MUQODDIMAH
Segala Puji hanya milik Alloh, kita
memuji-Nya,meminta pertolongan dan mohon ampunankepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allohdari
kejelekan-kejelekan jiwa kita, dan keburukan-keburukan
amalan kita. Barang siapa yang diberipetunjuk oleh Alloh maka tidak ada
yang mampumenyesatkannya. Dan barang siapa
yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.Dan aku
bersaksi bahwa tidak ada yang berhakuntuk disembah kecuali Alloh dan aku
bersaksi bahwaMuhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya.
“ Hai orang-orang
yang beriman! Bertakwalah kalian kepadaAlloh dengan sebenar-benar takwa dan
janganlahsekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaanIslam” (QS. Ali
Imron:102)“
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Alloh
menciptakan istrinya; dan dari keduanya Alloh memperkembangbiakan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu dengan yang
lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi
kamu ”. (QS. An-Nisa: 1).
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh
memperbaiki bagimu amalan- amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Dan barang siapa mentaati Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar ”. (QS: Al-Ahzab: 70-71)
Sesungguhnya sebenar-benar
perkataan adalahKitab
Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shollallohu alaihi was sallam danseburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan.Dan
setiap yang diada-adakan (dalam agama)
adalah bid’ah, dan setiap kebid’ahan adalah sesat, dan setiap
Keutamaan Shalat Jenazah
- Akan mendapatkan pahala yang besar berdasarkan hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّىَ
عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ
قِيرَاطَانِ . قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ
الْعَظِيمَيْنِ
"Barangsiapa yang menyaksikan
jenazah sampai ia menyolatkannya, maka baginya satu qiroth. Lalu barangsiapa
yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qiroth." Ada
yang bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam lantas menjawab, "Dua qiroth itu semisal dua gunung yang
besar." (HR. Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ
يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ. قِيلَ وَمَا
الْقِيرَاطَانِ قَالَ أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ
"Barangsiapa shalat jenazah dan
tidak ikut mengiringi jenazahnya, maka baginya (pahala) satu qiroth. Jika ia
sampai mengikuti jenazahnya, maka baginya (pahala) dua qiroth." Ada yang
bertanya, "Apa yang dimaksud dua qiroth?" "Ukuran paling kecil dari
dua qiroth adalah semisal gunung Uhud", jawab beliau shallallahu 'alaihi
wa sallam. (HR. Muslim no. 945)
- Akan mendapatkan syafa'at bagi orang yang di shalatkan sebanyak 40 orang ahli tauhid sebagimana hadits Kuraib, ia berkata,
أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ
بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ.
قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ
فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ
شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ
"Anak 'Abdullah bin 'Abbas di
Qudaid atau di 'Usfan meninggal dunia. Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Wahai
Kuraib (bekas budak Ibnu 'Abbas), lihat berapa banyak manusia yang menyolati
jenazahnya." Kuraib berkata, "Aku keluar, ternyata orang-orang sudah
berkumpul dan aku mengabarkan pada mereka pertanyaan Ibnu 'Abbas tadi. Lantas
mereka menjawab, "Ada 40 orang". Kuraib berkata, "Baik kalau
begitu." Ibnu 'Abbas lantas berkata, "Keluarkan mayit tersebut.
Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas dishalatkan (shalat
jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun
melainkan Allah akan memperkenankan syafa'at (do'a) mereka untuknya." (HR.
Muslim no. 948)
Dalam riwayat lain dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ
شُفِّعُوا فِيهِ
"Tidaklah seorang mayit
dishalatkan (dengan shalat jenazah) oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai
100 orang, lalu semuanya memberi syafa'at (mendoakan kebaikan untuknya), maka
syafa'at (do'a mereka) akan diperkenankan." (HR. Muslim no. 947)
- Di kabulkannya do'a sebagimana hadits Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى
عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ
"Tidaklah seorang muslim mati lalu
dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan do'a mereka akan
dikabulkan." (HR. Tirmidzi no. 1028 dan Abu Daud no. 3166. Imam Nawawi
menyatakan dalam Al Majmu' 5/212 bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani
menyatakan hadits ini hasan jika sahabat yang mengatakan)
Itulah beberapa hadits yang menunjukkan
keutamaan shalat jenazah. Selengkapnya mengenai tata cara shalat jenazah akan
disampaikan pada artikel berikutnya.
