MUQODDIMAH
Segala Puji hanya milik Alloh, kita
memuji-Nya,meminta pertolongan dan mohon ampunankepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allohdari
kejelekan-kejelekan jiwa kita, dan keburukan-keburukan
amalan kita. Barang siapa yang diberipetunjuk oleh Alloh maka tidak ada
yang mampumenyesatkannya. Dan barang siapa
yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.Dan aku
bersaksi bahwa tidak ada yang berhakuntuk disembah kecuali Alloh dan aku
bersaksi bahwaMuhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya
Ilmu adalah pedoman untuk mencapai segala kebaikan di
dunia dan akhirat, dengan ilmu manusia bisa membedakan mana yang hak dan mana
yang batil, dengan ilmu pula manusia bisa membedakan mana yang ibadah dan mana
yang bukan ibadah, mana yang syirik dan mana yang tauhid, mana yang sunnah dan
mana yang bid'ah, mana yang di atas keta'atan dan mana yang di atas kemaksiatan
dan kebodohan adalah sebaliknya, oleh karenanya islam sangat menganjurkan
umatnya untuk menuntut ilmu, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap
muslim. (HR. Ibnu Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam
Shahih Ibni Majah)
Demikian juga Alloh Ta’ala memerintahkan kepada
umat untuk bertanya kepada ulama mereka. Firman Alloh:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang
berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. 21:7)
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa ilmu yang diwariskan oleh para
Nabi adalah ilmu syari’at Allah ‘Azza wa Jalla, bukan lainnya. Sehinga para
Nabi tidaklah mewariskan ilmu tekhnologi dan yang berkaitan dengannya kepada
manusia.” (Kitabul ilmi, hal: 11, karya Syeikh Al-Utsaimin)
Ini bukan berarti bahwa ilmu dunia itu
terlarang atau tidak berfaedah. Bahkan ilmu dunia yang dibutuhkan oleh umat
juga perlu dipelajari dengan niat yang baik.
keutamaan ilmu syar'i
Islam adalah agama ilmu karena islam adalah
agama yang di bangun diatas wahyu, Islam telah mewajibkan umatnya untuk
belajar, Bahkan perintah berilmu merupakan perintah pertama yang dibebankan
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
umatnya sebagimana dalam surat Al-‘Alaq: 1-5.
Imam Al-Bukhari, bahkan menuliskan satu bab
khusus dalam Shahih-nya, yaitu bab “Al-Ilmu qabla Al-Qauli wa Al-‘Amal
(kewajiban berilmu sebelum berbicara dan beramal). Beliau berdalilkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi,
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada
Illah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.
(Muhammad: 19)
Dan Allah
Ta'ala telah melebihkan orang orang yang berilmu dari pada yang lainnya Allah
ta'ala berfirman:
قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ
"Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran." (Az-Zumar:9)
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan
orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat." (Al-Mujaadilah:11)
Al Hafizh menjelaskan, “Ada yang mengatakan tentang tafsirannya
adalah: Allah akan mengangkat kedudukan orang beriman yang berilmu dibandingkan
orang beriman yang tidak berilmu. Dan pengangkatan derajat ini menunjukkan
adanya sebuah keutamaan…” (Fathul Bari, 1/172).
Ibnu Katsir menyebutkan di dalam tafsirnya sebuah riwayat dari Abu
Thufail Amir bin Watsilah yang menceritakan bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah
bertemu dengan Umar bin Khattab di ‘Isfan (nama sebuah tempat, pen). Ketika itu
Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Umar pun berkata kepadanya,
“Siapakah orang yang kamu serahi urusan untuk memimpin penduduk lembah itu?”.
Dia mengatakan, “Orang yang saya angkat sebagai pemimpin mereka adalah Ibnu
Abza; salah seorang bekas budak kami.” Maka Umar mengatakan, “Apakah kamu
mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Dia pun menjawab,
“Wahai Amirul Mukminin, sungguh dia adalah orang yang pandai memahami
Kitabullah, mendalami ilmu waris, dan juga seorang hakim.” Umar
radhiyallahu’anhu menimpali ucapannya, “Adapun Nabi kalian, sesungguhnya dia
memang pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan
sekelompok orang dengan sebab Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian lainnya
karena kitab ini pula.’ (HR. Muslim).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
di perintah Allah ta'ala untuk meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali
tambahan dalam ilmu. Allberfirman:
وَقُلْ رَبِّ
زِدْنِي عِلْمًا
"Dan
katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu (agama)."
(Thaahaa:114)
dalam ayat ini
sangat jelas Allah Subhaanahu Wa Ta'ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta tambahan dari sesuatu kecuali
meminta tambahan dari ilmu dan ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu
syar'i yang akan menjadikan seorang hamba mengenal Rabbnya Subhaanah dan
mengetahui apa-apa yang diwajibkan atas seorang mukallaf dari perkara agamanya
dalam ibadah dan muamalahnya. (Fathul Baarii 1/141) Adapun kriteria Ilmu Syar’i adalah:
1. Ilmu yang diambil dari Al-Quran dan
As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Sholafush sholeh
(generasi sahabat dan tabi’in serta tabi’ tabi’in)
2. Ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk taat
kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takut kepada-Nya, dalam keadaan sendiri
ataupun bersama orang lain. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu dengan
banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid, Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah)
3. Ilmu yang mendorong pelakunya untuk beramal
dan mempraktekkan ilmunya, bukan sebatas pengetahuan atau penambah wawasan,
atau sekedar meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa bahwasanya ilmu tanpa amal
bagaikan pohon tanpa buah.
Di antara
hadits-hadits tentang keutamaan ilmu adalah:
·
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ دَخَـلَ مَـسْجِـدَنَا هَـذَا لِيَتَعَلَّمَ
خَيْرًا أَوْلِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْل اللهِ، وَمَنْ
دَخَـلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَالَيْسَ لَهُ
Artinya: “Barang siapa yang memasuki
masjid kami ini (masjid Nabawi) dengan tujuan untuk mempelajari kebaikan atau
mengajarkannya, dia ibarat seorang yang berjihad di jalan Allah. Dan barang
siapa yang memasukinya dengan tujuan selain itu, dia ibarat orang yang sedang
melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [Hadits hasan, diriwayatkan
oleh Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Majah (no. 227), Ibnu Hibban (no. 87-At-Ta’liqat), Ibnu Abi Syaibah (no. 3306), dan
Al-Hakim (I/91),
Abud Darda radhiyallahu’anhu
pernah berkata, “Barang siapa yang
berpendapat bahwa perginya seseorang untuk menuntut ilmu itu tidak termasuk
jihad, sungguh, dia kurang akalnya.” (Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga hal. 45)
·
Dari Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan
kepadanya, niscaya Allah akan pahamkan dia tentang agama(nya)."
(Muttafaqun 'alaih)
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan
mempelajari ilmu syar’i dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga
menunjukkan bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah
orang yang tidak dikehendaki kebaikannya oleh Allah. Sebaliknya orang yang
dikehendaki kebaikannya oleh Allah maka Dia memberikannya pemahaman dalam
agamanya. (Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa
Syarafuhu (hal. 49), Bahjatun Nazhirin
(II/463), Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 36) dan Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/ 286).
Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah pernah berkata, “Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu,
sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.” (Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230) dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga hal. 39).
·
Dari Abud Darda` radhiyallahu 'anhu berkata:
Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ
طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ
الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ،
وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي
الأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى
الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ،
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
"Barangsiapa menempuh suatu jalan yang
padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari
jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan
meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang
penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di
langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan
ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang
yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh
bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi
tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah
mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah
mengambil bagian yang sangat banyak." (HR. Abu Dawud no.3641, At-Tirmidziy
no.2683, dan isnadnya hasan, lihat Jaami'ul Ushuul 8/6)
Makna kalimat “jalan untuk menuntut ilmu”
mengandung dua makna, yaitu:
- Menempuh jalan untuk menuntut ilmu dalam
artian yang sebenarnya, seperti berjalan kaki menuju majelis-majelis ilmu.
- Menempuh jalan atau cara yang dapat mengantarkan
seseorang untuk memperoleh ilmu syar’i, seperti membaca, menghapal, menela’ah,
dan sebagainya.
Sedangkan kalimat “Allah memudahkan jalannya
menuju Surga” mengandung dua makna yaitu:
- Allah ta'ala akan memudahkan orang yang
menuntut ilmu semata-mata karena mencari keridhaan Allah, mengambil manfaat,
dan mengamalkannya, untuk memasuki Surga-Nya.
- Allah ta'ala akan memudahkan jalan baginya
menuju Surga ketika melewati titian ash-shirathal mustaqim
pada hari Kiamat dan memudahkannya dari berbagai kengerian pada sebelum dan
sesudahnya. [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam
(II/297, Qawa’id wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyyah
(hal. 316-317), dan Menuntut Ilmu Jalan Menuju
Surga (hal. 8-9)]
·
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا مَاتَ
ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
"Apabila seorang keturunan Adam meninggal
dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyyah, atau
ilmu yang bermanfaat, atau seorang anak shalih yang mendo'akannya." (HR.
Muslim no.1631).
Hadits
ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu juga besarnya
buah dari ilmu yang dimiliki seseorang. Karena pahala ilmu yang telah diajarkan
kepada orang lain, akan tetap diterima oleh pemiliknya selama ilmu tersebut
diamalkan oleh orang lain. Meskipun dia telah meninggal dunia dan seluruh
amalannya telah terputus, namun akibat ilmu yang diajarkannya kepada orang lain
membuatnya seolah-olah tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Hal ini selain
menjadi kenangan dan sanjungan bagi pemilik ilmu tersebut, juga menjadi
kehidupan kedua baginya, karena dia tetap merasakan pahala yang mengalir
untuknya ketika semua pahala amal perbuatan telah terputus darinya. Lihat Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242)
Dan banyak lagi ayat dan hadits yang
menganjurkan kita untuk terus menggali dan mencari ilmu karena kebutuhan
kita terhadap ilmu sangatlah besar. Oleh
karena itulah Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
berkata :
الناس محتاجون إلى العلم أكثر من حاجتهم إلى الطعام و الشراب
لأن الطعام والشراب يحتاج إليه في اليوم مرة أو مرتين والعلم يحتاج إليه بعدد
الأنفاس
“Manusia membutuhkan ilmu
lebih banyak dari pada butuhnya pada makanan dan minuman, dikarenakan kebutuhan
seseorang terhadap makanan dan minumam dalam sehari sekali atau dua kali. Dan
kebutuhan manusia terhadap ilmu sebanyak tarikan nafas.”
Dan Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimana
semangat anda untuk ilmu?” Beliau menjawab, “Saya mendengar kalimat yang
sebelumnya tidak pernah saya dengar, maka anggota tubuh saya yang lain ingin
memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang
dirasakan telinga.” Lalu ditanya, “Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?”
Beliau menjawab, “Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencari kepuasan
dengan hartanya.” “Bagaimana anda mencarinya?” beliau menjawab, “Sebagaimana
seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain,
selain dia.” (lihat Tawaalit Ta’sis bi Manaqibi
Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)
Tercelanya kebodohan dalam islam
Kebodohan dalam masalah agama mempunyai dampak
jelek yang luar biasa, syaikhul islam ibnu taimiyyah berkata:
مَنْ
عَبَدَ اللهَ بِجَهْلٍ , أَفْسَدَ أَكْثَرَ مِماَّ يُصْلِحُ
Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan
kebodohan, dia telah membuat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan.
(Majmu’ Fatawa 25/281), bahkan kebodohan bisa mengantarkan pelakunya kepada
kesyirikan, kekufuran, dan maksiat. Allah Subhaanahu wata’aala berfirman:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِي أَعْبُدُ أَيُّهَا
الْجَاهِلُونَ
“ Katakanlah: maka apakah
kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang- orang yang tidak
berpengetahuan.? “ ( Qs. Az- zumar: 64)
قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ
آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
“ Bani Israill berkata:
Wahai Musa buatlah untuk kami sebuah sesembahan ( berhala) sebagai mana mereka
mempunyai beberapa sesembahan ( berhala). Musa menjawab : “ sesungguhnya kamu
itu kaum yang tidak mengetahui (bodoh terhadap Allah)…” (Qs. Al A’raaf : 138 )
Berkata Asy Syaikh Al
Allamah Abdurahman As Sa’di Rahimahullah : “ Kebodohan mana yang lebih besar dari seseorang yang bodoh
terhadap Rabbnya, Penciptanya dan ia ingin menyamakan Allah dengan selain Nya,
dari orang yang tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat (bahaya), tidak
mematikan, tidak menghidupkan dan tidak memiliki hari perkumpulan (kiamat) “ (Taisirul Karimirrahman Syaikh Al Allamah Abdurahman As
Sa’di pada ayat ini)
Bahkan kebodohan seseorang
bisa menjadi sebab hilangnya nyawa orang lain. Dan dalam sebuah hadits, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً
مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ
فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ
رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا
قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ
أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا
كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ
“Dari Jabir berkata: “Kami keluar pada sebuah perjalanan, lalu salah seorang
diantara kami tertimpa sebuah batu sampai melukai kepalanya kemudian ia mimpi
basah lalu bertanya kepada para shahabatnya, apakah kalian mendapatkan rukhsah
(keringanan) bagiku untuk bertayamum? Mereka menjawab : ‘kami tidak mendapatkan
rukhsah untukmu, sedangkan engkau mampu menggunakan air. Kemudian ia mandi
besar sehingga meningal dunia. Kemudian tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu
‘alihi wasallam, kejadian tersebut dikhabarkan kepada beliau. Maka beliau
bersabda : “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Mengapa
mereka tidak bertanya, bila mereka tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat
kebodohan adalah bertanya.” (HR. Abu Dawud, di Hasankan
oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud : 2/159)
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullaah :
ولا ريب ان الجهل اصل كل فساد وكل ضرر يلحق العبد في دنياه
واخراه فهو نتيجة
“Tidaklah diragukan
bahwasanya kebodohan adalah pokok dari segala kerusakan dan dhoror (bahaya),
kejelekan yang didapatkan oleh seorang hamba di dunia dan di akhirat adalah
dampak dari kebodohan.” (Miftaah Daaris Sa’adah,
1/87).
ketinggian
ilmu dan keajaiban para penuntutnya
1.
Anjuran menggali dan memperbanyak ilmu dalam islam
Allah
Ta'ala berfirman:
وَقُلْ رَبِّ
زِدْنِي عِلْمًا
"Dan katakanlah: "Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu (agama)." (Thaahaa:114).
Berkata Imam Ibnu qoyyim: cukuplah ayat ini merupakan
ketinggian dan kemulyaan ilmu, ketika
Allah ta'ala memerintahkan nabinya ituk berdo'a agar meminta tambahan ilmu
(Miftah dari sa'adah 1/223). berkata sebagian para ulama bahwa nabi tidak
pernah meminta tambahan kepada Allah ta'ala kecuali ilmu.
Berkata Al Mawardiy dalam kitab adabud dunya wa
din 124: dari Ibnu Abbas beliau berkata: kalaulah seseorang merasa cukup dengan
apa yang dia peroleh dari ilmu, tentu Nabi Musa sudah dianggap cukup dengan
ilmu yang ia miliki dan ttidak perlu harus mengatakan kepada nabi khidir
قَالَ لَهُ مُوسَى
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa
berkata kepada Khidhr:` Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?
`(Al kahfi: 66).
Semangat
para sahabat dan ulama salaf dalam
menambah ilmu.
1.
Ketekunan sahabat Abdullah bin Mas’ud. Ia hampir tidak pernah tertinggal dari
kegiatan Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam,
dalam berbagai keadaan. Dialah salah satu sahabat yang selalu mempersiapkan sandal
Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, membantu keperluan
dan menyediakan air wudhunya. Sampai ia berkata, ”Tidaklah ada satu surat dan
ayat Al Qur’an diturunkan, kecuali aku mengetahui dimana dan kapan diturunkan
serta mengenai masalah apa ayat tersebut berkaitan. Sungguh, seandainya ada
orang yang lebih alim tentang Al Qur’an, niscaya aku akan belajar kepadanya
walau dengan menunggang unta yang jauh jaraknya.” Karena kecemerlangannya dalam
ilmu agama, ia dijuluki sebagai ulamanya para sahabat.(HR. Bukhori 5002 dan
Muslim 2463)
2.
ketekunan Umar bin Khathtab yang disibukkan dengan perdagangan tidaklah lepas
kesungguhannya untuk terus mempelajari ilmu dari Rasulullah. Ia bergantian
dengan sahabat Anshor Bani Umayyah bin Zaid mendatangi majelisnya Nabi. Demikian
juga yang lainnya, jika salah seorang berhalangan, maka akan bertanya kepada
yang hadir.
Imam Bukhori
meriwayatkan dalam kitab sohihnya , dari Umar Rodiyallohu anhu berkata
: Dulu saya dan tetangga saya seorang ansor dari(keluarga) bani
umayyah bin zaid salah satu kampung (dibagian timur) madinah, kami
bergantian datang kepada Rosululloh Sollallohu alaihi wasallam , dia turun
sehari dan saya sehari, bila dia turun aku datang padanya menanyakan kabar
hari itu dari wahyu atau yang lainnya, jika aku turun dia melakukan
seperti itu juga.(fathul bari 1/167)
3. ketekunan
Mu'adz Bin Jabal Rodiyallohu 'anhu sehingga di gelari Penghulu para Ulama'
Di antara
keutamaan Mu'adz Bin Jabal dia adalah juru tulis Alqur'an sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Tirmidzi dari anas Bin Malik berkata :
Alqur'an dikumpulkan pada masa Rosululloh oleh 4 orang , mereka semua dari
Anshor , Ubayy Ibnu Ka'ab , Mu'adz Bin Jabal , Zaid Bin Tsabit dan Abu Zaid
salah satu pamanku".
keutamaan yang
lainnya Perintah Rosululloh untuk mengambil Alquran dari Mu'adz Bin Jabal
sebagiman diriwayatkan oleh Imam Bukhori Muslim dan Tirmidzi dari Abdulloh Bin
Amru Semoga Alloh meridoi keduanya ,Rosululloh Sollallohu alaihi wasallam
bersabda : ambillah alqur'an dari 4 orang ,Ibnu Mas'ud ,Ubay ,Mu'adz Bin Jabal
dan Salim maula Abi Hudzaefah.
bahkan Mu'adz
Bin Jabal Paling 'alim tentang halal dan haram sebagaiman di
riwayatkan dari Abu Sa'ied Alkhudri
Rodiyallohu 'anhu berkata : Rosululloh Sollallohu alaihi wasallam Bersabda
:Mu'adz Bin Jabal adalah manusia yang paling mengetahui dengan apa yang
diharamkan dan dihalalkan Alloh (HR ,Abu Nu'aem dalam kitab alhilyah ,di
sohihkan oleh syaikh Albani dalam sohih aljami' no 5879).
Mu'adz Bin
Jabal tahukah anda siapakah Mu'adz Bin Jabal? bagaimana beliau bisa dibarisan
terdepan dari para ulama'?jika anda ingin tahu bagaimana tinggi semangat beliau
untuk mendapatkan ilmu, lihatlah berapa umur beliau saat masuk islam dan berapa
umurnya dikala meninggal dunia dan keddukannya dalam ilmu.
Imam Adzzahabi
menuturkan dalam kitabnya Siyar a'laam An-nubala 1/445 , Atho' berkata: Mu'adz
masuk islam saat itu dia berumur 18 tahun , beliau ikut pada baiat aqobah yang
kedua dan sampai hijrah Rosululloh sollallohu alaihi wasallam baru ketemu
lagi...lihatlah berapa lama waktu berlalu Mu'adz Bin Jabal tidak mendapatkan
kenikmatan dekat dengan Rasululloh dan ilmu yang ia dapatkan dari Rosululloh ,
kemudian lihat berapa umurnya saat dia meninggal!!
Syaikh Albani
menuturkan dalam kitab silsilah as-shohihah 3/83-84 : "diriwayatkan oleh
Alhakim dengan sanad yang sohih dari malik Bin Anas Berkata: Mu'adz Bin Jabal
meninggal saat umurnya 28 tahun dan dia ditempat yang terdepan
dihadapan para ulama" dan ini juga dikatakan oleh Adzzahabi.
dituturkan juga
oleh Ibnul Musayyib : "Mu'adz diambil ruhnya saat berumur 33 atau 34
tahun"
yang lebih masyhur adalah beliau meninggal saat
umurnya 28 tahun....jadi waktu untuk menuntut ilmunya tidak sampai 10
tahun...tapi bersamaan dengan ini dia adalah imam para ulama bagaimana dia
menggunakan waktunya sampai ia menjadi seperti ini!!
Dan banyak lagi para sahabat
yang mereka habiskan hidupnya untuk imu dan menuntut ilamu walaupun mereka
dalam kondisi sangat sibuk seperti Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf (Radhiyallahu
‘anhu) mereka adalah orang orang yang sukses dalam bekerja (berdagang), namun
tidak lupa menuntut ilmu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam.
Keteladan para ulama di dalam mencari dan
menambah ilmu
- Di katakan bahwa sesungguhnya Sa’id bin Al Mussyayyib -rahimahullah- pernah
berjalan berhari-hari dan bermalam untuk mencari satu buah hadits.
- Imam Malik bin Anas
-rahimahullah- sangat cintanya kepada ilmu syar’i, hingga ia rela menjual
sebagian atap kayu rumahnya untuk bekal menuntut ilmu.
- Tidak seorangpun pada
zaman Imam Abdulloh Ibnu Mubarak -rahimahullah- yang lebih gigih menuntut ilmu
selain dirinya. Dia pergi ke Yaman, Mesir, Syam, Basrah, Kuffah berjalan kaki.
- Imam Yahya bin Ma’in
-rahimahullah- seorang ulama yang telah mencapai puncak ilmu hadits hingga
dikenal sebagai Imam Jarh wa Ta’dil, beliau menghabiskan uang warisan ayahnya
sebesar 1.050.000 Dirham (sejumlah uang yang amat besat nilainya ketika itu)
untuk mencari hadits hingga tidak ada lagi harta yang dia miliki selain sandal
yang dia pakai.
- Imam Al Bukhori
-rahimahullah- pergi menemui para ahli hadits yang ada dibeberapa negeri:
Khurasan, Iraq , Mesir, Syam , Hijaz dan lainnya, Beliau berkata,” Aku belajar
kepada 1000 syaikh dari kalangan ulama, bahkan lebih. Aku tidak memiliki satu
hadits pun kecuali kusebutkan Sanadnya.”
Tetap menambah ilmu waulaupun sibuk bekerja
Imam Abu Hanifah adalah
seorang ulama fiqih, bersamaan dengan itu beliau tetap bekerja. Beliau memiliki
perusahaan kain di rumahnya. Beliau menjadi orang yang kaya raya.
Imam Abdullah Ibnul Mubarak adalah
Imam ahli hadits di negeri Khurasan. Beliau terkenal sebagai imam dalam masalah
hadits, fiqih, wara’. Beliau adalah seorang pedagang.
Imam Ibnu Hubairah adalah
seorang menteri di suatu kerajaan. Walaupun seorang menteri (yang biasanya
sibuk) beliau tetap bersemangat menuntut ilmu sampai menjadi ulama. Beliau
mendatangi ulama dan mengumpulkan kitab. Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Imam
Ibnu Hubairah bersemangat dalam mengumpulkan ilmu dan menulis. Kita mengetahui
bahwa pada zaman kita, seorang menteri yang memiliki jabatan yang tinggi mereka
lupa dengan ibadah dan menuntut ilmu. Akan tetapi Imam Ibnu Hubairah yang
seorang menteri yang memiliki kedudukan tinggi tetap bersemangat dalam menuntut
ilmu di tengah kesibukannya. Beliau menggabungkan antara menuntut ilmu dan
bekerja.
Imam Hamzah bin Habib dikenal
sebagai seorang imam dalam bacaan al-Qur’an. Pekerjaan beliau adalah berdagang
minyak. Beliau membeli minyak di Kufah dan menjualnya di Mesir.
Imam Ya’qub bin Sufyan
al-Fasawi adalah seorang Imam dalam hadits. Beliau
belajar di siang hari dan bekerja di malam hari. Beliau bekerja sebagai penulis
naskah (tukang catat naskah). Di zaman dahulu mesin percetakan buku belum ada.
Maka pada masa itu jika seseorang ingin sebuah buku, maka dicatat oleh tukang
catat.
Imam al-Marwazi beliau
adalah ulama madzhab Syafi’i dan memiliki tulisan yang banyak. Beliau bekerja
sebagai tukang kunci (gembok).
Imam Nawawi adalah
penulis kitab Riyadhush Shalihin. Seorang imam yang terkenal. Beliau bekerja
membantu orang tuanya menjaga warung kecil.
Imam Muhammad Nashiruddin
al-Albani beliau adalah seorang ahli hadits pada zaman
ini. Pada masa mudanya adalah seorang tukang kayu. Kemudian beliau bekerja
sebagai tukang jam. Dan membuka toko perbaikan jam. Jika tidak ada pengunjung
toko, maka beliau menyibukkan diri dengan belajar.
Tetap
menambah ilmu walaupun ajal di depan mata
- Di
riwayatkan bahwa ada seseorang yang telah lanjut usia menitip pertanyaan kepada
murid Imam Ahmad bin Hanbal untuk diteruskan kepada sang guru, apakah masih
perlu ia menuntut ilmu? Imam Ahmad menjawab, ”Kalau ia masih pantas untuk
hidup, maka pantas pula ia menuntut ilmu.” Dalam kesempatan lain Imam Ahmad
ditanya, “Sampai kapankah seseorang belajar?” Beliau menjawab, ”Sampai kamu
masuk kubur!” Untuk keperluan menuntut ilmu, Imam Ahmad pernah berangkat
dari Madinah ke Baghdad belajar kepada Imam As-Shon’aniy dengan perjalanan
berhari-hari.
- Imam As Subki saat itu menderita demam selama
beberapa hari. Beliau sendiri memiliki majelis yang membahas Sirah Ibnu Hisyam.
Waktu itu, seorang penulis para periwayat datang dan ia tahu beliau sedang
demam. “Orang-orang telah berkumpul, saya hampir saja membatalkannya.” Katanya.
As Subki menjawab,”Demi Allah, saya tidak akan membatalkan majelis yang
disebutkan di dalamnya perjalanan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.”
Akhirnya, beliau dengan kepayahan membaca di majelis tersebut.
Setelah beberapa bulan di Damaskus, beliau
melakukan perjalanan ke Mesir. Beliau seakan-akan merasa bahwa ajal sudah
dekat, hingga beliau mengatakan kepada putranya Taaj Ad Din As Subki, bahwa
beliau tidak meninggal kecuali di negeri itu. Akhirnya, setelah sampai Mesir,
beberapa hari kemudian beliau wafat. Peristiwa itu terjadi tahun 756 H.
Setelah ditelisik, diketahui, beliau sakit
karena diracuni. Sebelum meninggal, beliau berpesan kepada beberapa sahabat,
bahwa beliau telah diracuni, dan beliau sendiri mengetahui siapa pelakunya,
tapi beliau enggan menyebutnya. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 10/315,316)
- Adalah Imam Abu Yusuf, salah satu murid dan
sahabat Abu Hanifah. Penyebar madzhab Hanafi ini diangkat menjadi hakim
kekhalifahan Abbasiyah semasa pemerintahan Al Hadi, Al Mahdi dan Ar Rasyid.
Ulama yang lahir tahun 113 H ini masih terus
menyebarkan ilmu, bahkan sampai di saat detik-datik akhir umurnya. Murid
beliau, Qadhi Ibrahim bin Al Jirah Al Mishri menuturkan,”Abu Yusuf sakit, lalu
saya datang untuk menjenguknya. Saya temui beliau dalam keadaan pingsan.
Setelah sadar, beliau berkata kepada saya,’Wahai Ibrahim, bagaimana pendapatmu
tentang sebuah kasus?’ Saya menjawab, ’Dalam keadaan seperti ini?!’ Beliau membalas,’Tidak
mengapa, mudah-mudahan hal itu bisa menyelamatkan.’”
Abu Yusuf mengatakan,”Wahai Ibrahim, mana yang
lebih utama, melempar jimarat dengan berjalan kaki atau melempar dengan naik
kendaraan?” Ibrahim menjawab,”Naik kendaraan.” Beliau mengatakan,”Salah.”
Ibrahim menjawab, ”Berjalan.” Beliau mengatakan, ”Salah.” Ibrahim akhirnya
mengatakan,”Sampaikan pendapat Anda mengenai masalah ini, semoga Allah meridhai
Anda.”
Lalu Abu Yusuf mengatakan,” Jika bermaksud
berhenti, untuk berdoa di tempat itu, maka labih utama berjalan. Jika tidak,
maka lebih utama naik kendaraan.”
Setelah itu Ibrahim beranjak dari tempat duduk
dan meninggalkan Abu Yusuf. Namun ketika sampai di pintu rumah gurunya itu,
beliau mendengar suara jeritan untuk Abu Yusuf. Ternyata Abu Yusuf telah wafat.
Rahimahullah Ta’ala. (Qimah Az Zaman indza Al Ulama’, hal. 28).
- Diantara para ulama besar, yang tetap menjaga
waktu mereka, walau ajal hendak menjemput adalah Ibnu Malik, ulama nahwu, yang
lahir pada tahun 600 H. Ulama ini semasa hidupnya banyak membaca dan mengulang.
Fenomena yang mungkin amat aneh di zaman ini,
adalah semangat beliau dalam memperoleh ilmu. Dimana beliau sempat menghafal
delapan bait, di hari kematian beliau. Di saat beliau sedang sakit keras,
putranya membantu mendiktekan bait tersebut. Rahimahullah Ta’ala. (Nafh At
Thayib, 2/222, 229).
Kitab Alfiyah, yang kini menjadi salah satu
referensi induk dalam bidang nahwu adalah salah satu karya beliau. Kini kitab
itu digunakan di ratusan atau bahkan mungkin ribuan pesantren di dunia Islam.
Kesungguhan Ibnu Malik telah memudahkan para pencari ilmu menghafal
kaidah-kaidah bahasa Arab.
- Syu’bah bin Hajjaj Rahimahullah datang
menemui Khalid al-Hadza’ Rahimahullah. Lalu Syu’bah bin Hajjaj berkata : “Wahai
Abu Munazil (Khalid al-Hadza’), engkau memiliki hadits tentang ini dan ini,
tolong ajari aku.” Khalid ketika itu sedang sakit dan dia berkata : “Saya
sedang sakit.” Syu’bah bin Hajjaj berkata : “Hanya satu hadits saja, tolong
ajarkan aku.” Kemudian Khalid memberitahukan hadits tersebut. Setelah selesai,
Syu’bah berkata kepadanya : “Sekarang anda boleh mati, kalau mau.” [Syarafu
Ashhabil Hadits (hal 116), Khatib al-Baghdadi]
Syu’bah juga bercerita : “Saya menjual bejana
warisan ibu saya seharga tujuh dinar untuk biaya belajar.” [Tadzkiratul Huffazh
(1/195), Adz-Dzahabi]
Imam Ahmad Rahimahullah bercerita : “Syu’bah
tinggal di tempat Hakam bin Utbah, selama 18 bulan. Beliau menjual penyangga
dan tiang rumahnya untuk biaya belajar.” [Al’Ilal bi Ma’rifatir Rijal, Imam
Ahmad]
2. Keteladan para ulama dalam meraih ilmu,
dengan membaca, mencatat serta
membukukannya
- Al-Muzani berkata: "Saya membaca kitab
Risalah karya asy-Syafi'i sejak lima tahun yang lalu, setiap kali aku
membacanya saya mendapatkan faedah baru yang belum aku dapatkan
sebelumnva." (Manaqib Syafi'i hlm. 114 oleh al-Aburri)
- Ibnu Basykuwal menceritakan bahwa Abu Bakr
bin Athiyyah mengulang-ngulang membaca kitab Shohih Bukhori sebanyak 700 Kali
(ash-Shilah 2/433)
- Disebutkan dalam biografi Abbas bin Walid
al-Farisi bahwa ditemukan dalam sebagian akhir kitabnya suatu tulisan.
"Saya telah membacanya sebanyak 1.000 kali. !!! (Thobaqot Ulama Afrika wa
Tunis hlm. 224)
- Abdulloh bin Muhammad, ahli fiqih dari Irak,
beliau pernah membaca kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah (sekarang tercetak
dengan 15 jilid) sebanyak 23 kali!! (Dzail Thobaqot Hanabilah 2/411)
- As-Sam'ani menceritakan bahwa Imam al-Baihaqi
pernah tertimpa penyakit di tangannya, sehingga jari-jemarinya dipotong semua,
hanya tinggal pergelangan tangan saja. Sekalipun demikian, beliau tidak
berhenti dari menulis, beliau mengambil pena dengan pergelangan tangannya dan
meletakkan kertas di tanah seraya memeganginya dengan kakinya, lalu menulis
dengan tulisan yang indah dan jelas. Demikianlah hari-harinya, sehingga setiap
hari dia dapat menulis dengan tangannya kurang lebih sepuluh lembar.
"Sungguh, ini adalah pemandangan sangat menakjubkan yang pernah saya lihat
darinya," kata as-Sam'ani. (at-Tahbir fil Mu'jam Kabir 1/223)
- Termasuk semangat yang menakjubkan pula adalah
semangat Imam Ibnu Aqil yang telah menulis sebuah karya terbesar di dunia yaitu
al-Funun. Tahukah Anda berapa jilid kitab tersebut? Sebagian mengatakan
sebanyak 800 jilid dan ada yang mengatakan 400 jilid. Imam adz-Dzahabi berkata:
"Belum pernah ada di dunia ini kitab yang lebih besar darinya. Seseorang
pernah menceritakan kepadaku bahwa dia pernah mendapati juz yang empat ratus
lebih dari kitab tersebut." (Tarikh Islam 4/29)
Sekalipun demikian besarnya kitab ini, tetapi
sayangnya kitab ini termasuk perbendaharan umat Islam yang hilang, belum
diketahui sampai sekarang kecuali hanya satu jilid saja yang ditemukan di
perpustakaan Paris dan dicetak dalam dua jilid pada tahun 1970-1971.
(Muqoddimah Kamil Muhammad Khorroth terhadap Zahrul Ghushun min Kitabil Funun
hlm. 6)
- Imam Ibnu Tabban adalah seorang ulama yang
bersemangat sangat tinggi dalam menuntut ilmu, sehingga dia pernah mempelajari
kitab al-Mudawwanah sebanyak 1000 kali!!!
Dia pernah berkata tentang dirinya: "Dahulu ketika saya awal-awal menuntut
ilmu, saya gunakan seluruh malam untuk belajar, sehingga ibuku pernah
melarangku dari membaca di malam hari. Akhirnya saya bersiasat untuk membuat
lampu dan menaruhnya di bawah tempat tidur lalu saya berpura-pura tidur. Ketika
saya rasa bahwa ibuku benar-benar telah tidur, maka saya keluarkan lampu dan
melanjutkan belajar." (Tartibul Madarik 1/78 al-Qodhi Iyadh).
Jangan remehkan sebuah faidah ilmu walaupun
sedikit
- Imam
Asy-Syafi’i Rahimahullah bercerita : “Saya seorang yatim yang tinggal bersama
ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak
memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya
karena mengajari saya. Saya mendengar darinya (guru) hadits atau pelajaran,
kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli
kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan
menulis diatasnya. Apabila sudah penuh tulisanya, saya menaruhnya didalam
guci/botol besar yang sudah tua.” [Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (1/98), Ibnu
Abdil Baar)
Al-Humaidi menceritakan bahwa dirinya tatkala
di Mesir pernah keluar pada suatu malam, ternyata lampu rumah Syafi’I masih
nyala. Tatkala dia naik ternyata dia mendapati kertas dan alat tulis. Dia
berkata: Apa semua ini wahai Abu Abdillah (Syafi’i)?! Beliau menjawab: Saya
teringat tentang makna suatu hadits dan saya khawatir akan hilang dariku, maka
sayapun segara menyalakan lampu dan menulisnya” (Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 44-45.)
- Az-Zarkasyi (794 H). Diceritakan oleh Ibnu Hajar
bahwa beliau sering sekali pergi ke pasar buku, kalau dia datang ke sana dia
menelaah di toko buku sepanjang siang, dia menulis masalah-masalah yang menarik
di sebuah kertas, kemudian apabila dia pulang ke rumah dia salin ke kitab-kitab
karyanya (Ad-Durar Al-Kaminah 3/397-398)
- Imam Nawawy berkata: Janganlah sekali-kali seseorang meremehkan suatu faidah
(ilmu) yang ia lihat atau dengar. Segeralah ia tulis dan sering-sering
mengulang kembali.(Al majmu' syarhul muhadzab 1/39)
- Al-Imam al-Bukhary dalam semalam seringkali
terbangun, menyalakan lampu, menulis apa yang teringat dalam benaknya, kemudian
beranjak akan tidur, terbangun lagi , dan seterusnya hingga 18 kali.
- Abul Qashim bin Ward
at-Tamimi (540 H). Diceritakan oleh Ibnu Abbar al-Hafizh
bahwa beliau tidak mendapatkan sebuah kitabpun kecuali dia menelaah bagian atas
dan bawahnya, kalau beliau menjumpai sebuah faedah padanya maka beliau salin di
kertas miliknya sehingga terkumpul banyak sekali. (Mu’jam Ashhabi ash-Shadafhi hal. 25).
Bahkan para ulama menjadikan safar mereka untuk
menulis kitab seperti murid muridnya Ibnu qoyyim mencatat apa yang di imlakan
gurunya sehingga menjadi sebuah kitab yang di kenal zaadul ma'ad, Imam
As-Shobuniy menulis kitab Aqidah ash habul hadits ketika safar dan bnyak lagi
ulama salaf mereka membukukan ilmu ketika safar.
3. Keteladan
para ulama dalam pengorbanan waktu, harta dan jiwa untuk mencari ilmu
- Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah berkata :
“Saya tinggal di Bashrah selama delapan bulan pada tahun 241 H. Didalam hati
saya ingin tinggal selama setahun (agar bisa berlajar ilmu lagi), tetapi saya
kehabisan nafkah. Maka saya menjual pakaian-pakaian saya sedikit demi sedikit,
sampai saya betul-betul tidak memiliki nafkah lagi.” [Al-Jarh wa Ta’dil (hal
363), Ibnu Abi Hatim]
Imam Abu Hatim Ar-Razi Rahimahullah juga
bercerita : “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan dan tidak pernah merasakan
kuah makanan (karena sibuk untuk belajar sehingga tidak ada waktu untuk memasak
makanan yang berkuah). Siang hari kami berkeliling ke para Masyaikh (guru) dan
malam hari kami gunakan untuk menulis dan mengoreksi catatan kami.
Suatu hari, saya bersama seorang teman
mendatangi salah seorang Syaikh. Dikabarkan kepada kami bahwa beliau sedang
sakit. Kami pulang melewati sebuah pasar dan tertarik pada ikan yang sedang
dijual. Kami membelinya. Setelah sampai dirumah, ternyata waktu kajian untuk
Syaikh yang lain sudah tiba. Maka kamipun segera pergi ke sana (dan
meninggalkan ikan tersebut dengan harapan bisa dimasak dilain waktu).
Lebih dari tiga hari ikan tersebut belum sempat
dimasak karena kesibukan menuntut ilmu, hingga hampir busuk. Kami memakan nya
mentah-mentah karena tidak punya waktu untuk menggorengnya. “Ilmu itu tidak
akan bisa diraih dengan badan yang santai.” (Al-Jarh wa Ta’dil (1/5), Ibnu Abi
Hatim)
- Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi Rahimahullah
bercerita : “Saya tinggal di Tunis bersama Abu Muhammad bin Al-Haddad
Rahimahullah. Bekal saya semakin menipis hingga yang tersisa hanya satu dirham
saja. Saat itu saya butuh roti dan kertas untuk menulis. Saya bingung, kalau
saya belikan roti, maka saya tidak ada (uang untuk) beli kertas untuk menulis.
Jika dipakai beli kertas maka saya tidak akan makan roti. Kebingungan ini
berlanjut sampai tiga hari dan selama itu pula saya tidak merasakan makan sama
sekali.
Pada pagi hari keempat, dalalam hati, saya
berkata : “Kalau saya punya kertas, saya tidak akan bisa menulis karena sangat
lapar.” Saya letakan dirham itu dimulut dan mengeluarkan untuk membeli roti.
Tanpa terasa saya telah menelan dirham tersebut, saya tertawa. Abu Thahir
mendatangi saya dan bertanya : “Apa yang membuat anda tertawa?” Saya menjawab :
“Sesuatu yang baik.” Beliau meminta saya untuk menceritakan nya, tetapi saya
menolak. Ia terus menerus memaksa sehingga saya ceritakan permasalahan nya.
Beliau mengajak saya ke rumahnya dan memberi saya makanan.” (Tadzkiratul
Huffazh (4/1246 dengan saduran), Adz-Dzahabi)
Beliau juga bercerita : “Saya pernah kencing darah dua kali saat belajar
hadits, sekali di Baghdad dan sekali lagi di Mekkah. Karena saya berjalan tanpa
alas kaki di Baghdad dan di Mekkah dibawah terik sinar matahari yang menyengat,
sehingga saya mengalami hal tersebut. Saya tidak pernah naik kendaraan sama
sekali ketika belajar hadits kecuali sekali saja dan saya membawa kitab di
pundak saya.” (Tadzkiratul Huffazh (4/124), Adz-Dzahabi)
- Imam Al-Bukhari Rahimahullah bercerita :
“Saya menemui Adam bin Abi Iyyas Rahimahullah di Asqalan untuk belajar darinya.
Bekal saya semakin berkurang hingga saya makan rerumputan. Saya tidak
menceritakan nya kepada seorangpun. Dihari ketiga saya didatangi seseorang yang
saya tidak kenal dan memberiku bungkusan yang didalamnya berisi dinar. Ia
berkata : “Nafkahlanlah untuk dirimu sendiri.” (Tabaqatus Syafi’iyah Al-Kubra (2/227),
As-Subki)
Umar bin Hafs Al-Asyqar Rahimahullah berkata :
“Suatu hari kami kehilangan Imam al-Bukhari Rahimahullah ketika menulis hadits
di Bashrah. Kami mencari beliau dan mendapati nya sedang berada dirumahnya,
beliau tidak berpakaian. Semua yang beliau memiliki telah habis sehingga beliau
tidak memiliki harta lagi. Kami berkumpul dan sepakat untuk mengumpulkan
beberapa dirham dan membelikan beliau pakaian dan memberikan nya. Kemudian
beliau dan mengajari kami hadits.” (Tarikh Baghdad (2/13), Khatib al-Baghdadi)
Ibnu Qashim Rahimahullah berkata : “Karena
fakirnya, Imam Malik Rahimahullah berupaya menuntut ilmu hingga menghabiskan
atap rumahnya, kayunya dijual. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala membukakan
dunia dan memberi nya rezki. Imam Malik berkata : “Ilmu tidak akan bisa diraih,
hingga merasakan nikmatnya kefakiran karena nya.” (Tartibul Madarik (1/130),
Qadhi Iyadh)
- Ibnu Khalqan Rahimahullah bercerita : Imam
Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhri, seorang toko ulama besar dalam ilmu hadits,
apabila beliau duduk dirumahnya ia menaruh kitab-kitabnya disampingnya. Beliau
membacanya, sehingga ia tidak lagi memperhatikan semua urusan dunia nya. Suatu
hari isterinya berkata : “Demi Allah, Kitab-kitab nya ini lebih berat bagi saya
dari tiga ora ng isterinya yang lain.” (Wafiyatul A’yan (3/317), Ibnu Khalqan)
- Imam Ibnu Jauzi Rahimahullah bercerita :
“Ketahuilah wahai puteraku, sesungguhnya ayahku dahulunya kaya dan meninggalkan
ribuan dirham. Ketika saya dewasa, ia memberi saya dua puluh dinar dan dua
rumah seraya berkata kepada saya : “Inilah warisan semuanya” saya mengambil
dinar tersebut untuk membeli kitab-kitab para ulama. Saya menjual kedua rumah
tersebut dan saya gunakan untuk biaya belajar, sehingga tidak ada lagi harta
yang tersisa buat saya.” (Lathaiful Kabid fi Nasihatil Walad, Ibnu Jauzi)
Beliau juga bercerita : “Saya telah menulis
dengan dua jari saya ini 2.000 jilid kitab. Dan orang-orang bertaubat lewat
tangan saya ini 100.000 orang.” (Tadzkiratul Huffazh (4/1242), Adz-Dzahabi)
Mereka (para ulama) rela membujang demi Ilmu
- Bisyr al-Hafi lahir
pada tahun 150 H di Murwa, kemudian pindah dan tinggal di Baghdad. Beliau
seorang yang zahid, ahli hadis dan ahli fikih. Beliau adalah orang yang sangat
terpercaya dalam periwayatan hadis dan merupakan orang yang langka pada
zamannya.
Beliau mengambil hadis dari Hammad bin Zaid,
Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman Ibnu Mahdi, Malik bin Anas, Abu Bakr bin
‘Ayyasy, Fudhail Ibnu ‘Ayyadh dan lainya. Di antara ulama yang mengambil hadis
dan ilmu dari beliau adalah Ahmad Ibnu Hanbal, Ibrahim al-Harbi, Zuhair Ibnu
Harb, Sariyyun as-Saqthiyyu, al-‘Abbas Ibnu Abdul ‘Adzim, Muhammad Ibnu Hatim
dan lainnya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan,
“Bisyr bisa melakukan seperti itu; ibadah, zuhud, wara’ dan
ibadah-ibadah utama lainnya, karena dia hidup sendirian (membujang) dan tidak
memiliki keluarga. Kondisinya akan berbeda antara orang yang memiliki keluarga
dengan orang yang hidup sendirian”.
Di hari kematian beliau, hamper seluruh
penduduk Baghdad ikut menghantarkan jenazahnya. Karena begitu sesaknya, hingga
jenazah beliau yang sebetulnya hendak di kubur pada pagi hari, tidak bisa
selesai dengan cepat. Jenazah beliau baru sampai ke tempat pemakaman ketika
malam sudah menjelang. (Tarikhu Baghdad, Al-Khatib al-Baghdadi,
7/67-80.)
- Ibnu Jarir ath-Thabari beliau
adalah ulama ahli hujjah, seorang ahli tafsir, ahli hadist, ahli fikih, ahli
ushul, ahli qira’at, sejarawan, ahli bahasa, ahli nahwu, ahli ‘arudh,
sastrawan, penyair, seorang muhaqqiq, seorang mujtahid muthlaq. Dalam dirinya
terkumpul semua ilmu pengetahuan yang membanggakan, mempunyai karya yang luar
biasa banyaknya, dan memiliki popularitas yang tidak bisa dibatasi oleh tempat
dan waktu.
Diceritakan bahwa selama 40 tahun, setiap
harinya beliau menulis sekitar 40 lembar kertas. Dan jika dihitung dari masa
hidup hingga wafatnya, kemudian dibandingan dengan jumlah keseluruhan banyaknya
buku yang beliau tulis, maka setiap harinya beliau telah menulis sebanyak 14
lembar kertas. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan seorang manusia kecuali atas
taufiq dari Allah Ta’ala.
Beliau meninggal dunia dalam keadaan membujang
ketika umur 86 tahun di bulan Syawal pada tahun 310 H. Beliau hanya
meninggalkan segudang ilmu pengetahuan bagi generasi berikutnya (Mu’jamul Udaba, Yaqut al-Hamawiy, 18/40-96.)
- Abu Bakr Ibnul Anbari Nama
lengkap beliau adalah Muhammad Ibnul Qasim Ibnu Muhammad. Seorang ahli nahwu,
ahli tafsir, sastrawan, perawi hadits, dan sangat banyak hafalannya. Beliau
lahir di Baghdad tahun 271 H dan wafat tahun 328 H.
Beliau adalah sosok ulama yang tidak ingin
makan dengan makanan yang enak-enak. Ketika beliau disuguhi makanan yang enak
oleh raja saat itu, makanan tersebut tetap utuh, tidak dimakan sedikitpun oleh
beliau. Beliau tidak punya keinginan mendekati wanita dikarenakan lebih
mengutamakan konsentrasi dalam menuntut ilmu. Hafalan beliau sangat
menakjubkan, ilmunya sangat mengagumkan dan zuhudnya sangat mengesankan.
Beliau telah banyak menulis tentang Ulumul Qur’an, Gharibul Hadits wal Musykil dan
al-Waqf wal Ibtida. Beliau hafal sekitar 300
ribu bait syair, hafal Al-Qur’an dan beliau menulis buku dari hasil hafalannya,
bukan dari sebuah buku (Tarikhul Baghdad, Al-Khatib al-Baghdadi,
3/181-186.)
Selain dari mereka, masih banyak ulama lain
yang hidupnya membujang, tidak menikah, di antaranya; Abu Ali al-Ju’fi
(al-Hafidz al-Muqri), Abus Sari al-Kufi (al-Muhaddis), Abu Nashr as-Sajziy
(al-Hafidz al-Imam), Abu Sa’din as-Samman ar-Razi (al-Muhaddis al-Faqih), Abul
Barakat al-Anmathi (al-Hafidz al-Alim), Ibnul Khasyab al-Baghdadi (al-Mufassir
al-Muqri al-Muhaddis), Abul Fath Nashihuddin al-Hanbali (Faqihul ‘Iraq),
Jamaluddin al-Qifthi (al-Adib an-Nahwi al-Muarrikh), al-Imam an-Nawawi
(al-Muhaddis), Ibnu Taimiyyah (syaikhul Islam) dan lainnya.
4. keteladanan para ulama dalam mema'murkan dan
meramaikan majlis majlis ilmu
Para ulama telah memberikan contoh terbaik
bagaimana keteladanan mereka dalam menuntut ilmu dan hadir di majlis majlis
ta'lim hal ini karena besarnya keutamaan hadir di majlis ilmu sebagimana
sabdanya:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا
قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati
taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat
bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah
(kelompok-kelompok) dzikir.” (HR Tirmidzi, no. 3510 dan lainnya. Lihat Silsilah
Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2562.)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,”Barangsiapa ingin menempati taman-taman surga di dunia, hendaklah dia
menempati majlis-majlis dzikir; karena ia adalah taman-taman surga.”(Al Wabilush
Shayyib, hlm. 145.)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
bersabda:
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah sekelompok orang duduk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat (Allah) meliputi mereka,
ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan
(para malaikat) yang ada di sisiNya.(HR Muslim, no. 2700)
Berikut ini
beberapa buktinya bagaimana para ulama
berdesak desakan untuk menuntut ilmu di majlis majlis imu:
- Ja’far bin
Durustuwaish Rahimahullah bercerita : “Kami mengambil tempat duduk karena
terlalu padat disebuah majelis kajian Ali bin Al-Madini Rahimahullah pada waktu
Ashar untuk kajian esoknya. Kami menempatinya sepanjang malam, karena khawatir
esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan kajian nya, karena penuh
sesaknya manusia. Saya melihat seorang yang sudah tua di majelis tersebut,
kencing di jubahnya, karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri
untuk kencing.” (Al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (2/199), Khatib
al-Baghdadi)
- Ishaq bin Abi Israil mengatakan: "Para
penuntut ilmu hadits berdesakan pada Husyaim sehingga membuatnya terjatuh dari
keledainya, dan itulah faktor penyebab kematiannya. " (Manaqib Imam
Syafi'i hlm. 167-168 oleh al-Aburri dan al-'Uzlah hlm. 89 oleh al-Khothobi)
Mirip dengan ini adalah kisah tentang sebab kematian seorang ahli nahwu
tersohor yaitu Tsa'lab. Dikisahkan bahwa dia pernah keluar dari masjid usai
sholat Ashar pada hari Jum'at. Beliau memang sedikit tuli. Di tengah-tengah
asyik membaca kitab sambil berjalan, tiba-tiba ada kuda yang menabraknya
sehingga dia tersungkur di sebuah lubang. Akhirnya dia ditolong dan dikeluarkan
dalam keadaan berlumpur kemudian diantarkan ke rumah. Setelah itu dia merasakan
sakit di bagian kepalanya dan keesokan harinya meninggal dunia. (Wafayatul
A'yan 1/104 oleh Ibnu Khollikan)
- Jumlah orang
yang hadir di majelis ilmu Ashim bin Ali sebanyak seratus enam puluh ribu
orang. (Tarikh Baghdad 12/248)
- Jumlah orang
yang hadir di majelis ilmu Sulaiman bin Harb sebanyak empat puluh ribu orang.
(al-Jarh wa Ta'dil 4/108)
- Jumlah orang
yang hadir di majelis ilmu Imam Bukhori sebanyak dua puluh ribu orang lebih.
(al-Jami' li Akhlaq Rowi 2/53)
- Jumlah orang
yang hadir di majelis ilmu Abu Muslim al-Kajji sebanyak empat puluh ribu orang
lebih. (Tarikh Baghdad 6/1211) .
- Ibnu Jandal al-Qurthuby Rahimahullah bercerita : “Saya pernah
belajar kepada Ibnu Mujahid. Suatu hari saya mendatanginya sebelum fajar agar
saya bisa duduk lebih dekat dengan nya. Ketika saya sampai di gerbang pintu
yang menghubungkan ke majelisnya, saya dapati pintu itu tertutup dan saya
kesulitan membukanya. Saya berkata : “Subhanallah, saya datang sepagi ini,
tetapi saya tetap saja tidak bisa duduk didekatnya.” Kemudian saya melihat
sebuah terowongan disamping rumahnya. Saya membuka dan masuk kedalamnya. Ketika
sampai di pertengahan terowongan yang semakin menyempit, saya tidak bisa keluar
ataupun kembali. Saya membuka terowongan selebar – lebarnya agar bisa keluar.
Pakaian saya terkoyak, dinding terowongan membekas ditubuh saya, dan sebagian
daging badan saya terkelupas. Allah Subhanahu wa ta’ala menolong saya untuk
bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan menghadirinya, sementara
saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu.” (Inaabatur Ruwat ala
Anbain Nuhaat 3/363).
oleh: ust. Abu Humairoh al batamy