhoi
Allah Subhanahu wa
Ta’ala , dia
menyangka bahwa dia telah berbuat benar didalam ibadah tersebut padahal dia
telah berbuat salah dan amalannya tertolak.” (Tafsir Al-Qur’annil Azhim)
Pelaku bid’ah semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
Diriwayatkan dari Al-hasan bahwa dia berkata : “shahibu (pelaku)
bid’ah, tidaklah dia menambah kesungguhan, puasa, dan shalat, kecuali dia
semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan dari Ayyub As-Sikhtiyani, dia berkata: “tidaklah pelaku
bid’ah menambah kesungguhan kecuali dia semakin jauh dari AllahSubhanahu wa Ta’ala .”
Pernyatan tersebut diisyaratkan kebenarannya oleh sabda Rasulullah rtentang
khawarij: “satu kaum akan keluar di dalam ummat ini yang kamu
meremehkan shalat kamu di bandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca
Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat dari agama
sebagaimana melesatnya anak panah dari sasarannya.”(HR. Bukhari)
Asy-Syatibi berkata: “pertama beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pent.) menjelaskan tentang kesungguhan
mereka, kemudian beliau menjelaskan tentang jaunya mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .(Al-I’tisham I/156)
Menangguh dosa bid’ah dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya
sampai hari kiamat.
Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda
: “Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk , maka dia mendapatkan pahala
sebagaimana pahala-pahala yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi
pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang menyeru kepada
kesesatan, maka dia mendapatkan dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”(HR. Muslim)
Sedangkan bid’ah merupakan kesesatan sebagaimana yang telah di
katakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Inginkah ahli bid’ah
menanggung seluruh dosa orang-orang yang mengiutinya sampai hari kiamat?!
Tidakkah hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam ini menghentikan mereka!?.
Pelaku bid’ah memposisikan dirinya pada kedudukan menyerupai
pembuat syari’at
Hal ini karena pembuat syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala ) telah membuat peraturan-peraturan
kemudian mewajibkan makhluk untuk melaksanakannya, sehingga dia sendirian dalam
hal ini. Dialah yang membuat keptutusan tentang apa yang di perselisihkan oleh
makhluk. Karena jika pembuatan peraturan-peraturan itu mampu di lakukan oleh
Manusia, niscaya agama yang berisi peraturan-peraturan itu tidak di turunkan
oleh Allah, para Rasul tidak perlu di utus, dan tidak ada lagi perselisihan di
kalangan Manusia. maka orang-orang yang mengadakan perkara-perkara baru di
dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
berarti dia telah menempatkan dirinya sebanding dengan pembuat syari’at. Yaitu
dia membuat peraturan bersamaan dengan pembuat syari’at dan telah membuka pintu
perselisihan, serta menolak maksud atau tujuan pembuat syari’at di dalam
kesendiriannya dalam membuat syari’at (peraturan).(Al-I’tisham I/66)
Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada hari kiamat
Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Sesung-guhnya aku mandahului dan menanti kamu di telaga. Barang siapa
yang melewatiku niscaya dia minum, dan barang siapa yang minum niscaya dia
tidak akan haus selama-lamanya. Sesungguhnya sekelompok orang akan
mendatangiku, aku mengenal mereka, dan mereka mengenalku, kemudian dihalangi
antara aku dengan mereka, maka aku berkata: “Sesungguhnya mereka dari
pengikutku” tetapi di jawab “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang
mereka ada-adakan secara baru setelahmu.” Maka aku (Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam) berkata: “jauh ! jauh!!
Bagi orang-orang yang merubah agama setelahku.” (HR.
Bukhari -Muslim)
Pelaku bid’ah diancam dengan laknat Allah
Dari Ibrhahim
At-taimi dia berkata: “Bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata: Ali
Radhiallahu wa Anhu berkhutbah kepada kami di atas mimbar dari batu bata dan
beliau membawa sebuah pedang, yang pada pedang tersebut terdapat sebuah
lembaran yan tergantung, kemudian Ali berkata: “Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala kami tidak mempunyai kitab yang di baca kecuali kitab Allah Subhanahu
wa Ta’aladan apa yang ada di lembaran ini.” Kemudian Ali membukanya, maka
didalam lembaran itu tertulis:…maka barang siapa yan membuat perkara-perkara
baru (bid’ah) di madinah niscaya dia mendapatkan laknat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, malaikat-malaikatnya dan seluruh Manusia.”(Bukhari
no. 7300 dan Muslim no. 1730).
Pintu taubat hampir-hampir terkunci bagi shahibu (ahli) bid’ah
Hal ini disebutkan dalam beberapa hadist antara lain:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalangi
taubat dari setiap shahibu bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya (Shahih
At-Tarhib I/97 dan Zhilalul Jannah : 21 oleh Imam Al-Albani). Sesungguhnya ahli
bid’ah tidak mendapakan taufik (bimbingan) untuk bertaubat. Sehingga taubat itu
sama sekali tidak terjadi pada mereka kecuali jika dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ini adalah makna yang benar, dan tidak ada keraguan padanya.Karena telah
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan perkataan para salaf ini serta
kenyataan para Ahli bid’ah itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh Imam Hasan Al-Basri : “Allah Subhanahu wa Ta’ala enggan
mengizinkan taubat bagi Ahli bid’ah” (HR. Al-Lalikai).
di susun: ust. Abu humairoh al batamy
itulah sejarah asal usulnya Maulid
BalasHapusSeperti biasa seperti ulama wahabi lainnya ada tulisan tahrif/gunting potong tentang biografi raja al mudhoffar, dalam tafsir ibnu kasir yang asli, saya membaca raja almudhoffar adalah raja yang tafaqquh dalam agama, adil, bijaksana,dermawan.
BalasHapusDari situ saja dulu, bisa kelihatan tahrifnya...
Buat tulisan isinya semua pada pendapat2 yg mengingkari maulid,.ya jelas taulah kemana arahnya,. kali-kali coba ikut maulid apa yang sdr2 kita lakukan,.apa da maksiat dsb sprt tulisan artikel yg amat panjang ini.
BalasHapustidak semua yg tidak dilakukan Nabi itu bid'ah sesat.,mulai dari masa nabi hidup, masa sahabat dan ulama imam mazhab ad yg beramal tidak pernah dicontohkanoleh Nabi,.
Tulisan ngising...
BalasHapus