Hukum shalat Jenazah
Hukum
shalat jenazah adalah fardu kifayah berdasarkan beberapa dalil, di antaranya:
- Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ
أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ
آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى
قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا
“Ada seorang laki-laki kulit hitam
atau wanita kulit hitam yang menjadi tukang sapu di masjid telah meninggal
dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya tentang keberadaan orang
tersebut. Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda,
“Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? Tunjukkanlah kuburannya padaku!”
Beliau kemudian mendatangi kuburan orang itu kemudian menshalatinya.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Lihat
hadits-hadits lainnya dalam Irwa`ul Ghalil, 3/183-186)
- Dari Abu Qatadah radhiallahu anhu ia menceritakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلُّوْا عَلى صَاحِبِكُمْ، فَإِنَّ عَلَيْهِ دَيْنًا. قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُوَ عَلَيَّ. قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِالْوَفَاءِ؟ قَالَ: بِالْوَفاَءِ.
فَصَلَّى عَلَيْهِ
Didatangkan
jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam agar beliau menshalati ternyata beliau shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Shalatilah teman kalian ini krn ia
meninggal dgn menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah:
“Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janji ini akan disertai
dgn penunaian?”. “Janji ini akan disertai dgn penunaian“ jawab Abu Qatadah.
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menshalatinya.” (HR.
An-Nasa`i no. 1960 kitab Al-Jana`iz bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa`i).
- Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى
النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى
فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
“Bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari
kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau
membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari
no. 1337)
Orang orang yang
tidak wajib di salatkan
Ada dua
orang golongan yang dikecualikan dari hukum di atas. Kedua golongan tersebut
tidak wajib di shalatkan, namun boleh juga (disyariatkan) untuk di shalatkan
yaitu :
- Anak kecil yang belum baligh
Sesungguhnya
Nabi tidak menyalatkan putra beliau -Ibrahim- . ‘Aisyah berkata, “Ibrahim, putra Nabi meninggal dunia ketika
berusia delapan belas bulan. Rasulullah tidak menyalatkannya.” (HR. Abu Dawud
no. 3187, hadist hasan, lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).
Manakala
janin itu usianya belum genap empat bulan, maka tidak di shalatkan, karena
belum di tiupkan ruh padanya, sehingga tidak di kategorikan sebagai mayit atau
jenazah. (lihat Ahkamul Jana’iz hal 81).
- Mati syahid
Banyak
para syuhada baik pada perang Uhud atau yang lainnya tidak di shalatkan oleh
rasulullah. Namun di waktu lain, beliau juga menyalatkan sebagian para syuhada,
di antaranya adalah paman beliau, Hamzah yang mati syahid di perang Uhud.
Tentunya menyalatkannya itu lebih utama karena shalat jenazah itu merupakan doa
untuk si mayit sekaligus sebagai tambahan ibadah bagi yang mengerjakannya.
Catatan:
Dan yang di maksud syuhada di sini adalah orang orang gugur di pertempuran
dalam rangka meninggikan kalimat Allah ta'ala. karena di sana ada orang orang
yang di sebut syuhada akan tetapi wajib di mandikan dan di shalatkan di
antaranya di sebut dalam sebuah riwayat dari Jabir
Bin ‘Atik bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada tujuh macam syuhada’ lagi selain dari syahid dalam
perang sabil: orang yang mati karena penyakit sampar adalah syahid, orang yang
tenggelam adalah syahid, orang yang kena kanker pada lambungnya adalah syahid,
orang yang sakit kolera adalah syahid, orang yang mati terbakar adalah syahid,
orang yang ditimpa runtuhan adalah syahid, dan wanita yang mati karena
melahirkan adalah syahid.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan
Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Adapun golongan orang - orang di bawah ini maka berlaku syariat
shalat jenazah untuk mereka (fardhu kifayah)
- Orang yang meninggal dunia karena menjalani hukuman pidana mati (had) seperti rajam atau qishash. (HR. Muslim no. 1696)
- Pelaku maksiat yang tenggelam dalam berbagai kemaksiatan.
