Penyelenggaraan
jenazah bagian ke 2
Hal hal yang di
sunnahkan bagi si mayat
1. Menutup kedua matanya. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah
Radhiyallahu ‘anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ
الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ
عَلَى مَا تَقُولُونَ
Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut,
akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan
perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian
ucapkan. (HR Muslim).
2. Menutup seluruh tubuhnya, setelah
dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya.
Dari Aisyah Radhiyallahu a’nha, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ
Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia
ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris).
(Muttafaqun 'alaih).
3. Bergegas untuk mengurus jenazahnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ
تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak pantas bagi mayat seorang muslim
untuk ditahan di antara keluarganya. (HR Abu Dawud).
أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ فَإِنْ تَكُ
صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ
عَنْ رِقَابِكُمْ
‘’Segerakanlah urusan jenazah, karena
jika (jenazah) itu baik berarti kamu menyegerakan kebaikan itu untuknya, jika
(jenazah) itu tidak demikian, berarti kamu meletakkan yang buruk itu dari
pundakmu.’’ (HR.Bukhori 1231, dan Muslim 1568 dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata memberikan
komentar terhadap hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tadi yang dikeluarkan
oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya: “Dalam hadits ini ada dalil
dimustahabkannya menyegerakan mayat, setelah terbukti jelas bahwa dia telah
wafat. Adapun orang yang meninggal karena wabah penyakit, lumpuh, dan pingsan,
maka hendaklah jangan disegerakan penguburannya sampai lewat sehari semalam
untuk memastikan kematiannya.” (Al-Fath, III/184).
Catatan: Akan tetapi kalau sudah jelas
akan kematiannya berdasarkan ilmu kedokteran yang sudah berkembang saat ini
maka tidak perlu menunggu lama lama akan tetapi di anjurkan untuk di segerakan.
4. Disegerakan melunasi hutang-hutangnya,
baik hutang kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. Atau
hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang
lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ
حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin terikat dengan
hutangnya hingga dilunasi. (HR Ahmad, Ibnu Majah, At Tirmidzi, dan beliau
menghasankannya).
5. Diperbolehkan untuk membuka dan
mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu anha berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى
رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ
Aku melihat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh’un Radhiyallahu ‘anhu , saat dia
telah meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata. (HR Abu Dawud
dan At Tirmidzi).
6. Diharuskan bagi kerabat sang mayat
mengucapkan istirja’ (melafalkan ucapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un)
dan bersabar dan rela dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah ta'ala.
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ
الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا
لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". (al Baqarah/2:155-157)
Dari Anas bin malik Radhiyallahu anha, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallam menumpai seorang wanita tengah berada di kuburan sambil menangis, lalu
beliau berkata kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah engkau’.
Wanita itu menjawab, ‘Diam, dan biarkanlah aku begini, karena engkau tidak
terkena musibah seperti musibah yang menimpakku’.” Anas berkata, “Wanita
tersebu tidak mengetahui siapa yang menegurnya. Lalu diberitakan kepada wanita
itu bahwa yang menegurnya tadi adalah Rasulullah. Kemudian ia katakan kepada
Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mengetahui yang menegurku
tadi adalah engkau.’ Rasulullah menjawab dengan sabdanya, ‘Sesungguhnya sabar
itu ada pada benturan pertama’.”(HR
Imam Bukhari, Muslim, dan al-Baihaqi).
7. Di anjurkan bagi anak-anak si mayat
dan kelurga serta kerabat kerabatnya untuk mendo'akan si mayit dengan ke baikan
Allah Ta’ala
berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا
إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun
lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a’nhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu
mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, anak sholih yang mendo’akan orang tuanya. (HR. Muslim no.
1631)
Hal hal yang di larang bagi si mayat
§
Meratap, yaitu menangis
berlebih-lebihan,
النَّائِحَةُ
إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا
سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
Wanita yang meratap jika tidak bertaubat
sebelum meninggal, pada hari kiamat akan diberdirikan (di hadapan para makhluk)
dengan memakai pakaian dari ter dan pakaian kudis(H.R Muslim 1550).
Yang diperbolehkan adalah sekedar
menangis (berlinang air mata) dan menahan ucapan agar tidak keluar kata-kata
yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah.
Ketika putra Nabi Muhammad shollallaahu
alaihi wasallam yang bernama Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah shollallahu
alaihi wasallam menangis dan ditanya oleh Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu
a’nhu: dan engkau (menangis) juga wahai Rasulullah? Rasul menjawab:
sesungguhnya ini adalah rahmat (kasih sayang), kemudian beliau menyatakan:
إِنَّ
الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى
رَبُّنَا
Sesungguhnya mata berlinang, hati
bersedih, dan kami tidak mengucapkan kecuali apa yang diridhai oleh Tuhan kami
(H.R alBukhari no 1120).
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلَا بِحُزْنِ الْقَلْبِ وَلَكِنْ
يُعَذِّبُ بِهَذَا وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ أَوْ يَرْحَمُ
Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab
karena air mata yang berlinang ataupun hati yang bersedih. Namun Ia mengadzab
karena ini (beliau mengisyaratkan pada lisannya) atau Allah merahmati (H.R
al-Bukhari dan Muslim).
§
Mengacak-acak rambut, berteriak,
memukul wajah, merobek-robek kantong pakaian dan lain-lain.
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى
الْجَاهِلِيَّةِ
Bukan termasuk golongan kami orang yang
memukul-mukul pipi, merobek saku, dan berseru dengan seruan Jahiliyyah (H.R
al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ
أَسِيدِ بْنِ أَبِي أَسِيدٍ عَنْ امْرَأَةٍ مِنَ الْمُبَايِعَاتِ قَالَتْ كَانَ
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْمَعْرُوفِ الَّذِي أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ لَا نَعْصِيَهُ فِيهِ أَنْ لَا
نَخْمُشَ وَجْهًا وَلَا نَدْعُوَ وَيْلًا وَلَا نَشُقَّ جَيْبًا وَأَنْ لَا
نَنْشُرَ شَعَرًا
Dari Asid bin Abi Asid Radhiyallahu a’nhu
dari wanita yang dibaiat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, ia berkata: Di
antara perjanjian yang diambil oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dari
kami adalah agar kami tidak bermaksiat kepadanya, tidak mencakar wajah,
tidak berseru : Celaka!, tidak merobek saku, tidak menjambak rambut (pada saat
bersedih) (H.R Abu Dawud)
§
Laki-laki memperpanjang jenggot selama
beberapa hari sebagai selama beberapa hari sebagai tanda duka atas kematian
seseorang. Jika duka sudah berlalu maka mereka kembali mencukur jenggot lagi.
§
Mengumumkan kematian lewat
menara-menara atau tempat lain, karena cara mengumumkan yang seperti itu
terlarang dan syariat.
وَعَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَنْهَى عَنِ
اَلنَّعْيِ
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang dari Na’yu (mengumumkan
kematian secara Jahiliyyah (Di hasankan oleh syaikh al albany HR at-Tirmidzi 986, Ibnu Majah 1476, Ahmad
V/406 dan al-Baihaqi IV/74)
An-Na’yu yang diharamkan adalah yang menyerupai
kebiasaan kaum Jahiliyyah, seperti berteriak di depan pintu, di pasar, di atas
mimbar atau seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, yakni memasang
iklan di surat kabar, majalah atau radio. Biasanya dilakukan untuk
berbangga-bangga dan pamer.
Berkata Syaikh al-Albani dalam kitab
Ahkaamul Janaa’iz, hal. 32-33, berkata, “An-Na’yu yang diperbolehkan, yaitu
memberitahukan kematian seseorang jika tidak disertai hal-hal yang menyerupai
tradisi kaum Jahiliyyah. Dan bisa menjadi wajib apabila tidak ada yang membantu
untuk mengurus jenazahnya, seperti memandikan mengafani dan menshalatkan atau
yang lainnya.
§ Mencukur rambut
Dari Abu Musa Radhiyallahu
a’nhu mengatakan, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari
orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaaliqah,
haaliqah dan syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih). Shaaliqah adalah perempuan yang
menangis dengan keras-keras. Haaliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya
ketika tertimpa musibah, sedangkan Syaaqqah adalah wanita yang menyobek-nyobek
pakaiannya karena tidak terima dengan ketetapan takdir dari Allah (lihat Al Wajiz,
hal. 162, Taisirul ‘Allaam, I/319).
TATACARA MEMANDIKAN MAYIT
Memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. berdasarkan dalil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ
فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah dia dengan air dan daun
bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya. (Muttafaqun 'alaih).
Hal hal yang berkaitan dengan
hukum memandikan mayat
Orang Orang yang paling berhak
memandikan si mayat
§
Orang yang diberi wasiat
Seseorang terkadang berwasiat karena
ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan
mayit.
§
Suami kepada istri atau sebaliknya
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha:
لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ
وَكَفَنْتُكِ
Seandainya engkau mati sebelumku, pasti
aku akan memandikan dan mengkafanimu. (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi).
Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu
‘anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma’ binti Umais,
kemudian dia (Asma’ binti Umais) mengerjakannya. (Dikeluarkan oleh Malik dalam
Al Muwatha’, Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah).
§
Orang yang paling dekan kepada si
mayat
Seperti bapaknya, kemudian kakeknya,
kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama
di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum
mengurus jenazah.
Catatan: Bagi seorang
lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik
laki-laki atau perempuan. Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang
kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil
laki-laki.” Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah
matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)]. begitu juga seorang muslim
tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir. Allah berfirman kepada
NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ
أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang
mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas
kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.[At Taubah:84].
Tatacara memandikan mayat secara
singkat
Berkata Syaikh Muhammad Al
'Utsaimin tentang tatacara memandikan mayat:
- Hendaklah dipilih tempat yang tertutup,
jauh dari pandangan umum,
- Tidak disaksikan kecuali oleh orang
yang memandikan dan orang yang membantunya.
- Melepaskan semua pakaiannya setelah
diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun.
- Membuang kotoran si mayit (istinja’)
- Mewudhu’kan si mayat seperti wudhu’
ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke
dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu
dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya.
- kemudian dibasuh kepala dan seluruh
tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.
- Hendaknya air mandi si mayat
dicampurkan daun bidara. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut
kepala dan janggutnya.
- Yang terakhir air diberi kapur barus
(butir wewangian), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda:
“Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur.” Kemudian
dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. (70 Su'alan Fi Ahkamil Janaiz
hlm. 6).
Beliau juga berkata dalam kitabnya Asy
Syarhul Mumti’, 2/494:
-
Ketika mayat dimandikan, maka hendaklah bagian-bagian tubuh mayat digosok
perlahan dengan kain perca/ washlap atau semisalnya. Caranya, orang yang memandikan
membungkus tangannya dengan kain tersebut atau menggunakan kaos tangan.
Kemudian tubuh mayat digosok perlahan dari bawah kain penutup tubuhnya. Hal ini
dilakukan agar orang yang memandikan tidak menyentuh aurat si mayit. Sebaiknya
disiapkan lebih dari satu kain perca/ kaos tangan, sehingga setelah kain/ kaos
tangan yang satu dipakai untuk menggosok bagian pembuangan si mayat, kain/ kaos
tangan tersebut diganti dengan yang lain. (Asy Syarhul Mumti’, 2/494, Al-Umm
1/302, Al-Hawil Kabir 3/9, Al-Majmu’ 5/130,)
-
Setiap kali basuhan, tangan orang yang memandikan tidak lepas dari
mengurut-urut perut mayat agar sisa kotoran yang mungkin tertinggal dapat
keluar. (Asy
Syarhul Mumti’, 2/496)
Al-Imam
Asy-Syafi’i t berkata: “Kemudian mayat dimandikan (mulai) dari sisi kanan
lehernya, belahan (kanan) dadanya, rusuknya, paha dan betis (kanan)nya.
Kemudian kembali ke bagian kiri tubuhnya dan diperbuat semisal bagian kanan
tubuhnya. Setelahnya mayat dimiringkan ke rusuk kirinya, lalu dicuci punggungnya,
tengkuk, paha dan betis kanannya. Kemudian dimiringkan ke rusuk kanannya dan
dilakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Setelah itu dicuci bagian bawah
kedua telapak kakinya, antara dua pahanya dan belahan pantatnya dengan kain
perca.” (Al-Hawil Kabir 3/10, Al Majmu’ 5/133)
Selesai dari semua itu, seluruh tubuh mayat disiram dengan air yang dicampur dengan kapur barus.
Usai basuhan terakhir, kedua tangan mayat dirapatkan pada rusuknya dan kedua kakinya dirapatkan hingga kedua mata kakinya saling menempel, kedua pahanya pun saling dirapatkan. Bila keluar sesuatu dari tubuh mayat setelah selesai dimandikan maka dibersihkan dan tubuhnya dibasuh sekali lagi. Terakhir, tubuh mayat dikeringkan dengan kain. Setelah kering, diletakkan di atas kafan yang telah disiapkan. (Al-Umm 1/303, Al-Hawil Kabir 5/12)
Selesai dari semua itu, seluruh tubuh mayat disiram dengan air yang dicampur dengan kapur barus.
Usai basuhan terakhir, kedua tangan mayat dirapatkan pada rusuknya dan kedua kakinya dirapatkan hingga kedua mata kakinya saling menempel, kedua pahanya pun saling dirapatkan. Bila keluar sesuatu dari tubuh mayat setelah selesai dimandikan maka dibersihkan dan tubuhnya dibasuh sekali lagi. Terakhir, tubuh mayat dikeringkan dengan kain. Setelah kering, diletakkan di atas kafan yang telah disiapkan. (Al-Umm 1/303, Al-Hawil Kabir 5/12)
Berkata syaikh Al albany dalam
kitabnya Ahkamul Janaiz, hlm. 48. Hendaklah ketika memandikan si mayit,
memperhatikan hal-hal berikut ini:
-Yang wajib dalam memandikan mayit adalah
sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri
dengan hitungan ganjil.
- Disunnahkan untuk menyertakan pada iar
basuhan si mayat dengan campuran daun bidara atau sesuatu yang membersihkan,
seperti sabun atau yang lainnya.
- Hendaknya pada kali yang terakhir,
dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan
membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya.
Bagi wanita hendaklah mengikat rambutnya menjadi tiga ikatan dan
meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang
kanan, anggota wudhu’nya terlebih dahulu. (Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48).
- Apabila tidak ada air untuk memandikan
mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau
mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada
mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu)
yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau
yang lainnya.
-
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ
وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka
hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia
wudhu’. [HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].
Catatan:
§
Apabila janin yang mati keguguran
dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan.
Berdasarkan hadits Al Mughirah Radhiyallahu a’nhu yang marfu’:
وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ)
يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang anak kecil (dan dalam satu
riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido’akan untuk kedua
orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. [HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].
§
Seorang yang mati syahid
(terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan
junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.
Dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا
وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ Uhud dalam (bercak-bercak )
darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. [HR Al Bukhari].
Berkata syaikh Ibnu Utsaimin dalam
kitabnya Asy Syarhul Mumti’ (5/364): "Hukum ini khusus bagi syahid
ma’rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh
karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun
mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha’un, atau
karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid,
mereka tetap dimandikan.
Tatacara mengkafani mayat
Berkata syaikh Al albany dalam kitabnya
Ahkamul Janaiz no. 58: "Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh
tubuhnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits
Jabir Radhiyallahu a’nhu :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ
فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian
mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya. (HR Muslim).
Ulama berkata: “Yang dimaksud dengan
memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan
yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah.”
[Ahkamul Janaiz, 58].
Hal hal yang berkaitan dengan
hukum kafan
§
Biaya kain kafan diambilkan dari
harta mayit, lebih didahulukan dari pada untuk membayar hutangnya. Rasulullah
shalaullahu 'alaihi wsallam bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan
ihram:
وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Kafanilah dia dengan dua bajunya. (Muttafaqun
'alaih)
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri.
Demikian pula kisah Mush’ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian
dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.
§
Disunnahkan untuk dikafani dengan
tiga helai kain putih. Karena Rasulullah shalaullahu 'alaihi wsallam dikafani
dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.
§
Di sunnahkan memberi wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu
yang dibakar). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ
فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila kalian memberi wewangian kepada
mayit, maka berikanlah tiga kali. (HR Ahmad).
Maksud hadits ini adalh hendaklah kain
kafan diberi wangi-wangian sehingga aroma semerbaknya menempel pada kain
pertama, kemudian kain kedua dan ketiga diberi hanuth (wewangian) dan kapur barus.
§
Apabila ada beberapa mayit,
sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan
satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya,
sebagaimana kisah para syuhada Uhud.
§
Kafan seorang wanita sama seperti
kafan seorang lelaki.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Dalam hal
ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen).
Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh
karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang
lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” (Lihat
Asy Syarhul Mumti’ (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65).
Namun dalam hal ini, banyak ahlul ilmi
yang menyenangi agar seorang wanita dikafani dengan lima lembar kafan,
tidak lebih, bila memang dibutuhkan untuk lebih menutupi tubuhnya, sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnul Mundzir : “Mayoritas ahlul ilmi yang kami hafal dari
mereka berpandangan wanita dikafani dengan lima kain kafan. Hal ini disenangi
karena wanita semasa hidupnya harus ekstra dalam menutup tubuhnya daripada
lelaki karena auratnya yang lebih dari lelaki.” Lima kain ini berupa kain yang
disarungkan ke bagian aurat dan sekitarnya, dira’ (baju) dipakaikan ke
tubuhnya, kerudung, dan dua kain yang diselimutkan ke seluruh tubuhnya
sebagaimana mayat lelaki. (Al-Mughni, 2/173)
§ Di anjurkan
kain kafan yang
dipakai untuk menutupi mayat itu panjang dan lebar sehingga dapat menutupi
seluruh tubuhnya, serta berwarna putih
Jabir
bin Abdillah Radhiyallahu a’nhu mengatakan:
“Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah, lalu beliau menyebut seseorang dari kalangan shahabat beliau
yang telah meninggal, orang itu dibungkus dengan kafan yang tidak panjang/
lapang dan dikuburkan pada malam hari. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mencerca bila jenazah
seseorang dikuburkan pada malam hari sampai jenazah itu selesai dishalatkan.
Kecuali bila seseorang terpaksa melakukan hal tersebut. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Bila salah seorang dari kalian mengafani
saudaranya maka hendaklah ia membaguskan kafannya.” (HR. Muslim no. 943)
Yang
dimaksud dengan membaguskan kafan di sini, kata ulama adalah kafan itu berwarna
putih, bersih, tebal, dapat menutupi, serta pertengahan sifatnya -tidak
berlebih-lebihan/ mewah dan tidak pula jelek. Sehingga membaguskan kafan bukan
maksudnya berlebihan-lebihan dan megah-megahan. (Syarhus Sunnah 5/315,
Al-Majmu’, 5/155, Subulus Salam 2/154, Ahkamul Janaiz, Asy-Syaikh Al-Albani ,
hal. 77)
§
Tidak berlebihan dalam kafan
Al-’Allamah Shiddiq Hasan Khan t berkata:
“Memperbanyak kafan dan berlebih-lebihan dalam harganya bukanlah perkara yang
terpuji, karena seandainya tidak ada keterangan dari syariat bahwa mayat itu
harus dikafani, niscaya perbuatan tersebut termasuk membuang-buang harta,
karena kafan itu tidak memberikan manfaat kepada si mayat dan tidak pula
kembali kemanfaatannya kepada orang yang hidup.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah dengan
Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/436)
Cara singkat
tatacara mengkafani mayat
-
Setelah kafan pertama di bentang lalu diberi wangi-wangian berupa hanuth dan
kapur barus sehingga aroma semerbaknya menempel pada kain, begitu juga kafan
kedua dan ketiga.
-
Setelahnya
mayat diangkat dalam keadaan tertutup kain dan diletakkan di atas kain kafan
yang paling atas (dari tiga lapis kain yang telah disusun) dalam keadaan
terlentang, di mana kain kafan yang tersisa pada bagian kepalanya lebih panjang
daripada pada bagian kedua kakinya.
-
Kemudian disiapkan
kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu dimasukkan di antara dua belahan
pantat si mayat dengan cara yang lembut untuk menahan keluarnya sesuatu dari
duburnya yang beraroma tidak sedap, lalu diikat di atasnya dengan kain perca
yang dibelah ujungnya seperti celana pendek.
-
Diambil lagi kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu diletakkan di atas
mulut si mayat, dua lubang hidung, dua mata, dua telinga, anggota-anggota
sujudnya yaitu dahi dan hidung, telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kaki,
dan seluruh lubang yang ada di anggota tubuhnya, termasuk lukanya yang
berlubang bila ada untuk mencegah darah/ nanah yang mungkin keluar hingga
mengotori kafan.
-
Rambut dan jenggot si mayat diberi kapur barus pula.
-
Kemudian bagian kain kafan yang tersisa disisi kanan kafan terlebih dulu
ditekuk baru sisi kiri. Hal yang sama juga dilakukan pada lembar kafan kedua
dan ketiga.
-
Kain yang tersisa di bagian kepala mayat dikumpulkan, lalu ditekuk ke bagian
atas wajah mayat agar kain pada bagian wajah tidak tersingkap karena tiupan
angin misalnya. Sedangkan kain yang tersisa pada bagian kaki ditekuk ke bagian
atas kedua kaki mayat.
Dan
bisa diikat bila khawatir kafannya terbuka/ terbongkar namun bila hendak
dimasukkan ke kuburannya, ikatan tersebut dibuka. (Al-Hawil Kabir 3/21-23, Al-Majmu’ 5/157- 161,
Al-Mughni 2/169, Asy-Syarhul Mumti’ 2/517- 519)
Tatacara
Mengiringi jenazah
Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu
kifayah, dan memiliki keutamaan yang besar,
karena termasuk hak seorang muslim.
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
(وَفِي رِوَايَةٍ: يَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ) خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ
وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ
وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim
yang lain ada lima, (yaitu): menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi
jenazah, menghadiri undangannya dan mendo’akan orang yang bersin. (HR Bukhari
dan Muslim).
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى
عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ
قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
Barangsiapa yang menyaksikan jenazah
hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang
menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,”.kemudian
Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab,”Seperti
dua gunung yang besar.” (HR Muslim).
Hal hal yang berkaitan dengan
hukum mengantarkan jenazah
§
Disunnahkan untuk bersegera ketika
berjalan mengangkat jenazah.
أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَرَّبْتُمُوهَا إِلَى الْخَيْرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ شَرًّا تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
Bersegaralah kalian ketika membawa
jenazah. Apabila dia orang shalih, maka kalian akan segera mendekatkannya
kepada kebaikan. Dan apabila bukan orang shalih, maka kalian segera meletakkan
kejelekan dari punggung-punggung kalian. (HR Muslim).
§
Mengangkat jenazah dari seluruh
sudut
مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً فَلْيَحْمِلْ
بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ شَاءَ
فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ فَلْيَدَعْ
Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka
hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan
Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau
dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan. (HR Ibnu Majah).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata: “Menurutku, yang rajih dalam masalah ini adalah adanya keluasan dalam
mengangkat jenazah. Maka hendaknya dikerjakan mana yang lebih mudah dan tidak
memberatkan dirinya. Terkadang sifat tarbi’ sulit untuk dikerjakan ketika
banyak sekali orang yang mengiringi jenazah. Jadi akan menyulitkan orang yang
mengangkat dan orang yang lain.” (Lihat Asy Syarhul Mumti', hlm. 447)
§
Mengiringi dan mengangkat jenazah
adalah khusus bagi kaum lelaki.
Tidak boleh bagi wanita untuk mengiringi jenazah,
karena hadits Ummu Athiyah menyatakan:
نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ
وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah,
akan tetapi tidak ditekankan kepada kami. (HR Bukhari)
§
Diperbolehkan berjalan di belakang
jenazah atau di depannya.
Keduanya diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang afdhal berjalan di
belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عُوْدُوْا الْمَرِيْضَ وَاتَّبِعُوْا
الْجَنَائِزَ
Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah
jenazah. (Dikeluarkan oleh Al Haitsami).
§
Tidak diperbolehkan mengiringi
jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi Sunnah. Misalnya seperti mengeraskan
suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit
agar diberi rahmat).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Tidak dianjurkan untuk mengeraskan suara ketika
mengiringi jenazah, baik dengan bacaan atau dzikir atau yang lain. Hal ini merupakan
madzhab imam yang empat. Dan inilah yang kami ketahui dari salaf, dari para
sahabat dan tabi’in. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya.” (Lihat
Majmu' Fatawa 24/293,294).
§
Tidak mengapa mengiringi jenazah
dengan naik mobil atau kendaraan yang lain apabila kuburan letaknya jauh.
§
Dianjurkan bagi orang yang
mengiringi jenazah untuk khusyu’ menghayati kematian dan memikirkan apa yang
akan dialami oleh si mayit dan tidak membicarakan masalah duniawi.
§
Tidak duduk hingga jenazah
diletakkan di tanah. Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اتَّبَعْتُمْ جَنَازَةً فَلَا
تَجْلِسُوا حَتَّى تُوضَعَ
Apabila kalian mengikuti jenazah, maka
janganlah duduk hingga diletakkan. (HR Bukhari dan Muslim)
§
Disunnahkan wudhu’ bagi yang
memikul keranda mayat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ
حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka
hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia
berwudhu’. (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar