Muqoddimah
Segala puji bagi Allah Ta’aala, kami
memuji-Nya, mohon pertolongan-Nya dan minta ampunan-Nya, kamipun berlindung
kepada-Nya dari kejelekan diri dan keburukan amal kami.
Barangsiapa yang Allah Ta’aala berikan
petunjuk kepadanya, niscaya tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang telah AllahSubhaanahu wa Ta’aala sesatkan, niscaya
tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.
Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang
berhak untuk disembah melainkan Allah Ta’aala semata tiada sekutu
bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya
Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah
melainkan Allah Ta’aala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya
berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya. Dan saya bersaksi
bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan
Allah Ta’aala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi
bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.
keutamaan adzan
Adzan adalah amalan yang sangat mulia dan agung namun demikian banyak
orang yang tidak mau jadi muadzin, bahkan sebagian orang meremehkan para
muadzin padahal di balik amalan adzan terdapat pahala dan keutamaan yang sangat
banyak sekali, perhatikan keutamaan adzan dan para muadzin di bawah ini:
1. Adzan adalah pemberitahuan akan tiba waktu shalat yang merupakan
rukun kedua dalam islam dan ini adalah tujuan terbesar dan teragung dalam adzan
2. Dengan adzan berarti ia telah menyebarkan dzikir dan mengajak manusia
untuk mengingat Allah ta’ala di tengah-tengah umat bahkan sebab mendapatkan
pahala yang besar
Rosululloh Sholallahu A’lahi
wasallam bersabda "Kalau saja
umat manusia mengetahui pahala yang terkandung pada adzan dan barisan pertama,
kemudian mereka tidak mendapatkannya, kecuali dengan cara mengundi, pasti
mereka akan mengadakan undian. Sekiranya mereka mengetahui pahala yang terdapat
pada kesegeraan berangkat shalat , pasti mereka akan berlomba- lomba
mendatanginya. Dan sekiranya mereka, mengetahui pahala sholat isya' dan shubuh,
pasti mereka akan mendatanginya (ke masjid) meski dengan cara merangkak.(HR
Bukhari dan Muslim)
3. Adzan adalah bentuk Mengagungkan tauhid dan pengagungan terhadap
Allah Ta'ala
4. Adzan juga adalah bentuk Menampakan syi'ar islam yang jelas di setiap
negri-negri islam, seandainya sebuah daerah sepakat untuk meninggalkan adzan
maka daerah tersebut harus di perangi
5. Mengingatkan dan mengajak untuk melakukan shalat berjama'ah dan
memakmurkan masjid atau tempat shalat
6. Adzan merupakan alamat yang paling tampak untuk membedakan antara
negara islam dan negara kafir. Imam atau pemerintah kaum muslimin boleh
memerangi suatu kaum (muslimin) yang tidak melaksanakan adzan, namun dalam
rangka hukuman ta’zir, bukan karena kaum tersebut sudah kafir dan keluar dari
Islam. Hal tersebut dilakukan karena adzan adalah salah satu tanda bahwa daerah
tersebut merupakan wilayah negeri Islam. Sehingga dahulu Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam ketika hendak memerangi suatu kaum, beliau menunggu hingga
datang waktu sholat. Jika beliau mendengar adzan, beliau tidak memerangi kaum
tersebut. Namun, apabila tidak mendengar adzan, mereka diperangi. (HR.
Bukhori).
7. Mengusir setan
Dengan adzan setan-setan akan
lari sebagai mana Rosululloh Sholallahu A’lahi wasallam bersabda,”Apabila adzan dikumandangkan, setan lari
terkentut-kentut sehingga dia tidak mendengarkan adzan. Apabila adzan telah
selesai, dia (setan) datang mengganggu seorang dalam hatinya, dia
membisikkan,’Ingatlah ini dan ingatlah itu, suatu hal yang tidak teringat
sebelumnya, hingga seorang hamba tidak mengetahui lagi berapa rokaat dia
sholat.” (HR. Bukhori dan Muslim)
8. Waktu yang utama untuk berdoa di antara adzan dan iqomah
Dari Anas bin Malik, Rosululloh Sholallahu A’lahi wasallam bersabda,”Doa antara adzan dan iqomah tidak tertolak (mustajab).” {HR.
Abu Dawud, dishohihkan Syaikh Al Albani}
9. Adzan termasuk kekhususan umat islam dan tidak di miliki oleh agama
lain
Keutamaan muaddzin (
tukang adzan)
1. Para muadzin merupakan orang yang paling panjang lehernya di hari
kiamat.
Dari Muawiyah Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,”Saya mendengar
Rosululloh Sholallahu
A’lahi wasallam bersabda,’Para muadzin adalah manusia yang paling
panjang lehernya pada hari kiamat.” {HR. Muslim}. Hal ini menunjukkan tentang
keutamaan dan kemuliaan mereka dibandingkan dengan yang lainnya pada hari
kiamat.
2. Sebab terampuninya dosa.
Dari Uqbah bin Amir Radhiallahu ‘anhu, Rosululloh Sholallahu A’lahi wasallam bersabda,“Rabb-mu merasa takjub terhadap seorang penggembala kambing di
puncak gunung, dia adzan dan sholat. Maka Allah berfirman,’Lihatlah hambaKu
ini, dia mengumandangkan adzan dan sholat karena takut kepadaKu. Sungguh Aku
telah mengampuni hambaKu dan Aku memasukkannya ke dalam surga” {HR. Abu Dawud,
dishohihkan Syaikh Al Albani}
3. Bahkan mendapatkan ampunan dari Allah sejauh suara muadzin
berkumandang, dan seluruh makhluk yang
ada di bumi membenarkannya.
Rosululloh Sholallahu A’lahi
wasallam bersabda "Sesungguhnya
Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat atas barisan terdepan , dan Muadzin
diberi ampunan sejauh suaranya serta dibenarkan oleh orang yang
mendengarkannya, baik yang masih basah maupun yang sudah kering. Dan baginya
pahala seperti pahala orang yang mengerjakan shalat
dengannya." (Hadits Shohih Riwayat Nasa'I dan Ahmad)
4. Mendapatkan do’a Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam
Rosululloh Sholallahu A’lahi
wasallam bersabda "Imam itu
bertanggung jawab. Sementara muadzin menjadi kepercayaan umat manusia.Ya Allah, berilah petunjuk kepada
para imam dan berilah ampunan kepada para muadzin. (Hadits Shohih Riwayat
Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Khuzaimah)
5. merupakan ucapan yang terindah
Karena maksud Dari
firman Allah Subahanahu wata’ala, “Dan
siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada
Allah…” (Fushilat: 33), adalah para muadzin.
Bid’ah-bid’ah seputar adzan
Landasan amal ibadah yang diterima oleh Allah ialah apabila pelakunya
muslim, hatinya ikhlas beramal karena Allah dan amalnya sesuai dengan sunnah
Rasulullah. Betapapun ikhlas niatnya karena Allah, tetapi jika amalnya tidak
ada tuntunan dari sunnah maka amalnya sia-sia. Sebaliknya, sekalipun amalan itu
benar menurut sunnah lagi banyak jumlahnya, tetapi jika hatinya riya’ maka
ditolak.
Adapun alasan orang yang mengatakan bahwa amal ibadah tetap diterima
selagi tidak ada larangan. Ini adalah kaidahnya orang yang tidak mengerti
sunnah sehagaimana yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Kaidah ini bertentangan
dengan sabda Nabi Sholallahu A’alahi wasallam: Barang siapa beramal suatu
amalan yang tidak ada petunjuk dari kami, maka amalan itu ditolak. (HR. Muslim:
1718).
Adzan merupakan ibadah, maka harus ada dalilnya dari al-Qur’an dan
as-Sunnah yang shohih. Oleh karena itu wajib bagi seorang muslim untuk
mengingkari setiap bentuk ibadah yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah yang shohih.
Pada masa sekarang ini, banyak mu’adzin yang melakukan berbagai amalan
yang tidak ada asalnya karena sudah dianggap sebagai sunnah dan suatu
kebenaran. Berikut ini beberapa contoh bid’ah seputar adzan yang populer
dinegeri kita:
1. Menabuh Beduk Sebelum Adzan adalah tasabbuh dengan budaya kafir
Fenomena bedug dan
kentongan di nusantara
Kalau kita perhatikan bedug
di nusantara ini maka kata akan dapati dihampir kebanyakan masjid masjid
kaum muslimin di hiyasi dengan bedug dan kentongan biasanya sebelum adzan
dikumandangkan mu’adzin terlebih dahulu memukul beduk atau kentongan beberapa
pukulan sebagai tanda masuk waktu shalat, padahal sebagaimana dimaklumi bersama
bahwa beduk adalah instrumen
musik tradisional atau alat musik yang sejak lama sudah di
gunakan untuk musik. Lantas pantaskan alat tersebut digunakan untuk memanggil
manusia untuk sholat, lantas apa bedanya masjid dengan gereja yang di penuhi
dengan alat musik? Tidak diragukan lagi bahwa penggunaan beduk sebelum
adzan termasuk kemungkaran dan kebid’ahan dalam agama, bahkan tasyabbuh dengan
orang-orang kafir. Perhatikan hadits berikut:
Dari Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih Radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
tatkala Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam. telah mengambil keputusan hendak memukul
naqus(lonceng), namun sebenarnya beliau tidak suka karena menyerupai kaum kafir
Nashara. maka pada waktu tidur malam aku bemimpi ada yang mengelilingiku,
seorang laki-laki mengenakan dua pakaian hijau memegang lonceng lalu aku
bertanya kepadanya, "Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng
itu?" Jawabnya, "Apa yang akan kamu perbuat dengan lonceng ini?"
Maka saya jawab, "Dengannya aku mengajak (orang-orang) untuk shalat
(jama'ah)." Kemudian laki-laki itu bertanya, "Maukah aku tunjukkan
kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada itu?" Saya jawab, "Ya,
tentu" Kata laki-laki itu, "Ucapkanlah:
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللَّهِ ، حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى
الصَّلاَةِ ، حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ ، اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّه
(Allah Maha Besar. Allah Maha
Besar, Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang
patut diibadahi) kecuali Allah, Aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut
diibadahi) kecuali Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, Aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. mari mengerjakan shalat
(berjama'ah), mari mengerjakan shalat (berjama'ah). Mari menuju kemenangan,
mari menuju kemenangan, Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, tiada Ilah (yang
patut diibadahi) selain Allah."
Abdullah bin Zaid melanjutkan ceritanya: Kemudian ia mundur tidak
seberapa jauh, lalu berkata lagi, "Kemudian apabila engkau akan memulai
mendirikan shalat, ucapkanlah
ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU
ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH, HAYYA ALASHSHALAAHI HAYYA ALAL FALAAH, QADQAMATISH
SHALAAH QADQAMATISH SHALAAH, ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH.
(Allah Maha Besar.
Allah Maha Besar, aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut dlibadahi) kecuali
Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, mari mengerjakan shalat
(berjama'ah), mari menuju kemenangan. Sesungguhnya shalat akan segera
ditegakkan, sesungguhnya shalat akan segera ditegakkan. Allah Maha Besar, Allah
Maha Besar, tiada Ilah (yang layak diibadahi) kecuali Allah)."
Kata Abdullah bin Zaid lagi: Tatkala (waktu) shubuh tiba saya datang
kepada Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam, lalu kukabarkan kepadanya mimpiku semalam itu.
Kernudian Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya mimpi ini adalah benar, insya
Allah." Lalu beliau menyuruh (kami) mengumandangkan adzan, maka Bilal
bekas budak Abu Bakar mengumandangkan adzan dengan redaksi adzan itu. "
(Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no:469, al-Fathur Rabbani III: 14 no: 244,
‘Aunul Ma'bud II: 169 no: 495, Tirmidzi I: 122 no: 189 secara ringkas, dan Ibnu
Majah I: 232 no: 706).
Riwayat yang lain Dari Abu ‘Umair bin Anas Radhiallahu ‘anhu dari bibinya yang
termasuk shahabiyah anshor, “Nabi Sholallahu A’lahi wasallam
memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada
beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah
bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang
berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun
Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai teropet. Nabipun
tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku
orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi
berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah
bin Zaid bin Abdi Robbihi pulang dalam kondisi memikirkan agar yang dipikirkan
Nabi. Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan.” (HR. Abu Daud, shahih)
Catatan hadits:
Dua hadits ini cukup untuk bantahan bagi pengguna bedug dan kentongan
sesaat sebelum adzan karena keduanya bukan adzan atau panggilan untuk shalat, tapi
keduanya hanyalah alat music yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Sholallahu A’alahi wasallam dan para sahabatnya bahkan jelas-jelas Nabi Sholallahu A’alahi wasallam melarang dan menganggap menyerupai dengan orang-orang kafir.
Asal-usul bedug
Sejarah bedug konon telah digunakan
sejak jaman Majapahit.
Disebutkan pula kehadiran bedug di nusantara dikaitkan dengan pemberian Laksamana Cheng Ho kepada salah satu raja di
jawa ketika beliau meninggalkan pulau Jawa. Sejak itu, bedug menjadi komponen
penting ‘kekayaan’ milik masjid sebagai tempat peribadatan umat muslim di
Indonesia.
Bahkan
bedug ini, konon di awal kelahiran bersinggungan dengan budaya Cina karena yang paling banyak menggunakan
bedug adalah mereka terutama di kuil-kuil agama budha di daratan cina, hampir semuanya di penuhi dengan bedug, maka
jelas tidak dapat diidentikkan dengan bagian budaya Islam. Sehingga, bedug
dapat dipahami merupakan bentuk asimilasi budaya terhadap Islam dan tidak bisa
dikatakan sebagai ciri Islam apalagi termasuk ajaran islam bahkan bisa di
katakana bahwa bedug adalah bentuk tasabbuh dengan kuffar karena merupakan
kehususan mereka, sekalipun banyak masjid dijumpai memiliki instrumen pukul
ini.
Sayangnya di tanah air, akan dipandang
kurang lengkap apabila sebuah masjid tidak memiliki bedug. Bukan hanya
kelengkapan masjid di kampung saja, bedug pun menjadi ‘harta’ sejumlah masjid
agung di berbagai kota besar Indonesia. Sehingga mustahil tempat ibadat selain
masjid menggunakan bedug, padahal di Thailand, justeru bedug digunakan dalam
menara tiga lantai yang dimiliki kuil.
Bedug di kuil-kuil yang ditemukan di
Thailand diletakkan di lantai dua menara, sedangkan lantai satu diletakkan
kentongan dan lantai tiga digunakan untuk lonceng.
Kalau ada yang mengatakan apa bedanya
pengeras suara dengan bedug, kenapa bedug di larang sementara pengeras suara di
perbolehkan bukankah keduanya tidak ada di zaman Rasulullah?
Maka jawabannya adalah pengeras suara
sejalan dengan tujuan adzan karena tujuan adzan sebagai mana yang di
definisikan oleh para ulama adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat, dahulu
para mudzin Rasulullah seperti bilal dan yang lainnya mengumandangkan adzan
dari atas masjid sebab tujuannya adalah meperdengarkan adzan tersebut kepada
masyarakat di sekitar masjid, dimana semakin muadzin adzan di temapat yang
tinggi semakin terdengar suaranya kehalayak ramai, dan sekarang sudah di
cukupkan dengan adanya penyambung suara atau lebih di kenal dengan pengeras
suara, adapun bedug dan kentongan tidak menjadi penyambung suara adzan atau
pengeras suara bagi adzan bahkan bedug memiliki suara tersendiri dan menyerupai
alat music dan rasulullah telah melarang alat yang semisal bedug seperti
kentongan dan terompet karena hal ini akan menyerupai orang yahudi dan nasrani
maka jelaslah perbedaanya.
Bahaya tasyabbuh
(menyerupai ) orang kafir
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat
sebuah hadits dari Abu Said al Khudri Radhiallahu
‘anhu dari Nabi Sholallahu A’lahi wasallam . Beliau bersabda:
“Sungguh kalian akan mengikuti perilaku
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam lobang biawak gurun tentu kalian akan
mengikutinya.”
Berita yang Nabi Sholallahu A’alahi wasallam sampaikan dalam hadits ini mengandung makna peringatan agar tidak melakukan penyerupaan dengan orang-orang kafir dan larangan agar tidak terjerumus dalam kebinasaan.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2695)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.
(HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah: 1/676)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata (setelah membawakan
hadits diatas,
“Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya
tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan
kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”(Lihat Al-Iqtidha` hal. 83)
Hikmah
Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Menyelisihi orang-orang kafir mempunyai hikmah yang
sangat besar bagi ummat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang zhahir
(penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman.
Dengan itu akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari
perbuatan-perbuatan para penghuni neraka tersebut.
2. Bahwasanya cara yang mereka miliki tidak keluar dari
dua keadaan: merusak islam atau melemahkan islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama
Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya
Rasulullah.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara
seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan
yang lainnya. (Diringkas dari Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/197, 198, 209
dan 365)
2.Memutar kaset Murottal al-Qur’an, Dzikir dan Sholawatan Sebelum
Shalat.
Dalam banyak masjid, biasanya beberapa menit sebelum adzan, khususnya sholat
Subuh dan sholat Jum’at, diputar terlebih dahulu murottal al-Qur’an.
Dzikr-dzikir atau sholawat-sholawat sebagai pengantar adzan dan peringatan
kepada manusia bahwa adzan telah dekat.
Hal ini sekalipun dipandang baik oleh perasaan banyak orang, akan tetapi
tidak ada dalilnya dari al-Qur’an, hadits dan amalan generasi salaf sholih,
bahkan tergolong perkara baru dan bid’ah dalam agama. Para ulama telah
menghukumi hal ini termasuk perbuatan munkar dan bid’ah. al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata: “Apa yang diada-adakan dari tasbih sebelum Subuh dan
Jum’at serta ‘sholawatan’, bukanlah termasuk adzan baik secara bahasa maupun
secara syar’i.” (Fathul Bari’: IIII 2/99)
Lantas, bagaimana lagi kiranya bila hal itu dengan menggunakan pengeras
suara?!! Bukankah itu berdampak negatif bagi orang yang mau menggunakan
akalnya?
3. Membaca sholawat sebelum adzan
Ini adalah perbuatan bid’ah dalam islam
dan tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam dan para sahabanya bahkan yang disunnahkan
sebenarnya adalah membaca sholawat
setelah adzan, dalilnya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru
bin Ash Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah shollahu 'alahi wasallam bersabda ; “Jika kalian mendengar suara adzan,
maka bacalah seperti apa yang dibaca muadzin, kemudian bacalah sholawat
untuk-ku, sesungguhnya barang siapa yang bersholawat kepadaku sekali, maka
Allah akan bersholawat kepadanya sepuluh kali. “( HR Muslim )
Adapun cara membaca sholawat hendaknya
pelan-pelan, tidak usah keras-keras seperti membaca adzan.
4. Mengeraskan Sholawat Setelah Adzan
Seringkali
kita dengar di surau atau masjid setelah dikumandangkannya adzan, muadzin
membaca shalawat dengan suara yang keras. Bahkan ada yang dengan nada yang mendayu-mendayu
ketika membaca shalawat seperti seolah-olah di sedang menyanyi seperti shalawat nariyah dan yang lainnya. Barangkali kita
pernah mendengar pula bahwa ada anjuran membaca shalawat dan meminta wasilah
bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dari
Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ
صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى
الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ
أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kalian mendengar mu’adzin, maka
ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu bershalawatlah
kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, Allah
akan bershalawat kepadanya sebanyak 10x. Kemudian mintalah pada Allah wasilah
bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga. Tidaklah layak
mendapatkan kedudukan tersebut kecuali untuk satu orang di antara hamba Allah.
Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah untukku, dia berhak
mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 875)
Dari hadits di atas jelas bahwa
ada tuntunan bershalawat dan meminat wasilah bagi beliau setelah adzan. Dari
sinilah sebagian muadzin berdalil akan agungnya amalan shalawat setelah adzan
sampai-sampai dikeraskan dengan pengeras suara.
Perlu
diketahui bahwa amalan mengeraskan suara setelah kumandang adzan telah dibahas
oleh para ulama akan kelirunya dan digolongkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bukan
bid’ah hasanah). Kita dapat menemukan pernyataan tersebut, di antaranya dalam
perkataan Syaikh Sayyid Sabiq –rahimahullah-
yang mungkin saja di antara kita telah memiliki atau membaca buku fiqih karya
beliau, yakni Fiqih Sunnah.
Syaikh
Sayyid Sabiq –rahimahullah-
berkata,
"Mengeraskan
bacaan shalawat dan salam bagi Rasul setelah adzan adalah sesuatu yang tidak dianjurkan. Bahkan amalan tersebut
termasuk dalam bid’ah yang
terlarang. Ibnu Hajar berkata dalam Al Fatawa Al Kubro, “Para guru kami dan selainnya telah
menfatwakan bahwa shalawat dan salam setelah kumandang adzan dan bacaan
tersebut dengan dikeraskan sebagaimana ucapan adzan yang diucapkan muadzin,
maka mereka katakan bahwa shalawat memang ada sunnahnya, namun cara yang
dilakukan tergolong dalam bid’ah. “
Syaikh
Muhammad Mufti Ad Diyar Al Mishriyah ditanya mengenai shalawat dan salam
setelah adzan (dengan dikeraskan). Beliau rahimahullah menjawab, “Sebagaimana disebutkan dalam
kitab Al Khoniyyah bahwa
adzan tidak terdapat pada selain shalat wajib. Adzan itu ada 15 kalimat dan
ucapkan akhirnya adalah “Laa ilaha illallah”. Adapun ucapan yang disebutkan
sebelum atau sesudah adzan (dengan suara keras sebagaimana adzan), maka
itu tergolong dalam amalan yang
tidak ada asal usulnya (baca: bid’ah). Kekeliruan tersebut dibuat-buat
bukan untuk tujuan tertentu. Tidak ada satu pun di antara para ulama yang
mengatakan bolehnya ucapan keliru semacam itu. Tidak perlu lagi seseorang menyatakan bahwa amalan itu
termasuk bid’ah hasanah. Karena setiap bid’ah dalam ibadah seperti
contoh ini, maka itu termasuk bid’ah yang jelek (bukan bid’ah
hasanah, tetapi masuk bid’ah sayyi-ah, bid’ah yang jelek). Siapa yang klaim
bahwa seperti ini bukan amalan yang keliru, maka ia berdusta.” (Berakhir
nukilan dari Syaikh Sayyid Sabiq)
Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah berkata: “Guru-guru kami dan selain
mereka telah ditanya tentang sholawatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam setelah adzan seperti yang biasa dilakukan mayoritas mu’adzin. Mereka
semua memfatwakan bahwa asalnya adalah sunnah tetapi kaifiyah (tata cara) yang
digunakannya adalah bid’ah.” Lanjutnya, “Hal itu karena adzan merupakan syiar
Islam yang dinukil secara mutawatir sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan kata-katanya telah terhimpun dalam kitab-kitab hadits dan fiqih,
disepakati oleh para imam kaum muslimin dari Ahli Sunnah wa Jama’ah. Adapun
tambahan sholawat dan salam di akhirnya, maka itu merupakan kebid’ahan yang
dibuat-buat oleh orang-orang belakangan.” (Al-Fatawa al-Kubro al-Fiqhiyyah: 1/191)
Adapun do’a
sesudah adzan yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ajarkan sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut. Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ
الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ
وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ
لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mengucapkan setelah mendengar adzan
‘Allahumma robba hadzihid da’watit taammati wash sholatil qoo-imah, aati
Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa
‘adtah’ [Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid),
shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang
tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau
sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan
padanya], maka dia akan mendapatkan syafa’atku kelak.” (HR.Bukhari no. 614 ). Namun
sekali lagi bacaan do'a adzan ini tidak perlu dikeraskan setelah adzan dengan
pengeras suara agar tidak membuat rancu dan tidak membuat orang salah
menganggap itu masih lafazh adzan.
5. Puji-pujian
dengan bahasa jawa dan yang lainnya setelah adzan
Puji-pujian berasal dari bahasa Jawa yang artinya sanjungan
hamba kepada Allah ta’ala, biasanya orang-orang jawa melantunkan puji-pujian
dengan bahasa mereka lalu dijadikan
sebagai istilah khusus masyarakat jawa yang biasanya dilakukan setelah adzan
sebelum shalat berjama’ah dilaksanakan, hal ini tentu sangat bertentangan
dengan hadits-hadits berikut:
Dari Anas Radhiallahu
‘anhu bersabda Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam : Tidak akan di tolak doa di antara adzan dan iqamah”.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi, An.Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Dalam riwayat yang lain dari Anas Radhiallahu ‘anhu bersabda Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam : Doa diantara adzan dan iqamah itu dikabulkan, maka berdoalah kalian”. (HR. Abu Ya’la).
Dua hadits ini cukup menjelaskan kepada kita bahwa yang
di suruh adalah berdo’a bukan melakukan piji-pujian terlebih kalau sampai
mengganggu yang sedang melaksanakan shalat sunnah tentu hal ini lebih di larang
lagi , jadi kesimpulannya puji-pujian adalah bid’ah yang tidak pernah di
contohkan Rasulullah Sholallahu A’alahi wasallam dan para sahabatnya jadi yang Disunnahkan
antara adzan dan iqamat adalah banyak berdo’a, karena waktu antara adzan dan
iqamat adalah waktu mustajab, Begitu juga disunnahkan untuk memperbanyak sholat
sunnah atau berdzikir serta membaca Al Qur’an. Semua itu dilakukan
sendiri-sendiri dengan suara pelan sehingga tidak mengganggu jama’ah yang lain. Dalilnya, dari Anas bin
Malik, Rasulullah berkata kepada seorang arab Badui yang kencing di masjid:
Sesungguhnya masjid ini tidak dibenarkan sedikitpun untuk kencing, dan tidak
boleh untuk sesuatu yang najis. Tetapi untuk dzikir kepada Allah & shalat
dan membaca Al-Quran. (HR. Muslim no 285).
Lembaga Ulama Saudi Arabia menjawab pertanyaan bolehkah melantunkan
anasyid (pujian-pujian (seperti lagu lagu dan semisalnya ) di masjid:
"Tidak dibolehkan melantunkan anasyid, pujian dan semisalnya di masjid,
karena masjid diperuntukkan untuk shalat, berdzikir kepada Allah, bertasbih,
bertahmid, bertahlil, bertakbir dm memhaca Al-Qur’an, mengajar dan memheri
fatwa". (Lihat Fatwa Allajnah Ad Daimah 6/304)
6. Membaca basmalah dan
tawwudz sebelum adzan
Tentang hal ini Al Lajnah
Ad Daimah li Al Buhuts Al Ilmiyah wa Al Ifta Telah menfatwakan akan bid’ahnya
hal tesebut:
Perbuatan tertolak (bid’ah) yang
pertama : Ta’awwudz dan basmalah sebelum adzan
Al Lajnah Ad Daimah li Al Buhuts Al Ilmiyah wa Al Ifta ditanya tentang ta’awwudz dan basmalah sebelum adzan. Maka jawabannya : Kami tidak mendapatkan dasar hukumnya yang menunjukkan ta’awwudz dan basmalah sebelum adzan adalah masyru’ (disyariatkan). Tidak hanya berkenaan dengan pelantun adzan atau orang yang mendengarkannya. Telah jelas dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda :
Al Lajnah Ad Daimah li Al Buhuts Al Ilmiyah wa Al Ifta ditanya tentang ta’awwudz dan basmalah sebelum adzan. Maka jawabannya : Kami tidak mendapatkan dasar hukumnya yang menunjukkan ta’awwudz dan basmalah sebelum adzan adalah masyru’ (disyariatkan). Tidak hanya berkenaan dengan pelantun adzan atau orang yang mendengarkannya. Telah jelas dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda :
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan
yang tidak ada perintah (syariat) dari kami, maka amalan itu tertolak” (Muslim)
“Barangsiapa mengada-adakan dalam
urusan (agama) kami ini sesuatu yang tidak ada dalil didalamnya, maka ia
tertolak” (Bukhari dan Muslim)
Hanya disisi Allahlah taufik. Semoga
Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad
shallallahu’alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.
(Al Lajnah Ad Daimah li Al Buhuts Al Ilmiyah wa Al Ifta)
(Al Lajnah Ad Daimah li Al Buhuts Al Ilmiyah wa Al Ifta)
7. tidak membaca “alaa sholluu firrihaal” ketahuilah,
sholatlah di rumah-rumah’) sewaktu hujan deras
Banyak diantara para
muadzin yang meninggalkan sunnahnya lafadz (alaa sholluu firrihaal, ‘ketahuilah, sholatlah di
rumah-rumah’) ini di sebabkan karena jahilnya para muadzin terhadap hokum-hukum
adzan padahala jika sedang turun hujan atau pada keadaan malam yang sangat
dingin, seorang muadzin diperintahkan untuk mengganti/menambah lafadz adzan.
Dari Nafi’,”Bahwasannya Ibnu Umar beradzan untuk sholat pada waktu malam yang
sangat dingin dan adanya angin kencang, kemudian beliau mengucapkan (alaa
sholluu firrihaal, ‘ketahuilah, sholatlah di rumah-rumah’) –tatkala beliau
selesai adzan-. Lalu beliau berkata,’Sesungguhnya Rosulullah memerintahkan
muadzin untuk mengucapkan (alaa sholluu firrihaal) ketika malam yang sangat
dingin atau sedang turun hujan’”. (HR. Bukhari-Muslim). Pengucapan (alaa
sholluu firrihaal) boleh dilakukan setelah adzan, sesudah lafadz (laa ilaaha
illalloh) (HR. Muslim dari Ibnu Umar), atau dibaca 2 kali setelah lafadz
(asyhadu anna muhammadar rasulullooh) sebagai pengganti lafadz (hayya ‘alas
sholaah). (HR. Muslim 1602 dari Ibnu Abbas)
Alasan yang paling kuat dari para pelaku bid’ah tersebut adalah bahwa
perkara-perkara tersebut termasuk kedalam bid’ah hasanah
Maka kita katakan
Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam telah bersabda yang artinya: “Adapun
sesudah itu maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad Sholallahu A’alahi wasallam,
dan tali ikatan yang paling kokoh ialah ikatan taqwa, dan berhati-hatilah kamu
terhadap perkara-perkara yang baru (dalam Agama), karena sesungguhnya setiap
perkara yang baru (dalam Agama) itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, dan
setiap kesesatan itu tempatnya di neraka”.
Tidak ada bid’ah hasanah
Berdasarkan
hadits diatas, maka sesungguhnya seluruh bid’ah adalah sesat tidak ada bid’ah
hasanah. Karena Agama Islam sudah sempurna di masa hidup nabi. dan dia tidak
memerlukan tambahan dari siapapun juga. Allah ta’ala berfirman :
“Pada hari ini
telah Ku sempurnakan bagimu Agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan
telah Ku ridhai Islam sebagai Agamamu”. Q.S Al Maidah:03
Imam
Malik bin Anas berkata:
“Barangsiapa
mengada-adakan suatu bid’ah dalam Islam, yang ia memandang bid’ah itu hasanah,
maka sesungguhnya ia telah mangira bahwa Muhammad telah berkhianat atas risalah
Tuhan, karena sesungguhnya Allah telah berfirman: ‘Pada hari ini Aku telah
menyempurnakan bagi kamu agama kamu.’ Maka apa-apa yang tidak jadi agama pada
hari itu, tidaklah menjadi agama pada hari ini.”
Berkata
Sahabat Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhu:
“Tiap-tiap
bid’ah itu sesat, sekalipun manusia memandangnya baik.”
Ibnu Mas’ud Radhiallahu
‘anhu berkata: “Ber’ittiba’lah kamu kepada Rasulullah dan janganlah kamu ber
ibtida’ (mengada-ada tanpa dalil), karena sesungguhnya agama ini telah
dijadikan cukup buat kalian, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”.
Ibnu Rajab
berkata: “Perkataan beliau “setiap bid’ah itu adalah kesesatan” merupakan
‘jawaami’ul kalim’ (suatu kalimat yang ringkas namun memiliki arti yang sangat
luas) yang meliputi segala sesuatu. Kalimat itu merupakan salah satu dari
pokok-pokok ajaran agama yang agung.
Ibnu Hajar
berkata: “Perkataan beliau ‘setiap bid’ah adalah kesesatan’, merupakan suatu
kaidah agama yang menyeluruh, baik itu secara tersurat maupun tersirat. Adapun
secara tersurat, maka seakan-akan beliau bersabda : “Hal ini bid’ah hukumnya
dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”, sehingga ia tidak termasuk dari bagian
agama ini, sebab agama ini seluruhnya petunjuk. Oleh sebab itu maka apabila
telah terbukti bahwa suatu hal tertentu hukumnya bid’ah, maka berlakulah dua
dasar hukum itu (setiap bid’ah sesat dan setiap kesesatan bukan dari agama),
sehingga kesimpulannya adalah tertolak.
BAHAYA BID’AH BAGI UMAT ISLAM
“Dari
Ghudaif bin Al Harits Radhiallahu ‘anhu.
berkata : Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam.
bersabda : “Tidak mengada-adakan suatu kaum akan suatu bid’ah, melainkan diangkatlah
semisalnya daripada sunnah, maka berpegang dengan sunnah itu lebih baik
daripada
mengada-adakan bid’ah” (H.R.Ahmad)
Dan
dari (Ghudaif) juga ia berkata: Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam. bersabda: “Tidak ada dari suatu
umat mengadakan suatu bid’ah sesudah nabinya dibidang agamanya, melainkan ia
melenyapkan semisalnya daripada sunah (H.R. Thabrani)
Dari
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu.
Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam.
bersabda : “Tidak akan lenyap sesuatu daripada sunnah, sehingga tampaklah yang
semisalnya daripada bid’ah, sehingga lenyaplah sunnah dan tampaklah bid’ah,
sehingga dianggap cukuplah bid’ah itu bagi orang yang tidak mengenal sunnah.”
(H.R. Ibnul Jauzi)
Dari
ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu.
berkata: Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam bersabda
: “Sesungguhnya dimasa kemudian aku akan ada peperangan diantara orang-orang
beriman”. Seorang sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang yang beriman)
memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata : “Kami telah
beriman.” Rasulullah s.a.w bersabda: “Ya, karena mengada-adakan didalam agama,
apabila mereka mengerjakan agama dengan pendapat fikiran, padahal didalam agama
itu tidak ada pendapat fikiran. Sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintahNya,
dan laranganNya…”.
BAHAYA BID’AH BAGI PELAKUNYA
Dari
Aisyah Radhiallahu ‘anha
berkata: Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam
bersabda: “barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang bukan perintah kami
maka ia tertolak.” Dan dalam riwayat lain : “Barangsiapa mengada-adakan dalam
perintah kami ini yang bukan daripadanya, maka ia tertolak.” (H.R. Bukhari,
Muslim dan Ahmad)
Dari
Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhu
berkata: Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam pernah
bersabda : “Allah enggan akan menerima amal perbuatan orang yang ahli bid’ah,
sehingga ia meninggalkan bid’ahnya.” (H.R. Ibnu Majah)
Dari
Hudzaifah Radhiallahu ‘anhu
berkata: Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam pernah
bersabda: “Allah tidak akan menerima bagi orang yang ahli bid’ah akan
shalatnya, puasanya, shadaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya,
dantidak akan menerima tebusannya. Ia keluar dari Islam seperti keluarnya helai
rambut daripada tepung.” (H.R. Ibnu Majah)
Dari
Anas Radhiallahu ‘anhu
berkata: Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam pernah
bersabda : “Sesungguhnya Allah menutup taubat dari tiap-tiap orang dari ahli
bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya.” H. R. Thabrani
Dari
Anas Radhiallahu ‘anhu berkata;
Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam mengantuk
sebentar, lalu mengangkat kepalanya dengan tersenyum kemudian bersabda:
“Sesungguhnya baru saja diturunkan kepadaku satu surat.” Beliau lalu membaca
“Bismillaahirrahmaanirrahiim” Innaa a’thainaakal kautsar.” (Sesungguhnya Kami
telah memberikan kepada engkau (Muhammad) alkautsar). Beliau membacanya hingga
selesai satu surat. Beliau bersbda: “Al Kautsar itu sebuah sungai yang Tuhanku
telah memberikannya kepadaku didalam syurga yang diatasnya ada beberapa
kebaikan, kelak hari Kiamat Ummaku akan datang kepadanya. Alat-alat
mengambilnya (bejana) seperti banyaknya bintang-bintang, seorang hamba dari
ummatku terjauh dari mereka (umat), lalu aku berkata: “Ya Tuhan sesungguhnya
dia adalah ummatku!”. Lalu dikatakan kepada belaiu: “Sesungguhnya engkau tidak
mengetahui apa yang telah diada-adakannya sepeninggalmu.” (H.R. Ibnu Abi
Syaibah dan Ibnu Jarir At thabari)
Dari
al Hakam bin Umair Radhiallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam pernah
bersabda: “Perkara yang sangat jelek, dan beban yang amat berat dan perbuatan
jahat yang tidak putusnya telah menampakkan beberapa perbuatan bidah.” (H.R. At
Thabrani)
Dari
Anas Radiallahu A’nhu berkata, Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam pernah bersabda: “Barangsiapa yang
mengicuh umatku, maka murka Allah kepadanya, dan murka malaikat, dan murka
segenap manusia.” Beliau ditanya: “Ya Rasulullah, apa yang dinamakan mengicuh?”
beliau menjawab: bahwa ia berbuat bid’ah kepada mereka suatu bid’ah lalu
dikerjakannya.”( H.R. Ad Daruqutni)
Dari
Abu Hurairah. berkata, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Akan datang suatu
kaum yang akan membunuh sunnah dan berlebihan tentang agama,maka atas mereka
itu la’nat Allah dan la’nat orang-orang yang melaknat, dan la’nat malaikat
serta la’nat segenap manusia”.( H.R. ad Dailami)
Dari
Abi Umamah Radiallahu A’nhu berkata, Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam pernah bersabda: Ahli-ahli bid’ah
itu anjing-anjing neraka.” (H.R Abu Hatim)
Dari
Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Sholallahu A’lahi
wasallam pernah bersabda: “Bukan dari Ummatku
barangsiapa yang beramal bukan dari sunnahku”.(H.R Ad Dailami)
Dari
Aisyah Radiallahu A’nha berkata, Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam pernah bersabda: “sesungguhnya
agama islam itu akan berkembang, kemudian akan ada padanya keterlambatan, maka
barangsiapa yang keterlambatannya melebihi batas dan bid’ah, maka mereka itu
ahli neraka.”( H.R Thabrani)
Dari
Anas Radiallahu A’nhu berkata, Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam pernah bersabda: “Ahli bid’ah itu
seburuk-buruk makhluk dan seburuk-buruk yang diciptakan”. (H.R Abu Nu’aim)
Dari
Abdullah bin Busyr Radiallahu A’nhu berkata, Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam pernah bersabda:
“Barangsiapa menghormati seorang ahli bid’ah maka sesungguhnya ia telah
menolong untuk kehancuran agama islam.” (H.R Thabrani)
Dari
Anas Radiallahu A’nhu berkata, Rasulullah Sholallahu
A’lahi wasallam. pernah bersabda: “Apabila mati
seorang ahli bid’ah, maka sesungguhnya telah dibukalah (menanglah) didalam
Islam suatu kemenangan”.( H.R. Al Khatib dan Ad Dailami)
8. Adzan Di Kuburan
Syaikh Abdullah bin baz di Tanya tentang Apa hukum
adzan dan qamat di kuburan untuk
simayyit setelah jenazah diletakkan?
Jawab: Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan tersebut
adalah bid’ah, tidak ada keterangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’aala? Karena
perbuatan tersebut tidak pernah dinukil dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam dan tidak pula dari para shahabatnya Radhiyallahu ‘Anhu. Dan kebaikan
seluruhnya terdapat pada mengikuti ajaran mereka dan meniti jejak mereka.
Seperti yang Allah Subhanahu Wa Ta’aala firmankan,
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:100)
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. 9:100)
Dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa membuat-buat di dalam ajaran ini perkara-perkara yang bukan darinya maka ia tertolak” Muttafaqun ‘Alaihi.
Dan pada lafal yang lain, Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada
keterangannya dari kami maka ia tertolak”. Dan dahulu Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam mengatakan di dalam khutbah Jum’atnya, “Amma ba’du:
Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan seburuk-buruknya
perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR
Muslim di dalam Shahihnya dari Jabir Radhiyallahu ‘Anhu. (Majmu' Fatawa wal Maqalaat Jilid 13)
Ibnu Hajar al Haitsami pernah ditanya tentang hukum adzan dan iqomat
tatkala membuka liang lahad lalu Ibnu Hajar menjawab bahwa hal itu adalah
bid’ah. Siapa saja yang menganggap bahwa adzan dan iqomat tatkala turun ke
kuburan adalah sunnah dengan mengqiyaskannya dengan disunnahkannya adzan dan
iqomat terhadap bayi yang baru dilahirkan serta dengan alasan bahwa akhir suatu
perkara mengikuti awalnya maka ini adalah pernyataan yang salah. Betapa banyak
sesuatu yang menyatukan antara dua perkara dan sebatas bahwa begini diawalnya
dan begitu di akhirnya sesungguhnya tidak mengharuskan yang akhir mengikuti
yang awal. (Fatawa al Fiqhiyah al Kubro juz III hal 166).
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah Radiallahu
A’nha berkata : Rasulullah Sholallahu A’lahi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang membuat hal yang baru didalam perkara kami
ini maka hal itu tertolak.”
Adapun hadits yang berbunyi: “mayit masih mendengar
adzan selama kuburnya belum ditimbun tanah.” (HR. Ad-Dailami dalamMusnad Al-Firdaus dari Ibnu Mas’ud)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: ““Sanadnya
batil, karena ia termasuk riwayat Muhammad bin Al-Qasim, di mana dia telah
dicap sebagai pemalsu hadits.” (At-Talkhish
Al-Habir/792)
Perkataan Ibnu Hajar ini dinukil oleh Asy-Syaukani
dalam Nailul Authar dan
Al-Mubarakfuri dalamTuhfatul Ahwadzi.
Hadits ini dimasukkan sebagai hadits maudhu’ oleh
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at dan As-Suyuthi dalam Al-La`ali
Al-Mashnu’ah.
Ibnul jauzi berkata tentang (sanad) hadits ini, “Ini
adalah hadits maudhu’ (palsu/dibuat-buat) atas Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam yang di
dalamnya terdapat beberapa masalah. Adapun Al-Hasan, dia tidak mendengar dari
Ibnu Mas’ud. Sedangkan Katsir bin Syinzhir, Yahya berkata; Dia bukan apa-apa.
Sementara Abu Muqatil, kata Ibnu Mahdi; Demi Allah, tidak halal riwayat
darinya. Meski begitu, yang tertuduh sebagai pemalsu hadits ini adalah Muhammad
bin Al-Qasim, karena dia terkenal dalam barisan para pendusta dan pemalsu
hadits. Abu Abdillah Al-Hakim berkata; Dia itu memalsu hadits.” (Al-Maudhu’at III/238)
Dalam Al-La`ali Al-Mashnu’ah [II/365], Jalaluddin As-Suyuthi
mengatakan kurang lebih sama dengan yang dikatakan Ibnul Jauzi.
Pandangan madzhab tentang hukum adzan dan iqomah di
kuburan
Menurut madzhab Hanafi
Ibnu Abidin berkata: “Bahwasanya tidak disunnahkan
adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan
sekarang.” [Hasyiyah Raddil Muhtar II/255]
Madzhab Maliki
Disebutkan dalam “Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil” : “Dan
(disebutkan) dalam Fatawa al-Ashbahi; Apakah terdapat
khabar (hadits) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur?
Jawabnya; Saya tidak mengetahui adanya khabar maupun atsar dalam hal ini
kecuali apa yang diceritakan dari sebagian muta`akhirin. Dan barangkali ia
adalah analogi dari disukainya adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir.
Sebab, kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah
awal keluar dari dunia. Tetapi ada kelemahan dalam hal ini, karena yang semacam
ini tidak bisa dijadikan pegangan kecuali dengan cara tauqifi.”
Madzhab Syafi’i
Ad-Dimyathi berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya tidak
disunnahkan adzan pada saat (mayit) dimasukkan ke kubur, berbeda dengan orang
yang mengatakan demikian karena mengqiyaskan keluarnya (seseorang) dari dunia
dengan masuknya (seseorang) ke dalam dunia.” [I’anatuth Thalibin I/268]
Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili berkata dalam bab adzan untuk selain shalat,
“Dan tidak disunnahkan (adzan) pada saat memasukkan mayit ke dalam kubur, menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i.” [Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh]
Madzhab Hambali
“Dan tidak disunnahkan (adzan) pada saat memasukkan mayit ke dalam kubur, menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i.” [Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh]
Madzhab Hambali
Ibnu Qudamah berkata,:”Umat sepakat bahwa adzan dan
iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan
untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan
(masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada
selainnya.” [Asy-Syarh Al-Kabir I/388].
9. Adzan di telinga bayi
Sungguh suatu kebahagiaan jika kita mendapati kaum muslimin di dalam
setiap aktivitas ibadahnya kepada Allah swt berlandaskan dalil, baik Al Qur’an
maupun As Sunnah, sehingga akan terpelihara dari kesesatan dan kesalahan, namun
bukan hanya sekedar ada dalil saja namun juga keshahihan dalil itu juga bagian
dari di terima dan tidaknya suatu amalan, ada anggapan di tengah-tengah
masyarakat tentang adzan kepada bayi yang baru di lahirkan bahwa hal itu adalah
sebuah kebaikan dan di syari’atkan, namun setelah kami periksa ternyata semua
dalil-dalilnya adalah lemah perhatikan beberapa uraian di bawah ini:
1. Hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
“Saya melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali -seperti azan
shalat- tatkala beliau dilahirkan oleh Fathimah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6/391-392), Ath-Thoyalisy (970), Abu Daud (5105), At-Tirmidzy (1514), Al-Baihaqy (9/305) dan dalam Asy-Syu’ab (8617, 8618), Ath-Thobrony (931, 2578) dan dalam Ad-Du’a` (2/944), Al-Hakim (3/179), Al-Bazzar (9/325), Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (11/273), dan Ar-Ruyany dalam Al-Musnad (1/455). Semuanya dari jalan Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ -radhiyallahu ‘anhu-.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thobrany (926, 2579) tapi dari jalan Hammad bin Syu’aib dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ali ibnul Husain dari Abi Rafi’ dengan lafadz:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (6/391-392), Ath-Thoyalisy (970), Abu Daud (5105), At-Tirmidzy (1514), Al-Baihaqy (9/305) dan dalam Asy-Syu’ab (8617, 8618), Ath-Thobrony (931, 2578) dan dalam Ad-Du’a` (2/944), Al-Hakim (3/179), Al-Bazzar (9/325), Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (11/273), dan Ar-Ruyany dalam Al-Musnad (1/455). Semuanya dari jalan Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah bin ‘Ashim dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abi Rafi’ -radhiyallahu ‘anhu-.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thobrany (926, 2579) tapi dari jalan Hammad bin Syu’aib dari ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ali ibnul Husain dari Abi Rafi’ dengan lafadz:
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu
‘anhuma- tatkala keduanya lahir, dan beliau memerintahkan hal tersebut”.
Maka dari jalan ini kita bisa melihat bahwa Hammad bin Syu’aib
menyelisihi Sufyan Ats-Tsaury dengan menambah dua lafadz; “dan Al-Husain” dan
“beliau memerintahkan hal tersebut”.
Akan tetapi jalan Hammad -termasuk kedua lafadz tambahannya- adalah mungkar, karena Hammad bin Syu’aib telah menyelisihi Sufyan padahal dia (Hammad) adalah seorang rowi yang sangat lemah. Yahya bin Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya (arab: laisa bisyay`in)”. Imam Al-Bukhary berkata dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/25), “Hammad bin Syu’aib At-Taimy, Abu Syu’aib Al-Hummany …, ada kritikan padanya (arab: fiihi nazhor)(2)”. Al-Haitsamy berkata mengomentari riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/60), “Ath-Thobrony meriwayatkannya dalam Al-Kabir sedang di dalamnya ada terdapat Hammad bin Syu’aib, dan dia adalah rowi yang sangat lemah”.(3)
Kita kembali ke jalan Sufyan Ats-Tsaury. Di dalamnya sanadnya ada ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dan dia juga adalah rowi yang sangat lemah. Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata, “Mungkar haditsnya dan goncang haditsnya”. Imam Ahmad berkata dari Sufyan ibnu ‘Uyainah (beliau) berkata, “Saya melihat para masyaikh (guru-guru) menjauhi hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. ‘Ali ibnul Madiny berkata, “Saya melihat ‘Abdurrahman bin Mahdy mengingkari dengan sangat keras hadits-hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang diingkari atas ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, sebagaimana dalam Mizanul I’tidal (4/8). Lihat juga Al-Jarh wat Ta’dil (6/347) karya Ibnu Abi Hatim dan Al-Kamil (5/225).
Akan tetapi jalan Hammad -termasuk kedua lafadz tambahannya- adalah mungkar, karena Hammad bin Syu’aib telah menyelisihi Sufyan padahal dia (Hammad) adalah seorang rowi yang sangat lemah. Yahya bin Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya (arab: laisa bisyay`in)”. Imam Al-Bukhary berkata dalam At-Tarikh Al-Kabir (3/25), “Hammad bin Syu’aib At-Taimy, Abu Syu’aib Al-Hummany …, ada kritikan padanya (arab: fiihi nazhor)(2)”. Al-Haitsamy berkata mengomentari riwayat ini dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/60), “Ath-Thobrony meriwayatkannya dalam Al-Kabir sedang di dalamnya ada terdapat Hammad bin Syu’aib, dan dia adalah rowi yang sangat lemah”.(3)
Kita kembali ke jalan Sufyan Ats-Tsaury. Di dalamnya sanadnya ada ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dan dia juga adalah rowi yang sangat lemah. Imam Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata, “Mungkar haditsnya dan goncang haditsnya”. Imam Ahmad berkata dari Sufyan ibnu ‘Uyainah (beliau) berkata, “Saya melihat para masyaikh (guru-guru) menjauhi hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. ‘Ali ibnul Madiny berkata, “Saya melihat ‘Abdurrahman bin Mahdy mengingkari dengan sangat keras hadits-hadits ‘Ashim bin ‘Ubaidillah”. Dan hadits ini adalah salah satu hadits yang diingkari atas ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, sebagaimana dalam Mizanul I’tidal (4/8). Lihat juga Al-Jarh wat Ta’dil (6/347) karya Ibnu Abi Hatim dan Al-Kamil (5/225).
Kesimpulan maka kita tidak ragu lagi untuk menghukumi hadits di atas
sebagai hadits yang sangat lemah
2. Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-.
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau
dilahirkan. Beliau mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di
telinga kirinya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (8620) -dan
beliau melemahkan hadits ini- dari jalan Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif dari
Al-Qosim bin Muthib dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad dari Ibnu
‘Abbas.
Ini adalah hadits yang palsu. Imam Adz-Dzahaby berkata -memberikan biografi bagi Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif di atas- dalam Al-Mizan (2/267), “Dia dianggap pendusta oleh Ibnu Ma’in, Imam Al-Bukhary berkata, “Dia adalah pendusta”".
Ini adalah hadits yang palsu. Imam Adz-Dzahaby berkata -memberikan biografi bagi Al-Hasan bin ‘Amr bin Saif di atas- dalam Al-Mizan (2/267), “Dia dianggap pendusta oleh Ibnu Ma’in, Imam Al-Bukhary berkata, “Dia adalah pendusta”".
3. Hadits Al-Husain bin ‘Ali Radhiallahu ‘anhuma-.Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak,
lalu dia mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga
kirinya, maka Ummu Shibyan (jin yang mengganggu anak kecil) tidak akan
membahayakan dirinya”. Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqy dalam Asy-Syu’ab (8619), Abu Ya’la (678), dan Ibnu As-Sunny dalam
‘Amalul Yaum (623) dari jalan Yahya ibnul ‘Ala` Ar-Rozy dari Marwan bin Salim
dari Tholhah bin ‘Abdillah dari Al-Husain bin ‘Ali.
Hadits ini bisa dihukumi sebagai hadits yang palsu karena adanya dua
orang pendusta di dalamnya:
- Yahya Ibnul ‘Ala`. Imam Al-Bukhary, An-Nasa`i, dan Ad-Daraquthny
berkata, “Dia ditinggalkan. Imam Ahmad berkata, “Dia adalah pendusta, sering
membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan (7/206-207) karya Adz-Dzahaby dan
Al-Kamil (7/198) karya Ibnu ‘Ady, dan mereka berdua menyebutkan hadits ini
dalam jejeran hadits-hadits yang diingkari atas Yahya ibnul ‘Ala`.
- Marwan bin Salim Al-Jazary. An-Nasa`i berkata, “Matrukul hadits”, Imam
Ahmad, Al-Bukhary, dan selainnya berkata, “Mungkarul hadits”, dan Abu ‘Arubah
Al-Harrony berkata, “Dia sering membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Mizan
(6/397-399)
4. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiyallahu ‘anhuma-.
“Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- mengumandangkan azan di telinga Al-Hasan dan Al-Husain -radhiyallahu
‘anhuma- tatkala mereka berdua dilahirkan”.
Diriwayatkan oleh Imam Tammam Ar-Rozy dalam Al-Fawa`id (1/147/333), dan di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Al-Qosim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Hafsh Al-’Umary. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Tidak ada apa-apanya, dia sering berdusta dan membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Kasyful Hatsits (1/210)
Diriwayatkan oleh Imam Tammam Ar-Rozy dalam Al-Fawa`id (1/147/333), dan di dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Al-Qosim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Hafsh Al-’Umary. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Tidak ada apa-apanya, dia sering berdusta dan membuat hadits-hadits palsu”. Lihat Al-Kasyful Hatsits (1/210)
5. Hadits Ummul Fadhl bintul Harits Al-Hilaliyah -radhiyallahu ‘anha-.
Dalam hadits yang agak panjang, beliau bercerita bahwa Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wasallam- pernah bersabda kepadanya ketika beliau sedang hamil:
“Jika kamu telah melahirkan maka bawalah
bayimu kepadaku”. Dia berkata, “Maka ketika saya telah melahirkan, saya
membawanya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka beliau
mengumandangkan azan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya …”.
Al-Haitsmy berkata dalam Al-Majma’ (5/187), “Diriwayatkan oleh
Ath-Thobrany dalam Al-Ausath. dan di dalam sanadnya ada Ahmad bin Rosyid
Al-Hilaly. Dia tertuduh telah memalsukan hadits ini”.
Sebagai kesimpulan kami katakan bahwa semua hadits-hadits yang
menerangkan disyari’atkannya adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan
iqomah di telinga kirinya adalah hadits-hadits yang yang sangat lemah dan tidak
boleh diamalkan, dengan kata lain bahwa adzan di telinga bayi hukumnya adalah
bid’ah karena tidak ada landasan yang shahih. wallahu A’lam.
Ka boleh minta referensi bukunya gak?
BalasHapus