- Orang yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
- Seseorang yang di makamkan sebelum dishalatkan atau sudah dishalatkan oleh sebagian orang sedangkan sebagian yang lain belum menyalatkannya. (HR.Al – Bukhari no. 1247)
- Seseorang yang meninggal dunia di sebuah negeri dan tidak ada seorang pun yang menyalatkannya di depan jenazah. (Zadul Ma’ad 1/205-206)
Kedua golongan di
atas Anak kecil yang belum baligh dan orang yang
mati syahid, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan
hukumnya sunnah seperti tersebut dalam hadits Aisyah: “Didatangkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun
menshalatinya…”HR. An-Nasa`i no. 1947, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘alash
Shibyan, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa`i.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi
(Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah: “Seorang lelaki
dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam . Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia
berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berpesan
kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang
Khaibar, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mendapatkan
ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut
dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini
sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan
bagian ghanimah tersebut kepadanya. “Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut. “Bagian
yang diberikan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untukmu,” jawab mereka. A‘rabi ini
mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ,
seraya bertanya: “Harta apa ini?” “Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
. “Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku
dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu
masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut),
niscaya Dia akan menepatimu.” Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit
untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di
medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah sebelumnya
ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya. “Apakah ini
A’rabi itu?” tanya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.“Ya,“ jawab mereka yang ditanya. “Dia jujur kepada
Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam mengafaninya dengan
jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk
dishalati. Di antara doa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dalam
shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya
untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi
atas semua itu.” (HR. Abdurrazzaq no. 6651, An-Nasa`i no. 1953, Ath-Thahawi
dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya)
Ibnul
Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan
antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya.
Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah
yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295
sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)
Catatan: Janin yang gugur dishalati apabila
telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini
ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud
radhiallahu ‘anhu secara marfu‘:
“Sesungguhnya
salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40
hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga, kemudian
menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu (ketika
janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang
malaikat yang diperintah dengan empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut:
“Tulislah amal dan rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara.
Kemudian ditiupkan ruh pada janin tersebut….”(HR. Al-Bukhari no. 3208, dan
Muslim no. 6665)
Adapun
bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak dishalati, karena janin
tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai ruh).
(Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)
Hukum shalat jenazah bagi wanita
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah
di tanya: "Di Masjidil Haram diserukan untuk melaksanakan shalat jenazah,
bolehkah wanita ikut melaksanakan shalat ini bersama laki-laki, baik jenazah
yang hadir maupun ghaib (tidak hadir)?
Beliau
menjawab: "Wanita seperti laki-laki, apabila datang jenazah, wanita
menshalatkannya dan mendapatkan pahala seperti pahala laki-laki karena
dalil-dalil dalam hal ini berlaku umum dan tidak ada pengecualian darinya. Para
ahli sejarah menyebutkan bahwa kaum mus-limin menshalatkan Rasulullah shallahu ‘alaihi
wa sallam bergantian, laki-laki, kemudian para wanita. Dan atas
dasar inilah, maka hukumnya tidak apa-apa, bahkan hal tersebut termasuk perkara
yang dituntut (dianjurkan). Apabila jenazah telah hadir dan kaum wanita telah
ada di dalam masjid hendaklah mereka menshalatkan jenazah ini bersama
laki-laki. (Fatwa-fatwa Lengkap Seputar Jenazah, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin)
Al-Imam
An-Nawawi berkata: “Apabila tidak ada
yang menghadiri jenazah kecuali para wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat
tentang wajibnya mereka menshalati jenazah tersebut. Dan tidak ada perbedaan
pendapat bahwasanya ketika itu gugurlah kewajiban (menshalati jenazah) dengan
apa yang mereka lakukan. Dan mereka menshalati jenazah tersebut secara
sendiri-sendiri. Namun tidak apa-apa bila mereka mengerjakan secara berjamaah
(dengan sesama mereka).” (Al-Majmu’, 5/169).
Jika jenazah banyak
Jika
terkumpul banyak jenazah baik laki-laki maupun wanita, maka jenazah-jenazah itu
dishalatkan dengan satu kali shalat. Kemudian jenazah laki-laki –sekalipun
masih kecil- diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan imam. Sedangkan
jenazah wanita pada posisi paling dekat dengan kiblat. Hal ini berdasarkan
banyak riwayat di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar (HR. an-Nasa`i
1/280 dan al-Baihaqi 4/33). Diperbolehkan juga untuk menyalatkan
setiap jenazah dengan satu shalat sebagaimana hukum asalnya.
Posisi
Berdiri Imam
Ketika jenazah diletakkan untuk dishalati, bila jenazahnya lelaki, imam berdiri
di belakangnya pada posisi kepala. Adapun jika jenazahnya wanita maka imam
berdiri pada posisi tengahnya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Samurah bin
Jundab yang dikelu-arkan dalam Shahihain. Samurah berkata: “Aku pernah menjadi
makmum di belakang Nabi n ketika menshalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab
yang meninggal karena melahirkan. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri
pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat kali.”(Al-Hawil Kabir
3/50, Al-Majmu’ 5/183, Al-Muhalla 3/345, 382, Fathul Bari 3/257, Asy-Syarhul
Mumti’ 2/524, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam 1/372).
Abu
Ghalib Al-Khayyath berkisah: “Aku pernah
menyaksikan Anas bin Malik menshalati
jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala
jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat, didatangkan jenazah seorang
wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada Anas: ‘Wahai Abu Hamzah (kunyah
Anas), tolong shalatilah.’ Anas pun menshalatinya dan ia berdiri pada posisi
tengah jenazah.
Di
antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (seorang yang tsiqah
dari kalangan tabi’in, termasuk ahli ibadah dan qurra` penduduk Bashrah).
Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia berkata: ‘Wahai Abu
Hamzah, apakah demikian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berdiri
sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan ketika
menshalati jenazah wanita?’ Anas menjawab: ‘Iya’.”(Kelengkapan haditsnya bisa
dilihat dalam riwayat Abu Dawud no. 3194, kitab Al-Jana`iz, bab Aina Yaqumul
Imam minal Mayyit idza Shalla ‘alaihi).
Hukum
menshalatkan jenazah di dalam masjid
Diperbolehkan
untuk menyalatkan jenazah di dalam masjid berdasarkan hadits hadits yng shahih,
namun lebih utama di luar masjid, di sebuah tempat yang memang dipersiapkan
untuk menyalatkan jenazah, berdasarkan pelaksanaan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata
dalam al-Fath, “Sesungguhnya tanah lapang yang biasa
digunakan untuk menyalatkan jenazah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terletak
berdempetan dengan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari arah timur.”
Tidak
diperbolehkan menyalatkan jenazah di antara kubur-kubur
Sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, “Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyalatkan jenazah di antara
kubur-kubur.”(HR.
ath-Thabarani dalam al-Ausath
1/80/2)
Shalat
Ghoib
Shalat
Ghoib adalah menyolatkan jenazah yang tidak berada di tempat atau berada di
negeri lain.
Mengenai disyariatkannya shalat ghoib terdapat perselisihan di antara para ulama.
Mengenai disyariatkannya shalat ghoib terdapat perselisihan di antara para ulama.
Pendapat
Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat Imam Ahmad mereka membolehkan
menshalat ghaibkan mayat. Dalilnya adalah dishalatkannya Raja An Najasy oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal An Najasy berada di negeri Habasyah
(sekarang Ethiopia) sedangkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di
Madinah.
Pendapat
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah tidak membolehkan secara mutlak. Alasannya,
karena shalat ghoib untuk An Najasy adalah khusus untuk beliau saja, tidak
berlaku umum bagi yang lainnya.
sebagian
ulama lainnya memerinci, yaitu boleh melakukan shalat ghoib, namun bagi orang
yang mati di suatu tempat dan belum disholati. Kalau mayit tersebut sudah
disholati, maka tidak perlu dilakukan shalat ghoib lagi karena kewajiban shalat
ghoib telah gugur dengan shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin
padanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad. Pendapat ini juga
dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan
Fatawal ‘Aqidah wa Arkanil Islam.
Alasan
mereka adalah karena tidaklah diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan shalat ghoib kecuali pada An Najasiy saja. Dan An Najasiy mati
di tengah-tengah orang musyrik sehingga tidak ada yang menyolatinya. Seandainya
di tengah-tengah dia ada orang yang beriman tentu tidak ada shalat ghoib. Oleh
karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati An Najasiy di Madinah,
sedangkan An Najasiy berada di Habasyah (Ethiopia). Alasan lain, ketika para
pembesar dan pemimpin umat ini meninggal dunia di masa nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam -padahal mereka berada di tempat yang jauh- tidak diketahui bahwa
mereka disholati dengan shalat ghoib. waullahu 'alam pendapat terakhir ini yang
lebih kuat.
Waktu waktu terlarang untuk menshalati jenazah
Di
riwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu anhu ia berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ
مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ
يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف
لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada
tiga waktu di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami
untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami,
yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah
hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur
dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak
tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam
hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk
melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika
tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari
hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam
Dalam
hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu disebutkan, termasuk waktu yang
dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan
setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى
تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak
ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah
ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun
sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiallahu anhu) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr
bin ‘Abasah radhiallahu anhu mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu
dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini,
‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ
الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ
حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا
الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى
يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ
تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ
مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ
الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ
شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah
shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit
sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu
orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu
disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan,
kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam
dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang
jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan
dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus
boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah
dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di
antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada
matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Sifat shalat jenazah
Syarat
sah shalat
1. Niat
2. Menghadap kiblat
3. Menutup aurat
4. Orang yang mengerjakan dalam keadaan suci
5. Menjauhi najis
6. Yang menshalatkan maupun yang dishalatkan harus beragama Islam
1. Niat
2. Menghadap kiblat
3. Menutup aurat
4. Orang yang mengerjakan dalam keadaan suci
5. Menjauhi najis
6. Yang menshalatkan maupun yang dishalatkan harus beragama Islam
7. Menghadiri jenazah tersebut apabila jenazah
itu berada di dalam negerinya
8.
Orang yang menshalatkan adalah orang yang mukallaf
Rukun
shalat
1. Berdiri di dalam shalat jenazah itu
2. Melakukan takbir yang empat
3. Membaca surat Al Fatihah
4. Mendoakan shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam
5. Mendoakan jenazah tersebut
6. Tertib
7. Salam
Sunnah-sunnah shalat
1. Mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir (Sebagian ulama menjelaskan bahwa takbir mengangkat tangan hanya pada takbiratul ihram saja, ada pun beberapa takbir berikutnya tidak mengangkat tangan - Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dalam Akhthoul Mushollin dan ini yang banyak dikuatkan para ulama lainnya, wallahu a'lam-abu Iram)
2. Membaca doa isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al Fatihah 3. Mendoakan kebaikan bagi diri sendiri dan kaum muslimin
4. Tidak mengeraskan suara ketika membaca Al Fatihah
5. Berdiri sebentar setelah takbir yang keempat sebelum salam
1. Berdiri di dalam shalat jenazah itu
2. Melakukan takbir yang empat
3. Membaca surat Al Fatihah
4. Mendoakan shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam
5. Mendoakan jenazah tersebut
6. Tertib
7. Salam
Sunnah-sunnah shalat
1. Mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir (Sebagian ulama menjelaskan bahwa takbir mengangkat tangan hanya pada takbiratul ihram saja, ada pun beberapa takbir berikutnya tidak mengangkat tangan - Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dalam Akhthoul Mushollin dan ini yang banyak dikuatkan para ulama lainnya, wallahu a'lam-abu Iram)
2. Membaca doa isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al Fatihah 3. Mendoakan kebaikan bagi diri sendiri dan kaum muslimin
4. Tidak mengeraskan suara ketika membaca Al Fatihah
5. Berdiri sebentar setelah takbir yang keempat sebelum salam
6.
Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
7. Menoleh ke kanan ketika mengucapkan salam
7. Menoleh ke kanan ketika mengucapkan salam
Tata Cara Shalat Jenazah
Shalat
jenazah memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat yang lain, karena shalat
ini dilaksanakan tanpa ruku’, tanpa sujud, tanpa duduk, dan tanpa tasyahhud
(Al-Muhalla, 3/345). Berikut perinciannya:
Ø Menyusun
shaf berjumlah tiga atau lebih asal ganjil.
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Hubairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ
عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِلَّا أَوْجَبَ -وَفِيْ
رِوَايَةٍ- إِلَّا غُفِرَ لَهُ
“Tidaklah seorang muslim meninggal
dunia kemudian (jenazahnya) dishalatkan oleh tiga shaf dari kaum muslimin
melainkan pasti (dimasukkan surga) -dalam riwayat lain- akan diampuni
dosanya.” (HR. Abu Dawud 2/63, at-Tirmidzi
19/258, dan Ibnu Majah 1/454)
Jaminan
ini berlaku jika yang menyalatkan dan yang dishalatkan adalah orang yang tidak
menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala (tidak berbuat syirik),
sebagaimana telah dijelaskan pada edisi yang sebelumnya.
Hadits
di atas diperkuat dengan hadits lain dari sahabat Abu Umamah radhiyallahu
‘anhu, beliau mengisahkan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersama 7 sahabat menyalatkan jenazah, beliau
mengaturnya menjadi 3 shaf dengan formasi 3, 2, 2. (HR.
ath-Thabarani dalam al-Kabir 7785, lihat Ahkamul Jana`iz
hal. 127)
- Jika tidak ada yang bersama imam kecuali hanya satu makmum saja, maka ia tidak berdiri di samping imam sebagaimana dalam shalat-shalat yang lain, akan tetapi ia berdiri di belakang imam. (HR. al-Hakim 1/365, dari sahabat Abdullah bin Abi Thalhah radhiyallahu ‘anhu)
- Bertakbir 4 kali, demikian pendapat mayoritas shahabat, jumhur tabi‘in, dan madzhab fuqaha seluruhnya.
- Takbir pertama dengan mengangkat tangan, lalu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (sedekap) sebagaimana hal ini dilakukan pada shalat-shalat lain.
Al-Imam Al-Hafizh
Ibnul Qaththan berkata: “Ulama bersepakat bahwa orang yang menshalati jenazah,
ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya pada takbir yang awal.” (Al-Iqna’
fi Masa`ilil Ijma’, 1/186)
Ibnu Hazm menyatakan: “Adapun mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat jenazah, maka tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya, kecuali hanya pada awal takbir saja.” (Al-Muhalla, 3/351)
Ibnu Hazm menyatakan: “Adapun mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat jenazah, maka tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya, kecuali hanya pada awal takbir saja.” (Al-Muhalla, 3/351)
Asy-Syaikh
Al-Albani berkata: “Tidak didapatkan
dalam As-Sunnah adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan
pada selain takbir yang pertama. Sehingga kita memandang meng-angkat tangan di
selain takbir pertama tidaklah disyariatkan. Demikianlah pendapat madzhab
Hanafiyyah dan selain mereka. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaukani dan lainnya dari kalangan muhaqqiq.” (Ahkamul
Jana`iz , hal.148)
- Setelahnya, berta‘awwudz lalu membaca Al-Fatihah dan surah lain dari Al-Qur`an.
Thalhah bin
Abdillah bin ‘Auf berkata: “Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas ,
ia membaca Al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (menjahrkan) bacaannya
hingga terdengar oleh kami. Ketika selesai shalat, aku memegang tangannya
seraya bertanya tentang jahr tersebut. Beliau menjawab: “Hanyalah aku
menjahrkan bacaanku agar kalian mengetahui bahwa (membaca Al-Fatihah dan surah
dalam shalat jenazah) itu adalah sunnah dan haq (kebenaran)”.
Sebenarnya bacaan
dalam shalat jenazah tidaklah dijahrkan namun dengan sirr (pelan), berdasarkan
keterangan yang ada dalam hadits Abu Umamah bin Sahl, ia berkata: “Yang
sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama membaca Al-Fatihah dengan
perlahan kemudian bertakbir tiga kali dan mengucapkan salam setelah takbir yang
akhir.”
Ibnu
Qudamahtberkata: “Bacaan (qira`ah) dan doa dalam shalat jenazah dibaca secara
sirr. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di
kalangan ahlul ilmi. Adapun riwayat dari Ibnu ‘Abbas di atas, maka kata Al-Imam Ahmad: ‘Hanyalah
beliau melakukan hal itu (men-jahrkan bacaan) untuk mengajari mereka’.”
(Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah)
Al-Imam Asy-Syaukani
berkata: “Jumhur ulama berpendapat tidak
disunnahkan menjahrkan bacaan dalam shalat jenazah.” (Nailul Authar 4/81)
- Takbir kedua, lalu bershalawat untuk Nabi sebagaimana lafadz shalawat dalam tasyahhud. (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah, Asy-Syarhul Mumti’, 2/526)
اَللَّهُمُّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبَرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ
“Ya Allah, berilah shalawat atas Nabi Muhammad
dan atas keluarganya, sebagaimana Tuhan pernah memberi rahmat kepada Nabi
Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muhammad dan para
keluarganya, sebagaimana Tuhan pernah memberikan berkah kepada Nabi Ibrahim dan
para keluarganya. DI seluruh alam ini Tuhanlah yang terpuji Yang Maha Mulia.”
- Takbir ketiga, lalu berdoa secara khusus untuk si mayat secara pelan menurut pendapat jumhur ulama. (Al-Minhaj 7/34)
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian menshalati mayat,
khususkanlah doa untuknya.”Yakni doakanlah si mayat dengan ikhlas dan
menghadirkan hati karena maksud dari shalat jenazah tersebut adalah untuk
memintakan ampun dan syafaat bagi si mayat. Diharapkan permintaan tersebut akan
dikabulkan dengan terkumpulnya keikhlasan dan doa dengan sepenuh hati.”
(Catatan kaki Ahkamul Janaiz, hal. 156)
Dalam hal ini,
mengucapkan doa yang pernah diajarkan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam lebih utama daripada mengamalkan yang selainnya.
(Asy-Syarhul Mumti‘ 2/530, At-Ta‘liqat Ar Radhiyyah 1/444).
Di antara sekian doa yang pernah diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk jenazah adalah:
Di antara sekian doa yang pernah diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk jenazah adalah:
Hadits
Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ
وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ
بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ
الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ،
وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ
الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ
“Ya Allah, ampunilah dia,
rahmatilah dia, selamatkanlah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempatnya,
luaskan dan lapangkanlah tempat masuknya, basuhlah dia dengan air dan es serta
embun, bersihkanlah dia dari berbagai dosa dan kesalahan sebagaimana Engkau
membersihkan pakaian putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih
baik dari rumahnya (di dunia), keluarga yang lebih baik, istri yang lebih baik,
masukkanlah dia ke dalam surga dan lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab
neraka.”
(HR.
Muslim 3/59-60, lihat maknanya dalam Fathu
Dzil
Jalali wal Ikram 1/568).
Hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا،
وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا
وَأُنْثَانَا، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى
الْإِسْلَامِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِيْمَانِ،
اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ
“Ya Allah, berilah ampunan bagi
orang yang masih hidup dan yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir dan
orang yang tidak hadir, yang kecil dan yang besar, yang laki-laki maupun yang
wanita. Ya Allah, siapa saja yang Engkau hidupkan dari kami maka hidupkanlah di
atas Islam dan siapa saja yang Engkau matikan dari kami maka matikanlah di atas
keimanan. Ya Allah, janganlah engkau halangi pahalanya dari kami dan janganlah
Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (HR. Ibnu Majah (1/456), al-Baihaqi (4/41)
dan selainnya)
Jika
jenazahnya adalah seorang anak kecil, maka disunnahkan untuk berdoa dengan doa
berikut ini:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا سَلَفًا وَفَرَطًا
وَأَجْرًا
“Ya Allah, jadikanlah dia sebagai
pendahulu dan pahala bagi kami.” (Lihat Nailul Authar
4/79)
Ø Pada
takbir terakhir, disyariatkan berdoa sebelum mengucapkan salam
Dari Abu Ya‘fur dari Abdullah bin Abi Aufa z ia berkata:
“Aku menyaksikan Nabi (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat kali,
kemudian (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat untuk berdoa.”
Imam Ahmad berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir terakhir ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masa`il Al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam madzhab Asy-Syafi‘iyyah. (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)
Imam Ahmad berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir terakhir ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masa`il Al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam madzhab Asy-Syafi‘iyyah. (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)
Kemudian
salam seperti salam dalam shalat lima waktu, dan yang sunnah diucapkan secara
sirr (pelan), baik ia imam ataupun makmum. (Al-Hawil Kabir 3/55-57, Nailul
Authar 4/82) Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu. Ia menyatakan, “Tiga hal yang dahulu selalu dikerjakan oleh
Rasulullah namun ditinggalkan oleh orang-orang. Di antaranya adalah ucapan
salam pada shalat jenazah seperti ucapan salam pada shalat.” (HR. al-Baihaqi
4/43 dengan sanad shahih, sebagaimana perkataan al-Imam an-Nawawi rahimahullah).
Sebuah
hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya dari sahabat Ibnu
Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu
mengucapkan dua salam dalam shalat. Hadits yang kedua ini menjelaskan makna dan
maksud pada hadits pertama, yaitu bahwa lafazh “seperti salam pada shalat”
bermakna salam sebanyak dua kali.
Diperbolehkan
juga mencukupkan dengan salam yang pertama saja (satu salam ke sebelah kanan),
hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyalatkan jenazah. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bertakbir sebanyak empat kali dan salam hanya
sekali. (HR. ad-Daruquthni (191), al-Hakim
(1/360) dan al-Baihaqi (4/43)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar